"papa sayang Ghaitsaa... papa nggak perlu anak laki-laki. papa hanya perlu Ghaitsaa yang selalu jadi perempuan kuat yang selalu menjaga keluarganya. Mencintai mama dan papa"
"Ghaitsaa hebat!! Anak papa memang hebat!!"
"Saa... mama papa pergi dulu yaa... jangan nakal"
"seperti apa pacarmu itu? Kalian pacaran sudah berapa tahun tapi mama papa sama sekali belum lihat dia datang, suruh dia ke rumah!!"
"Saa... kemarin mama dikasih tahu temen arisan mama katanya ada tempat bagus untuk pernikahan. Outdoor gitu, kamu mau nikahannya di Outdoor kan?"
"pa... gimana menurut papa, bagus nggak kalau nanti Ghaitsaa tinggal di daerah rumah kita aja? Mama nggak mau Ghaitsaa pergi"
Aku menyembunyikan kepalaku diantara kedua kaki yang kupeluk. Meringkuk di lantai Rumah Sakit yang sedingin es. Dalam sekejap mata, aku kehilangan keduanya. Bukan. Aku kehilangan tiga orang yang kucintai. Sekarang semuanya telah pergi, hilang tanpa bisa ku cegah. Aku seorang diri, dan aku harus lebih kuat dari sebelumnya. Aku tetap harus menjalani hidupku tanpa mereka.
"Saa..." suara itu. Setelah segala hal buruk terjadi padaku. Kenapa aku masih merindukannya?
"Saa... tante bakalan baik-baik aja" kurasakan usapan lembut di kepala. Seperti biasa dia selalu melakukannya, untuk menenangkanku. "Om juga udah sadar kata dokter sebentar lagi om bisa pindah ke ruangan biasa"
Aku masih memeluk kaki dan menyembunyikan kepala. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ku ajukan pada papa, tapi melihat keadaan mama sekarang kurasa aku tahu yang harus ku lakukan.
"Semuanya bakal baik-baik aja..." ucapnya pelan.
Kata-kata itu, bukannya menenangkan ku tetapi malah memantik amarah yang sudah menggunung tinggi.
Berpandangan mata lagi, tidak pernah terbayangkan aku akan menatapnya seperti ini. Tanpa berkaca pun aku yakin tatapan ku bukan jenis tatapan seorang Ghaitsaa yang rela menunggu 4 tahun lebih sang kekasih kembali.
Kulepaskan jaket yang dikenakan Adnan padaku dan melemparnya ke sembarang tempat. Membuat pria itu menghela napas panjang.
"Saa... jangan begini, kamu bisa sakit--"
"Bukannya itu yang lo harapkan? Ngga ada yang baik-baik saja sekarang. Kalau sampai terjadi sesuatu sama mama" aku menggeretakan gigi menahan ledakan emosi. "Semua orang termasuk lo ngga akan pernah selamet"
Adnan menggapai tanganku, matanya berkaca-kaca saat menatapku. Dia pria yang tegar, papanya meninggal ketika umurnya baru 5 tahun. Tetapi selama mengenalnya baru hari ini kulihat air keluar dari matanya.
Tangannya masih menggenggamku erat. "Maaf..." lirihnya. "Seharusnya hari itu aku mengatakan semuanya padamu bukan meminta kita putus"
"Tapi lo ngga ngelakuin itu" kataku lalu melepaskan genggamannya. "Lo tahu apa yang gue pikirkan saat mengantarkan mama ke Rumah Sakit?"
Adnan hanya menundukan kepalanya. "Dalam satu hari gue harus ngubur dua jasad sekaligus"
***
"Saa... papa belum pulang ya?" Sudah kesekian kalinya mama bertanya hal sama padaku. "Kok ngga jengukin istrinya gitu loh"
Dokter menyarankanku untuk membawa mama ke psikolog. Bukan fisik mama yang sakit tapi psikis nya. Aku berencana membawa mama ke psikolog rekomendasi Nindi, mungkin besok saat mama sudah di perbolehkan keluar dari Rumah Sakit.