OUR LAST DAY (3)

1K 55 0
                                    

"Sima... kita udah sampai"

Seperti orang linglung aku melihat Rumah bercat putih itu, rumah orang tua Berwyn. Beberapa hari lalu aku berkunjung kesini setelah mengambil jahitan seragam kebaya bersama Ibu. Mungkin setelah ini aku tidak akan bisa lagi memanggil mamanya Berwyn Ibu.

Ketika aku hendak membuka pintu mobil, tangan Berwyn menahanku lalu menyodorkan sebotol air mineral yang telah dibuka tutupnya. Matanya menyorotkan kekhawatiran yang tidak kumengerti untuk apa. "kamu harus minum, muka kamu pucat banget"

Aku menurutinya, meminum beberapa kali teguk. Kemudian berjalan di belakang Berwyn. Kepalaku masih tertunduk saat keluarga besar Berwyn sedang berkumpul kompak berteriak Ciyeee dan beragam godaan lainnya. Berwyn mengajakku ke ruang baca ayahnya, sampai ayah ibunya datang ke ruangan itu berhadapan dengan kami.

Segala ucapan yang telah kususun hilang, berganti dengan kebingungan luar biasa. Aku tidak tahu harus mulai darimana membicarakan ini, aku tidak tahu bagaimana mengakhiri semuanya.

"Sima... kamu sakit, Nak?" ibu bertanya padaku yang kujawab dengan gelengan. Ibu berbeda dengan mama, Ibu tutur katanya lemah lembut sedangkan mama ceplas ceplos dan seringkali meledak-ledak. Aku tahu nanti di rumah mama akan menyalahkanku karena pembatalan ini.

Berwyn mulai berbicara, menjelaskan tentang alasan mereka berdua datang kesini. Berkali-kali Ibu mengucapkan istigfar sementara ayah hanya diam tidak banyak berbicara.

"Maafin Berwyn, Bu... Yah..." tutup Berwyn sambil menundukan kepalanya dalam.

"harusnya bukan pada kami, kamu minta maaf Berwyn.... menurutmu Sima baik-baik saja sekarang?" ayah berucap dingin.

***

"Teh... mama kemarin buat wajit kacang, enak A... sok atuh cobain" mama mengeluarkan setoples makanan khas sunda berupa adonan gula, ketan, santan dan kacang hijau yang dibungkus plastik buram seperti dodol. "itu wajahnya kenapa A? Aduh nanti di foto nggak bagus atuh, bonyok gitu"

Bapak yang baru masuk ke dapur rumah duduk di samping mama di meja makan keluarga berbentuk persegi. "masih 10 hari lagi ma, nanti juga hilang biru-birunya. Kenapa A? Habis latihan di kesatuan?"

"Ma... Pak... teteh nggak jadi nikah" kataku cepat-cepat. Sudahlah semuanya memang harus cepat selesai. Kedua orang tuaku diam sambil memicingkan mata. Aku menghela napas. "Teteh sama Berwyn kesini buat bilang kalau kita nggak jadi nikah 10 hari lagi"

"kumaha? Teu ngerti mama?"

"Ma... Pak maafin Berwyn, saya---"

Aku memotong cepat. "Intinya aku sama Berwyn nggak akan nikah 10 hari lagi, nggak akan ada pernikahan semuanya batal"

"kenapa?" Bapak bertanya setelah cukup lama terdiam.

Tanpa menatap Berwyn aku berucap. "kita udah nggak sejalan lagi" mana tega aku mengucapkan kalau calon suamiku telah menghamili menantu kakak kandungnya mama. Lagipula semua akan berakhir hari ini, nanti aku bisa menjelaskannya perlahan pada orang tuaku.

"Mama bilang apa kan teh!! belajar masak yang bener nggak usah masak yang susah dulu, belajar beresin rumah, bebersih, ini mah kosan udah kayak habis kena angin ribut. Terus Mama bilang apa kemarin? Ke salon Luluran terus Perawatan itu wajah kamu mirip mayat, pucet gitu!! Ya.. Allah... lihat Teh Liqa atuh, uwa muji-muji terus menantunya cantik, pinter masak, rumahnya selalu rapi, gimana sama anak mama satu-satunya ini? Astagfirullah... Teteh, ini udah dua kali Teh!! Teteh batal nikah sama A Gilang terus sekarang?" Mama menatapku tajam seolah bisa menerkamku dengan tatapan itu.

Kalau Mama tahu yang sebenarnya mungkin Mama akan langsung menampar Berwyn atau melabrak Liqa sambil membawa pasukannya, saudara-saudara perempuannya termasuk uwa dan selanjutnya apa? semua orang akan terluka, semua menderita. Dan aku tidak mau Mama dengan sikap spontannya itu menghancurkan orang lain termasuk dirinya sendiri. Mama sering kali bersikap diluar nalar jika ada sesuatu yang tidak disukainya, menyeret orang-orang terdekatnya untuk berkomplot membenci apa yang mama benci.

Sebagai anak satu-satunya Aku harus melindungi keluargaku dari luka, hanya ini yang terpikir olehku. 3 tahun lalu saat Gilang menolak perjodohan kami pun Mama mendatangi kediaman keluarga Gilang, marah-marah dan tanpa bertanya menampar Gilang. Sampai sekarang keluarga Gilang membenci Mama begitupun Mama yang memutuskan tali silaturahmi diantara kami.

"Harusnya kamu jujur, Mama kamu berhak tahu akulah yang brengsek disini bukan anaknya" Berwyn berkata saat kami berada di mobil.

"terus apa? kejadian dulu bakalan ke ulang lagi? kamu nggak akan tahu gimana seringnya Mama nangis diam-diam di kamar setelah berkata tidak akan mengunjungi keluarga Gilang, dia menyesal. Bagaimana mungkin itu terjadi sekarang? Mama akan memutuskan hubungannya dengan kakaknya sendiri? nggak... aku nggak mau itu terjadi" kataku dalam sekali helaan napas. Ini kalimat terpanjangku hari ini.

"aku ngerti tapi aku memang pantas mendapatkan yang lebih parah daripada tonjokan Dera dan itu dari kamu"

***

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang