OUR LAST DAY (2)

1.2K 61 2
                                    

Aku berlari secepat yang kubisa ke sebuah lorong Rumah Sakit Ibu dan Anak, saat sampai disana sudah banyak orang berkumpul menonton pertunjukan antara Bang Dera- Liqa dan Berwyn. Terdengar sayup-sayup suara Bang Dera mengumpat berkali-kali dan suara isakan memilukan dari Liqa.

Kalau tangan Gilang tidak menahan tubuhku, mungkin aku akan terjatuh dengan sangat menyedihkan disana.

"Ya... dengerin penjelasannya dari dua pihak, baru kamu putusin langkah selanjutnya..." Gilang berbisik di telingaku. "Ya? Kamu dengar aku kan? Kamu harus tetap berkepala dingin--"

Tapi aku tidak lagi mendengar nasihat Gilang yang mengantarku ke Rumah Sakit. Bagaimana mungkin aku bisa tetap berkepala dingin ketika melihat calon suamiku babak belur dihajar sepupuku sendiri, dan mereka berdua telah berteman lebih lama dari aku.

"A tolong pesankan satu ruangan, kita berempat butuh ngobrol banyak.." aku berkata lirih. Gilang menganggukan kepala dan menghilang di balik kerumunan. Aku bersyukur menerima ajakannya tadi untuk mengantarku kesini.

Ruangan untuk ibu bersalin itu luas dengan sofa-sofa untuk penjenguk, LED TV, satu ranjang juga sebuah boks bayi kaca di sudut ruangan. aku mencoba menenangkan debaran jantungku yang sejak tadi tidak berhenti berderu kencang selayaknya sedang lari marathon.

"KAMU!!" telunjuk Bang Dera teracung padaku. Matanya merah dan bengkak, kurasa abangku itu telah banyak menangis. "BATALIN PERNIKAHAN KALIAN!!"

1x7 = 7, 2x7=14, 3x7=21, 4x7=28, 5x7=35... aku merapalkan perkalian itu di dalam hati, mantra yang biasanya berhasil meredam emosiku.

"KENAPA NGGAK JAWAB?! KAMU MASIH MAU NIKAH SAMA ORANG YANG HATINYA NGGAK PERNAH BISA KAMU MILIKI?!! JAWAB ABANG WASIMA TSURAYYA!!!"

Aku menghela nafas, 6x7=42 7x7... sial aku bahkan lupa berapa 7x7. Menatap Bang Dera datar, aku berkata. "seminggu lalu abang telepon seluruh keluarga ngabarin istri abang hamil dan semua orang senang, terus kenapa sekarang abang jadi marah-marah, mukulin Berwyn dan nyuruh aku batalin nikah? Abang gila apa?!"

"GILA?! YANG GILA ITU MEREKA!!" telunjuk Bang Dera kembali teracung ke arah Liqa dan Berwyn.

"bisa nggak abang tenang? Nggak usah teriak aku nggak tuli!!"

Bang Dera mengusap wajahnya, wajah yang terbiasa ramah itu berubah sinis, matanya berkobar kentara sekali penuh amarah. "kamu tanya sama dia berapa bulan kandungannya" katanya pelan.

Mataku beralih pada Liqa yang terus menangis di ranjang. Lalu pada Berwyn yang duduk disamping ranjang memperhatikan Liqa, luka di wajah pria itu belum di bersihkan. "pasti perih" pikirnya. Namun hatinya mencelos ketika dalam situasi pelik seperti ini, Berwyn tidak berusaha menjelaskan semuanya padaku.

"berapa minggu?" tanyaku setelah berdehem. Liqa semakin kencang menangis sedangkan aku merapalkan perkalian di otak. 1x7=7, 2x7=14, 3x7=21, 4x7=28, 5x7=35, 6x7=42, 7x7= sialan!! Berapa sih 7x7??

"Liqa, bisa nggak kamu berhenti menangis dulu dan jawab pertanyaanku. Berapa minggu?" ujarku sedikit keras.

"Sima... please, jangan berteriak di depan Liqa!!" suara Berwyn terdengar dalam, pria itu tidak menatapnya tapi aku tahu dia marah. Kenapa? Kenapa dia harus marah padaku?.

Bang Dera tertawa miris. "tuh!! Lihat!! Bahkan calon suami kamu ini belain istri orang, terus aja gitu dari tadi"

Mengabaikan rasa sakit di dadaku. Aku menatap Liqa. "berapa minggu?" tanyaku sekali lagi.

"delapan" jawab Liqa pelan tapi masih bisa kudengar.

Tidak bisa kujelaskan perasaanku, rasanya seperti di masukan ke dalam ruang tanpa udara, sesak. Delapan minggu berarti sudah dua bulan, Bang Dera dan Liqa menikah belum sampai sebulan. Dua bulan lalu aku dan Berwyn sudah bertunangan, aku mungkin tengah menyiapkan konsep pernikahan bolak-balik ke WO. Astaga!! Malangnya dirimu Wasima.

"Wyn... kamu..." suaraku tercekat. ...7x7=49, 8x7=56, 9x7... "kamu mau jelasin ke aku? Bagaimana bisa bencana ini terjadi?"

Berwyn akhirnya menatap mataku, luka-luka di wajahnya tampak mengerikan, darah mengering di sudut bibir juga ujung alisnya, ada benjolan biru di dahinya. 9x7=63, 10x7=70...

"aku melakukannya—tidak, kami memang melakukannya. Dan itu bukan bencana, Sima..."

Bukan bencana katanya? Meskipun aku dengan Berwyn pacaran dua tahun tetapi dia tidak pernah meminta suatu hal diluar batas, kukira itu karena Berwyn menghargaiku sebagai perempuan bukan karena Berwyn tidak mengharapkanku seperti ini.

"JAGA MULUT KOTOR LO BRENGSEK!! APA SEKARANG LO NYALAHIN SIMA!! JADI MAU APA LO SEKARANG HAH?! LIQA MASIH ISTRI GUE!! DEMI TUHAN!!" lagi umpatan kasar keluar dari mulut Bang Dera, sepupunya itu berjalan mondar-mandir seperti tersesat.

"kita Tes DNA!!"usulku. aku menekan seluruh egoku ketika mengatakan ini. "7 bulan lagi... kita tunda pernikahan dan setelah DNA--" aku terdiam dengan mata yang mulai memanas.

"setelah DNA apa Sima? Apa kamu bakalan nunggu sebuah surat penegasan bahwa calon suami tercinta kamu ini ayah dari janin di kandungan Liqa? Jangan tolol Wasima Tsurayya" Bang Dera berdecak tak suka.

"aku bersedia!! Aku yakin Bang Dera, ayah bayi itu" entah kenapa hatiku berteriak apa tapi mulut berkata lain.

"gila kamu!! Jelas-jelas kamu tahu berada dimana aku dua bulan lalu, Wasima!! Wake up!! Mimpimu selesai!!"

Iya... aku tahu, dua bulan lalu Bang Dera masih berada jauh di pedalaman Kalimantan, penelitian apalah disana dan baru pulang seminggu sebelum pernikahannya yang membuat uwa mencak-mencak pada anak laki-laki kesayangannya itu.

"Sima a-aku---" sebuah panggilan menyadarkanku.

Mataku berkabut saat mendongak, Liqa si cantik jelita itu yang tidak bisa kusaingi, tidak ---akan—pernah-- bisa. Sudah lama aku merasa terus-terusan insecure jika di dekatnya, tapi aku berusaha mengabaikannya. Melihat keadaan jadi sekacau ini ternyata perasaan rendah diri di hadapannya itu beralasan.

Air mata yang kutahan itu nyatanya luruh juga, tidak ada gunanya aku merapalkan perkalian di otak kalau air mata menghianatiku, mendesak keluar tanpa terkendali. Bang Dera berjongkok menghampiriku, buru-buru tangannya menghapus air mata sialan ini. Satu isakan lolos dari mulutku, rasanya perih, sakit, tak percaya, aku berharap ini semua hanyalah mimpi.

"kita pulang, Ya..." Bang Dera menarik tanganku.

Aku bergeming, membuat bang Dera mengerutkan kening. Aku akan mencobanya sekali lagi, mungkin Berwyn memberikan jawaban lain selain penolakan.

"apa yang harus kulakukan Berwyn? Aku akan menunggu kalau kamu nyuruh aku nunggu, aku bahkan percaya kalau sekarang kamu bilang kamu tidak melakukannya. Tolong bilang sama aku apa yang harus aku lakuin?" aku bicara lancar meskipun dengan air mata bercucuran.

Berwyn terlihat menghela napas panjang sebelum bicara. "Sima... aku nggak bisa, biarkan aku bertanggung jawab pada yang seharusnya aku pertanggung jawabkan"

***

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang