"Dia pacarmu?" Tanya wanita berhijab hitam dengan snelli panjang menghampiri ranjang Rumah sakit tempat laki-laki itu terbaring.
Aku menggelengkan kepala. "Bagaimana keadaannya? Apa dia--" memikirkannya terluka masih saja menyakitkan bagiku.
"Dia baik-baik saja... kamu yang ngga baik, harusnya kamu bercermin sekarang dan lihat bagaimana kacaunya dirimu" wanita ini adalah salah satu dokter Indonesia yang bertugas di Rumah Sakit Indonesia di Gaza.
"Selama ini saya pikir kamu tidak punya ekspresi" katanya sambil tertawa. "Akhirnya hari ini saya lihat Ekspresi khawatir sekaligus sedih kamu, dia bukan laki-laki biasa kan?"
Aku tidak bisa menjawab.
"Ohh dia sadar" serunya lalu menghampiri laki-laki itu kemudian melakukan pemeriksaan. "Saya tinggal kalian berdua" katanya sebelum menghilang di balik tirai Rumah Sakit.
Aku menoleh dan mendapati laki-laki itu memandangiku seperti tidak percaya. Sejujurnya aku bingung harus bagaimana, apa aku pergi saja?
"Dokter benar, harusnya kamu yang di periksa bukan aku" katanya masih sambil mengamatiku. "Are you oke?"
Aku tidak menjawab. Aku masih tidak bisa memahami semua ini, laki-laki yang selalu hadir dalam pikiranku setidaknya satu jam dalam sehari, mengacaukan hariku yang kurasa sudah cukup bahagia.
"Jadi ini tempat persembunyianmu? Jauh.. pantas saja tidak ada orang yang menemukanmu"
"Kenapa kamu bisa sampai kesini?" Tanyaku langsung.
Dia menghela nafas sebelum bergerak turun dari ranjang rumah sakit, berusaha meraih tanganku yang tergantung kaku di kedua sisi badanku. Seolah ter-program dengan baik kaki ku bergerak mundur menghindari sentuhannya.
Kulihat matanya menatapku sedih, lalu menunduk beberapa detik.
"Maaf... maafin aku" laki-laki itu menatapku sendu. Seperti benar-benar menyesali seluruh hidupnya. "Bisa kita bicara?"
"Tidak ada yang perlu di bicarakan, semua sudah selesai" jawabku kaku. "Saya akan meminta teman untuk mengantarkanmu ke perbatasan, sebaiknya kamu segera pulang"
Aku berbalik untuk pergi darisana secepatnya. Ini seperti mimpi, dia yang selalu muncul di pikiranku tanpa bisa kucegah, dia yang dengan kejamnya menyuruhku menghilang, orang yang sama dengan orang yang sedang berdiri hanya satu meter denganku.
"Malam itu kenapa kamu menyuruhku menunggu di depan ruangan kakakmu? Kenapa kamu sengaja membiarkan aku ngedenger semuanya?"
Pertanyaan itu membuat langkahku terhenti kemudian berbalik ke tempatnya berdiri hanya untuk melihat wajah yang selalu kurindukan bertahun-tahun. Orang-orang disekeliling kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing tidak peduli ada dua orang berbahasa asing berbicara.
"Karena saya akhirnya sadar bergantung padamu hanya membuat saya semakin kesakitan saat kamu pergi..." mungkin ini saatnya semuanya benar-benar berakhir. "Kamu benar bukan saya yang harus di selamatkan"
Laki-laki itu menggelengkan kepala. "Harusnya aku menyelamatkanmu waktu itu"
Aku hanya terdiam mendengarnya. Tidak-- aku tidak mau berharap lagi, semuanya telah lama usai.
"Kamu tahu kenapa 5 tahun ini aku menunggumu?"
Tidak menjawab, aku melarikan pandanganku pada jendela Kaca Rumah Sakit, melihat ke kota di bawah sana. Kota yang porak poranda karena perang yang tak pernah usai.
●●●
Seseorang memanggilku dan mengguncang badanku dari samping. aku tersenyum lebar saat ada gadis kecil berusia 3 tahun memandangku penuh keingintahuan.
"Kyra tahu ibu nya sedang galau" Dokter yang kini mengenakan hijab biru tua itu menghampiriku. "Hari ini laki-laki itu pulang kan? Kamu tidak mau antar dia?"
Aku hanya menggeleng.
"Sepertinya masalah kalian cukup pelik--"
"Dokter itu spesialis jantung kan? Bukan psikiatri?" Tanyaku kesal.
Dokter Hana tertawa. "Habisnya kamu ngelamun terus dari tadi, Kyra sampai manggil saya tanya ibunya kenapa"
Angin berhembus kencang menerbangkan kain yang menutup rambutku. Kami sedang berada beberapa kilo dari Rumah Sakit, mengantarkan makanan dan air minum untuk keluarga yang sangat membutuhkan.
Rumah mereka telah musnah yang tersisa hanya tenda tenda tempat kini mereka berlindung. Tanpa air, tanpa listrik, segala hak untuk hidup mereka terambil secara paksa.
Kyra lahir di saat aku baru saja tiba di Palestina. Ibu yang melahirkannya ke dunia ini memegang tanganku dan berbicara dalam bahasa yang sama sekali tak kukenal. Dari sorot matanya aku tahu ada ribuan kata tolong dalam bahasa yang di ucapkannya.
Ibu kandung Kyra cantik, sangat cantik dia wanita tangguh yang mengandung Kyra tanpa suami, tanpa makanan juga tanpa rumah yang layak. Suaminya meninggal dalam sebuah serangan oleh tentara Israel setelah Donald Trump mengakui Yarussalem sebagai ibu kota Israel.
Setelah melahirkan Kyra tak lama ibunya meninggal dunia. Kyra menjadi bayi kesekian yang yatim piatu ketika masih sangat kecil.
Sejak saat itu, aku yang tidak pernah ingin lagi berurusan dengan orang lain atau terlalu bergantung pada orang lain, akhirnya menemukan seseorang yang hidupnya hanya bergantung padaku. Akhirnya aku punya alasan untuk membuka mata di pagi hari.
"Bukankah lelaki itu temanmu yang kemarin?"
Aku mengalihkan pandanganku pada seseorang yang ditunjuk oleh Dokter Hana. Orang itu memakai topi hitam, di pundak kirinya tersampir tas kamera untuk meliput berita. Laki-laki itu berjalan tergesa ke arahku.
Dengan Kaki panjangnya hanya perlu beberapa langkah menuju tempatku duduk bersama Dokter Hana dan Kyra.
"Kemarin kita belum berkenalan Dokter, saya wartawan yang akan meliput disini"
Dokter Hana berjabatan tangan dengan laki-laki itu, dan pura-pura dipanggil relawan lain lalu menghilang.
"Kenapa tidak jadi pulang?" Tanyaku. Padahal aku sudah meminta 2 orang teman untuk mengantarkannya ke perbatasan.
"Bagaimana bisa aku pulang sementara kamu masih disini? Berapa kali pun kamu ngusir aku, silakan. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi"
Laki-laki itu berlutut dan menggenggam kedua tangan mungil Kyra.
"Whats your name?"
"Kyra.."
"Matahari..." ia menggumamkan arti nama Kyra. "Can you call me baba?"
Sebelum aku protes Kyra sudah mengangguk patuh lalu memanggilnya Baba berulang kali sambil tertawa menunjukan gigi ompongnya.
"Aku harus berterima kasih sama Kyra, karena dia kamu masih hidup" katanya kemudian mencium kedua pipi Kyra.
Kyra memeluk leher laki-laki itu, seperti mengerti kalau aku dulu sekali pernah mengharapkannya untuk menjadi ayah dari anak-anakku.
Tapi apakah aku bisa menerimanya lagi setelah semua yang terjadi? Entahlah, waktu yang akan menjawab...
---END---
Semoga suka❤❤
Selamat malam minggu😘😘😘Sabtu, 24 oktober 2020