Melepasmu Pergi

3.3K 67 1
                                    

Jihan berjalan terseok menaiki tangga demi tangga menuju ke tempat paling atas di Rumah Sakit itu. sesekali ia berhenti hanya untuk menekan dadanya yang terasa begitu sakit, ia membiarkan air matanya jatuh bebas mengalir di pipinya yang pucat. Angin bertiup sangat kencang ketika Jihan membuka pintu besi Rooftop, seakan menyambutnya dengan tamparan keras di pipi, berusaha menyadarkan gadis itu.

Langit yang dipandangi Jihan sudah gelap total, tanpa bintang, tanpa bulan, hanya kegelapan. Sudah berjam-jam lamanya Jihan berada di Rooftop Rumah Sakit menatapi langit, atap-atap gedung dan rumah di bawahnya. Untuk kesekian kalinya Jihan membuang nafas keras-keras.

"apa lo disini?" tanyanya setelah sebelumnya menutup mata sejenak.

"ibu-ibu tadi bilang, ada seseorang yang menggenggam tangan gue" ia berkata pada angin karena tidak ada satu orang pun berada disana.

"saat lo takut, lo selalu megangin tangan gue, Thar..." suaranya bergetar.

Athar yang berada tepat disamping kiri Jihan menengok ka arah gadis itu. "lo tau banget kebiasaan gue, dan gue disini tanpa bisa melakukan apapun" katanya lirih.

"untuk saat ini gue bakalan berpikir kalo lo ada di deket gue, dengerin semua yang gue omongin..." Jihan menempelkan kedua lengannya di besi pembatas rooftop sambil mengedarkan pandangannya jauh ke bawah.

"apa gue mati aja, Thar? Apa rasanya sakit banget kalo mati? Apa kita bisa ketemu lagi saat gue mati?" sebulir air mata menetes di pipi Jihan jatuh membasahi besi pembatas.

"LO!!!" teriak Athar. "APA YANG BAKALAN LO LAKUIN HAH?!! LO MAU MATI?! LO SEBEGO ITU JIHAN!!!" Athar semakin kencang berteriak disamping Jihan yang tidak bisa mendengarnya.

"gue suka sama lo..." ditengah tangisannya yang pecah akhirnya Jihan mengungkapkannya. "gue suka sama lo Athar Julian..." Jihan berhenti sekedar menarik nafas dalam-dalam, merasakan dadanya sesak, kepalanya seakan mau pecah. Jihan berjongkok menyembunyikan kepalanya di kedua kakinya.

"kenapa lo harus pergi sekarang? Lo bilang bakalan bahagia sama Kania, kenapa jadi gini? Gue gak pernah bilang perasaan ini karena gue takut kehilangan lo..." lagi-lagi Jihan menangis tersedu-sedu ditemani angin malam yang berhembus kencang. Angin Seakan membawa pesan dari gadis itu kepada tubuh yang terbaring di dalam sana.

Athar menunduk menatap sahabatnya itu. "gue gak tahu... gue bener-bener gak tahu kalau lo punya perasaan lebih ke gue" ia mengalihkan pandangannya. "atau mungkin selama ini gue gak pernah mau tahu perasaan lo, sebrengs*k itulah gue Ji..."

Bertahun-tahun menjadi sahabat Jihan, Athar tidak pernah sekalipun melihat gadis itu menangis histeris seperti ini. Jihan hanya menunjukan wajah ceria di depannya, dia pendengar yang baik. Jihan mendengarkan apapun cerita dari Athar, hingga di saat seperti inilah Athar sadar kalau Jihan mungkin juga ingin di dengarkan.

Setelah Jihan mengeluarkan semua tangisannya sampai air matanya mengering dengan sendirinya. Ia berdiri kemudian pergi ke ruang perawatan Athar. langkah kakinya terhenti saat melihat seorang gadis cantik berdiri di depan pintu ruangan Athar. ia menguatkan dirinya untuk tidak memaki, menyumpah atau menampar gadis itu. sedangkan Athar yang tak kasat mata hanya bisa memandangi Kania sedih.

"Jihan... apa boleh kita bicara sebentar?" mata Kania terlihat sembab. Gadis itu meremas-remas kedua tangannya ketika berbicara pada Jihan.

Jihan duduk di kursi panjang berdampingan dengan Kania yang terdiam. Ia menatap kursi panjang kosong di seberang tempatnya duduk. Jika semua yang dikatakan ibu tadi tentang Athar benar, harusnya lelaki itu duduk di depannya sekarang. "kamu sudah menemui Athar?" tanyanya tanpa menoleh.

Kania mulai memegangi dadanya dan menangis. Selama beberapa menit hanya ada suara isakan Kania di lorong Rumah Sakit. Jihan tidak berusaha untuk menghibur gadis itu, ia hanya membisu. "ma-maaf..." katanya di tengah tangisannya yang pecah. Penyesalan sedang menggerogoti pikiran Kania, namun semuanya sudah terlambat saat mendengar penuturan dokter kalau semua alat bantu Athar besok akan dilepaskan. "gak seharusnya aku ninggalin Athar begitu saja tanpa penjelasan, kalau saja..." susah payah Kania bernafas normal, dadanya begitu sesak seperti ditimpuki berton-ton batu. "aku pikir Athar akan baik-baik saja tanpaku, ada kamu yang selalu disampingnya... aku kira meninggalkannya bukan masalah"

Jihan masih menatap ke kursi kosong di seberangnya, berharap Athar melihat kejadian ini, berharap sahabatnya itu memberi tahu apa yang harus dilakukannya. Setelah lama dalam kebisuan, ia berbicara pelan. "ini juga salahku... ayah berpikir dengan memisahkan kamu dan Athar aku bisa menggantikan tempatmu dihatinya" Jihan menoleh ke Kania. "tapi itu tidak mungkin karena hati Athar sepenuhnya milik kamu, Kania... dan aku lebih takut kehilangan sahabat sepertinya daripada apapun"

Suara derap langkah mendekat ke tempat Jihan dan Kania duduk. Sekitar 8 orang menerobos masuk ke Ruangan dimana Athar terbaring, Jihan mengepalkan kedua tangannya. Mama papa Athar terseok-seok sampai ke Ruang perawatan yang terbuka. Jihan terus melangkahkan kakinya melihat tubuh Athar dikelilingi orang-orang berseragam putih, matanya mulai kabur akibat air mata yang kembali mengalir. "jangan pergi.... jangan pergi dariku Athar... kembalilah.... kembalilah...." pintanya.

***


CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang