"Saa... aku nggak bisa lanjutin ini"
Kalimat – kalimat itu terus menerus terngiang mendengung di telingaku seperti kaset yang di putar berulang-ulang. Awalnya kupikir Adnan nge-prank dengan mutusin hubungan kami. Namun kalimat selanjutnya, menegaskan kalau Adnan tidak main-main.
"aku nggak bisa lanjutin ini, pada akhirnya kamu yang bakalan terluka Ghaitsaa. Dengan selalu absen nya aku di kehidupan kamu dan cara kamu pura-pura tegar di depan orang tua kamu. Aku nggak bisa... kamu berhak memiliki seseorang yang selalu ada di samping kamu. Dan kamu tahu lebih dari siapapun, aku nggak bisa selalu ada disana"
Kalau alasan putus itu diucapkan Adnan ketika dia masih kuliah di NTU, aku bisa terima. Tapi dia mengatakannya saat hubungan kami selamat setelah LDR selama 4,5 tahun. Setelah Adnan pulang ke Jakarta dan setelah dia menemui papa untuk membicarakan pernikahan.
"Saa!! Ghaitsaa!!" teriak Nindi di depanku. "Saa pikiran lo akhir-akhir ini kemana aja sih? Dari tadi di panggil juga!"
Aku nyengir pada Nindi. "makan siang Nin? Ke bawah aja yuk! Apa gofood?"
Kepala Nindi geleng-geleng. "bukan makan siang, Ghaitsaa. Itu hp kamu bunyi terus dari tadi"
Layar handphone ku menampilkan nama Gusti Ratu. Mama menelepon di jam kantor berarti ada suatu hal darurat. Jantungku berdetak cepat, takut terjadi hal buruk di rumah.
"Saa... papa masuk Rumah sakit"
***
Kecelakaan kerja di proyek Jembatan layang yang papa dan perusahaannya bangun... itu kata mama di telepon tadi. Mama orang yang jarang panik seperti sekarang. Mama perancang yang hebat dia punya planning ke depan yang pasti, jika salah satu rencananya gagal mama masih punya plan B untuk menghadapinya.
Namun mama ataupun aku tidak pernah bisa menerima tentang semua ini. Tidak ada dalam planning mama kalau papa akan seperti ini. Tidak pernah terlintas di pikiranku papa akan menghianati kami berdua. Papa yang ku kenal adalah orang yang paling setia, paling sabar, dan paling bijak dalam menghadapi segalanya.
Ketika dalam keadaan antara sadar dan tidak. Papa memanggil nama orang lain... nama yang sama sekali tidak aku maupun mama kenal.
"Tala... Tala... Gentala...." Lirih nya terus menerus.
Aku dan mama hanya saling berpandangan tanpa tahu harus mencari Gentala dimana. Mama berpikir papa mungkin salah memanggil namaku, tapi gumaman dari mulut papa yang terus menerus itu menyadarkan kami kalau papa tidak sedang memanggilku.
Karena keadaan papa semakin memburuk, mama dan aku di persilahkan keluar dari ruangan oleh dokter. Saat aku baru saja menutup pintu ruang perawatan papa, dua orang tergopoh-gopoh panik menuju ruangan papa.
"siapa ya?" mama bertanya ramah.
Ibu yang berusia tidak lebih muda dari mama itupun mengeratkan pegangannya pada anak yang kira-kira berusia 10 tahun, seperti sedang saling menguatkan. Lalu tiba-tiba saja ibu itu menekuk lututnya di depan mama.
"Tala.... Saya mohon izinkan Tala masuk menemui papa-nya" pintanya dengan berderai air mata.
Mama tidak bereaksi begitupun aku. Ini terlalu mendadak, semuanya terlalu tiba-tiba. Apalagi di saat ibu itu masih berlutut di hadapan mama. Adnan datang dengan wajah murka menghampiri kami.
"apa nggak cukup 25 tahun ini lo hidup sama papa lo?!" Adnan memandangku penuh kebencian. Pria yang sudah berpacaran denganku selama 5 tahun itu, mengangkat tubuh si ibu.