Athar, nama yang sanggup membuat jantungku berdegub kencang setiap kali menyebutkannya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku menunggu begitu lama hanya untuk menyaksikan kepergian dirinya bersama orang lain. Aku tahu menunggunya merupakan kebodohan, tetapi itu bukan sebuah kesalahan, meskipun tidak ada yang kudapatkan dengan menunggunya membuka hati, Aku tetap tidak akan menyesalinya.
Dia segalanya bagiku, teman, sahabat, saudara, kakak, tetangga. Aku mengikutinya sepanjang hidupku, karena itu juga hanya dia yang kulihat. Setiap kali ingin mengatakan perasaanku padanya, hal bodoh selalu kulakukan. Pada akhirnya aku menyerah, melihatnya begitu bahagia bersama wanita yang disukainya, tertawa bersamanya, pandangan matanya yang selalu mengarah pada wanita lain, aku tahu yang harus kulakukan adalah pergi darinya.
Seseorang menoyor kepalaku dari belakang. "Heh!! Jelek!! Ngapain lo bengong sendirian disini?!" pria berpakaian rapi dengan setelan kemeja batik dan celana hitam berdiri tepat di sampingku. Aku balas memukul lengannya kencang sampai Athar berteriak kesakitan. "lo gak lupa soal cincinnya kan?"
Cincin, yaa... cincin pertunangan Athar dan Kania. Mereka berdua menyuruhku mengambilnya tadi pagi, pikiran jahat sempat muncul dalam kepalaku, tetapi aku tetap membawa cincinnya dengan selamat. Aku menyerahkan sebuah kotak kaca pada Athar. Lelaki itu mengambilnya sambil tersenyum senang, matanya berbinar melihat dua cincin di dalam kotak itu. tanpa sadar aku ikut tersenyum.
"rombongan Kania belum dateng juga?" tanyaku sambil duduk di kursi panjang menghadap ke sebuah kolam renang hotel tempat pertunangan Kania dan Athar.
Athar duduk di ujung kursi lalu menatapnya dari atas sampai bawah. "waahhh gue baru sadar lo bisa jadi cewek beneran"
"baru sadar kan lo? Suatu hari lo bakalan nyesel ninggalin gue" ia berkata asal, sejenak keduanya terdiam. "lo yakin bisa bahagia sama Kania kan?" tanyanya pelan.
Athar tertawa kemudian duduk mendekat ke arahnya. "heh!! Lo kira gue gak bisa ngebuat Kania bahagia? Gue pasti bisa...."
"bukan dia, tapi lo... lo bahagia kan?" Athar melihat tepat ke manik matanya. entah apa yang dipikirkan Athar karena pertanyaan itu, ia hanya ingin memastikan kalau temannya itu bahagia. Suara dering ponsel Athar menyadarkan mereka berdua. Ia melihat punggung Athar menjauh. ia menghela nafas lalu beranjak ke tempat dimana ibu dan mamanya Athar berada.
Tiba-tiba mamanya Athar berteriak memanggil anaknya yang pergi terburu-buru. "Jihan, kejar Athar acaranya sebentar lagi mulai" ia menganggukan kepala kemudian berlari menyusul Athar.
lelaki itu sudah menaiki motornya, aku mempercepat langkah dan merentangkan kedua tangan di depan motor Athar. "kamu mau kemana dengan pakaian seperti ini?"
Athar membuka kaca helmnya. "terjadi sesuatu sama Kania..." dia menjawab dengan ekspresi putus asa.
"ke-kenapa? Ada apa sama Kania? Enggak... enggak" ia menggelengkan kepala cepat. "biar gue yang nyetir, lo gak boleh naik motor dalam keadaan begini"
Kepala Athar menggeleng, dia melajukan motornya dengan kencang, meninggalkannya begitu saja. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya sekarang, apa? kenapa? Bagaimana? ia ingin menanyakan itu semua pada Athar.
Tetapi semuanya menjadi terasa begitu gelap, seperti malam tanpa bintang, dan matahari tak kunjung menunjukan sinarnya, benar-benar gelap. semua pertanyaan menguap begitu saja digantikan dengan rasa kekhawatiran, tidak percaya apa yang dilihat matanya sendiri. Tubuh Athar terlempar dari motornya, terbaring bersimbah darah, wajah yang biasa dipandanginya setiap hari penuh dengan warna merah menyala.
Aku tidak mampu melakukan apapun, hanya duduk lemas di samping tubuhnya, orang-orang menjadikan tontonan gratis. Kedua mata Athar bergerak melihat ke arahnya, terlihat seperti menunjukan senyuman kecil. Segera ku raih tangannya, mata kami bertemu, perlahan mata Athar tertutup. aku mulai menyesal... sekarang aku sangat menyesal...
kenapa sebelumnya aku tidak pernah menyatakan perasaanku padanya, meskipun sudah kucoba berulang kali mengatakannya, hal bodoh keluar dari mulutku dan mengacaukan segalanya. Seharusnya aku berusaha lebih keras untuk mengungkapkannya, seharusnya aku melakukannya dengan benar. Sebelum kau pergi.... sebelum tanganku tak lagi bisa meraihmu.
***