Harusnya ini menjadi perjalanan yang menyenangkan, perjalanan terakhir sebelum kita berdua melalui proses pingitan. Ya, seharusnya hari ini diisi dengan candaan-candaan garing yang malah kita berdua tertawakan sampai sakit perut, atau membicarakan hal random tiada habisnya, atau mungkin mengomentari situasi politik pelik saat ini dan berdebat siapa yang bakalan menang.
Namun perjalanan kali ini tidak akan pernah diisi dengan tawa, tidak akan diisi hal-hal random, tujuan kita berdua jelas. Datang ke rumah para orang tua, ke WO, ke KUA untuk membatalkan semuanya.
Ya Tuhan... dari semua skenario panjang yang kubuat untuk pernikahan kami, tidak ada rencana pembatalan. 10 hari lagi harusnya pria di sampingku ini mengucapkan janji di hadapan para saksi dan Bapak sebagai wali. 3 hari lagi mestinya aku tidak boleh keluar rumah karena pingitan.
Kembali aku menghela nafas panjang, rasanya sesak luar biasa di dalam mobil bersama dia, Berwyn Fauzi. Aku tidak membuka mulut sama sekali saat dia menjemputku di kosan atau saat dia berbasa basi menanyakan sudahkah aku sarapan. Tidak, aku takut jika mulutku terbuka yang kukatakan justru menahannya untuk jangan pergi dan tetap tinggal. Meskipun sangat ingin kulakukan, itu tidak boleh terjadi lagi setelah penolakan yang dia buat kemarin.
"Sima... aku nggak bisa, biarkan aku bertanggung jawab pada yang seharusnya aku pertanggung jawabkan"
Bertanggung jawab pada yang seharusnya, katanya? Lalu aku? Apakah dia tidak pernah memikirkan pertanggung jawabannya padaku? Keluargaku? Pada orang-orang yang telah kuundang di acara pernikahan 10 hari lagi. aku bahkan bersedia mengundur tanggal pernikahan 7 bulan lagi setelah semua masalah Berwyn dan Liqa selesai.
Tapi Berwyn tetap pada pendiriannya untuk bertanggung jawab atas bayi yang ada di kandungan Liqa. Demi Tuhan! Liqa bahkan sudah bersuami! Berwyn pasti sudah gila meninggalkanku untuk wanita itu.
"Ibu mungkin bakalan shock nanti, beliau menyukai kamu—sangat" Berwyn berkata tanpa menatapku.
Aku menolehkan kepala, dalam hati meringis melihat banyak lebam di wajah tampannya. Bekas pukulan Bang Dera kemarin. Lebih dari Bang Dera akupun ingin sekali menampar wajah mulus sempurna istrinya, Liqa. Tapi tidak mungkin, Liqa sedang hamil, orang hamil tidak akan di persalahkan yang ada nanti aku dihujat karena memukul ibu hamil.
Tapi melihat Bang Dera memukuli Berwyn tanpa ampun kemudian mengucapkan talak dengan lantang dihadapan Liqa istrinya, kemarahanku seakan tidak ada artinya. Semalaman aku menanamkan dalam otakku kalau aku masih beruntung. Bang Dera lebih sial daripada aku. Yaa ampun, bisa-bisanya aku mengatai sepupuku sendiri lebih sial.
"Sima aku—"
"just ride!! And shut up your mouth!!" desisku tak suka seketika menghentikan gerakan mulut Berwyn.
Ini perjalanan terakhirku bersamanya, karena setelah ini selesai aku mungkin tidak akan sudi menemuinya lagi. 2 tahun yang kuhabiskan bersamanya, 2 tahun yang sia-sia. Bahkan dalam jangka waktu selama itu, Berwyn ternyata masih saja menatap Amira Valiqa dengan jenis tatapan penuh cinta dan penuh damba.
Harusnya aku sadar, Berwyn memang akan selalu seperti itu. dan aku dengan bodohnya percaya kalau Berwyn telah lama move on dari Liqa, percaya jika Berwyn setidaknya tidak akan membuatku terluka. Namun lagi-lagi aku salah, Berwyn tetaplah Berwyn Fauzi 3 tahun lalu yang patah hati ditinggal sang kekasih.
Aku menatap nanar keluar kaca mobil, tidak ada pemandangan berarti hanya ada kendaraan-kendaraan yang mengantri di gerbang TOL, ini masih pagi tapi kesemrawutan Jakarta sudah dimulai. Seperti semrawutnya otakku sekarang. Semalam aku bahkan merasa kepalaku telah berasap karena terlalu keras berpikir.
***