DUA MATAHARI part.4

380 33 2
                                    

Begitu masuk rumah, aku disuguhkan oleh pemandangan mama yang marah sambil menunjuk muka paman.

"Ini semua salah kamu mas!! Nika liar seperti ini didikanmu!!"

"Bukan" kataku membela paman. "Semua Bukan salah paman, aku memang-- terlahir seperti ini kan? Ngga pernah berguna"

Papa dan mama memandangiku dari atas ke bawah. "Apa yang kamu lakukan pada rambutmu, Arunika?!" Teriak papa sambil mengusap wajahnya kasar. "Harusnya kamu terima beasiswa fakultas hukum itu, kamu ngga mungkin se liar seperti sekarang"

Sesungguhnya aku sudah lelah. Berharap ini semua cepat selesai tanpa ada kata-kata lain yang tidak pernah kuucapkan pada orang tuaku. Sebuah alasan, alasan yang tidak ingin ku sesali telah memilihnya.

"Aku akan pindah ke Bandung" ucapku lirih. Tiga kepala di Ruang keluarga itu menatapku. "Aku dapat kerjaan disana, kalian tidak akan terbebani lagi olehku"

"Bagaimana dengan pernikahan kalian, Arunika? Orang tua Bhanu akan datang minggu depan" mama berbicara menantang. "Kamu harus nikah sebelum ke Bandung"

"Kenapa mama terobsesi sama pernikahan aku?! Aku tidak akan menikah!! Pindah ke Bandung itu yang akan kulakukan"

Seseorang menarik pergelangan tanganku. Bhanu sudah berdiri disana, peluh mengucur di pelipisnya. "Ma.. pa.. biar Bhanu aja yang bicara dulu sama Nika"

Papa menghela napas panjang. "Lihat Nika!ini yang selalu papa mama khawatirkan dari dulu! Kamu membuat masalah dan Bhanu yang menyelesaikannya!"

Aku memejamkan mata sebelum berbicara. "Masalah apa yang aku buat?"

Mama melipat tangannya di dada sambil memelototiku. "Banyak!!"

"Stop nyalahin Nika" paman berusaha membelaku tetapi mama terus melanjutkan pidatonya.

"Harusnya kamu kuliah di fakultas hukum dan sekarang bisa jadi pengacara, jaksa, hakim setidaknya profesi yang sepadan dengan dokter seperti Bhanu!! Kenapa kamu membuang kesempatan langka itu Arunika?! Untuk jadi seorang seniman jalanan hah?!"

Air mataku sudah tak terbendung lagi. Sesak di dadaku semakin menjadi. "Hari itu tanggal 9 Oktober..." kataku berusaha untuk tidak terisak-isak di depan mereka. Bhanu yang mengetahui cerita ini hanya diam di sampingku.

"Ada apa dengan 9 okto--" papa berhenti bicara lalu menatapku kali ini dengan tatapan yang tidak menghakimi.

"Iya... hari itu 9 oktober hari dimana papa dan mama kecelakaan mobil. Mentari sedang pergi entah kemana dan tak bisa di hubungi, hanya hapeku yang aktif karena aku menunggu pengumuman kelulusan beasiswa itu"

aku mengusap air mata dengan punggung tangan. "Tapi bukan telepon dari kampus yang ku dapatkan melainkan kabar kalau kedua orang tuaku kecelakaan dan saat itu di Rumah Sakit. Yang aku tahu hari itu, aku harus menyelamatkan kalian apapun caranya..."

Mama terduduk lemas di sofa sedangkan papa hanya mengamatiku.

"itu keputusan paling tepat yang aku ambil. Jangan terus menerus mengungkit hal ini, aku tidak mau berpikir kalau keputusanku salah"

●●●

Bhanu sudah berdiri di tengah-tengah kamarku memegangi obat luka dan juga plester. Kalau di hari lain melihat Bhanu seperti ini, aku pasti sudah memeluknya erat sambil menangis.

Tapi aku ngga bisa terus jadi beban dia kan.

Bhanu menghampiriku lalu mengobati luka bekas tamparan Mentari. "Rambutmu bagus, kalau rambutku di cat kaya gini cocok ngga?"

Aku hanya berdecak. Lalu melengos pergi ke depan lemari, mengeluarkan koper besar dan mulai memasukan semua baju-bajuku ke dalamnya.

Seperti biasa Bhanu akan mengobrol tanpa henti jika aku marah sampai aku meladeninya. "Kamu beneran mau ke Bandung? Nanti aku nyusul kamu--"

"Sejak kapan?"

Laki-laki yang sudah bersama denganku lebih dari 10 tahun itu memandangiku tak mengerti.

Aku menjejalkan baju dengan penuh amarah. "Aku Jadi beban seumur hidup kamu! Sejak kapan?"

Bhanu duduk di ujung ranjang sambil memandangiku. "Kamu itu beban untukku bahagiakan, untukku buat tersenyum, beban seumur hidupku yang paling menyenangkan buat aku tanggung"

Bukannya tersipu, dengan penuh kekuatan aku melemparkan bantal ke mukanya Bhanu. Yang dilempar hanya menerima pasrah.

"Nika... kamu marah soal dulu aku pernah suka Mentari? hal paling bodoh yang kusesali adalah niat awalku padamu untuk mendekati Mentari. Maafin aku"

"Aku terlalu bergantung padamu... harusnya aku yang minta maaf" kataku sambil menutup koper. Bhanu berdiri seakan ingin berbicara tapi batal sebelum mulutnya bersuara. "Aku pergi..."

Ketakutan terbesarku adalah ini. Peristiwa dimana aku harus meninggalkan orang yang kusayang. Lelaki ini sudah berada di sampingku belasan tahun. Aku sudah terbiasa dan tidak bisa membayangkan lagi hidup tanpanya.

"Nika..." panggil Bhanu saat aku akan membuka pintu kamar. "Kalau kamu mau pergi dariku, kembalikan dulu kalung yang kuberikan"

Ahhh yaa kalung pemberian Bhanu 5 tahun lalu. Kalung berhiaskan liontin 2 bulatan seperti cincin tapi sampai hari ini 2 cincin itu tak pernah muat di jariku.

Aku berbalik padanya dan memberikan kalung itu. Bhanu melepaskan gelangnya lalu mengeluarkan 2 cincin lagi yang lebih kecil dari 2 liontin yang kupakai.

"Lihat ini, Nika..."

Bhanu menyatukan kedua cincin yang berada di kalungku dengan cincin yang ada di gelangnya. Sehingga membentuk 2 cincin yang bersilangan dan bertumpuk satu sama lain. Bhanu memakai satu di jari manisnya kemudian memasukan satu lagi ke jari manisku.

Aku memandangi cincin di jariku dengan tak percaya. Pantas saja tidak pernah masuk di jariku karena ada bagian cincin yang hilang.

"Ini..."

"Harusnya ngga kayak gini, aku menyusun beberapa skenario untuk memberikan ini dengan layak. Tapi--" Bhanu memegang kedua bahuku membuat kepalaku naik untuk melihatnya. "Kamu tahu, kamu orang yang paling keras kepala yang pernah ku temui. Ngga akan ada yang bisa cegah kamu ke Bandung kan? Tapi sebelum itu, biarin orang tuaku datang buat ketemu kamu"

Jantungku berdebar kencang, rasanya berteriak bahagia saja tidak cukup untukku. Tapi aku harus memastikan-- "jadi selama ini aku ngga bertepuk sebelah tangan? Kamu udah nggak suka lagi sama Mentari?"

Bhanu menghela napas sembari menggelengkan kepala. "Kamu inget ga aku ngasih kalung sama 2 cincin itu kapan?" Tanyanya gemas.

"5 tahun lalu waktu kita awal masuk kuliah"

"Dengar Arunika, 5 tahun lalu aku sudah merencanakan semua ini. Aku ngga pernah bisa bayangin hidup tanpa kamu sejak 5 tahun lalu jad--"

Bibir Bhanu berhenti mengoceh karena aku menutupnya dengan bibirku sendiri. Walau awalnya kaget, Bhanu tetap membalasnya dengan lembut.

Sampai di suatu titik aku melepaskan pagutan kami. Dan menyipitkan mata. "Kamu habis ngerokok pak dokter?"

"Aku stres mikirin seseorang yang kabur-kaburan" katanya kemudian memelukku. "Please jangan gitu lagi Nika..."

Aku menggelengkan kepala di dalam pelukannya. Setidaknya aku punya satu orang yang masih berada di sampingku, untukku itu lebih dari cukup.
●●●

END

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang