DUA MATAHARI

1K 30 2
                                    

"Nika..Sudah berapa lama kamu pacaran sama Bhanu?" Pertanyaan papa di pagi hari minggu cerah ini membuatku batal menyuapkan sepotong roti ke dalam mulut. "Kalau dari SMP berarti sudah lebih dari 10 tahun?"

"Bukan dari SMP lagi pa tapi dari SD" Mentari menimpali.

Aku langsung melotot pada kakakku itu yang di balas dengan memeletkan lidah.

"Suruh dia kemari, Nika..." titah bunda ratu.

"Bu--buat apa? Jangan aneh-aneh deh" kataku cengengesan.

Mama meletakan garpu dan sendoknya tanpa suara lalu mengelap bibir bergincu merahnya. "Aneh itu kalau kalian tidak menikah padahal sudah lama pacaran, kalau Bhanu serius sama kamu, suruh dia kemari secepatnya"

"Papa hanya ingin kamu menikah Arunika... sebentar lagi mama papa pergi ke Lembang" pembukaan yang halus dari papa tanda kalau pagi hari ini lagi-lagi diskusi tentang kapan Arunika menikah.

"lihat Mentari walaupun pernikahannya tidak berhasil tapi karier dia berhasil, dia jadi perempuan mapan, di hormati semua karyawannya. Kamu? Apa yang sudah kamu lakukan Arunika? Mau seumur hidup jadi freelancer? Mau sampai kapan kamu terus tinggal sama mama papa? Sebentar lagi mama papa ke Lembang, rumah ini milik Mentari--"

"Ma.... Nika bisa tinggal disini sama aku, bagaimanapun ini rumah keluarga kita, Nika bagian dari keluarga kita"

Hhh... aku benci ini semua, aku benci mama papa yang selalu membandingkanku dengan Mentari, aku benci bagaimana orang-orang menatapku sebagai adik Mentari lalu mencemoohku di belakang karena aku tidak seperti kakak ku itu.

"Arunika, papa kecewa sekali padamu kenapa kamu tidak menerima tawaran beasiswa kuliah hukum waktu itu? Kenapa kamu malah masuk seni rupa? Apa gunanya sekarang lukisan-lukisanmu di galery itu?"

"Aku sedang berusaha menjualnya pa... sekarang pun aku mengajar di kampus, apa papa sama mama masih saja kecewa padaku? Membandingkanku dengan kakak--"

"Setidaknya lakukan hal yang benar selagi hidup Arunika, mama papa tidak bisa selalu menjagamu jadi pastikan Bhanu menikahimu secepatnya" mama berkata sebagai penutup dari diskusi panjang ini.

Selalu seperti ini dari dulu, aku tidak pernah diberi kesempatan berbicara.

"Aku akan menikah jika aku sudah siap--"

"Kamu mau melihat papa mu ini meninggal dulu baru menikah? Suruh Bhanu temui papa selebihnya papa dan mama yang urus"

Aku menghela nafas panjang. "Menikah bukan perkara mudah ma.. pa.. ini tentang selamanya... kalau Mentari saja gagal bagaimana denganku yang selalu gagal ini?"

◇◇◇

Aku membuka pintu apartemen Bhanu menggunakan kartu akses yang diberikannya. Wangi maskulin langsung menyergap hidung begitu aku masuk. Apartemen itu cukup besar dengan 2 kamar tidur yang lumayan luas dan balkon.

Menghempaskan pantat di sofa, aku memandang ke sekeliling apartemen yang berantakan. Bhanu dan keberantakannya itu sudah satu paket. Sepertinya dia memberikan kartu akses padaku supaya aku bisa bersih-bersih. Dasar si menyebalkan!

Tapi bagaimanapun menyebalkannya dia, aku sudah tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa Bhanu. Aku tahu ini salah, menggantungkan hidup pada orang lain itu tidak benar.

Dengan sedikit malas-malasan aku mulai merapikan sampah-sampah bekas makanan ke tempat sampah, mencuci piring dan gelas yang sudah mulai berkerak di wastafel, mengumpulkan cucian yang berserakan di seluruh ruangan lalu mencucinya di mesin cuci.

Ketika masuk kamar Bhanu, dan membereskan tempat tidurnya aku menemukan banyak foto berserakan disana. Mungkin Bhanu terburu-buru pergi ke galery sampai tidak membereskan dulu foto-foto ini.

Foto-foto kami waktu sekolah, aku tertawa melihatnya. Aku memang sering memaksa Bhanu untuk berfoto hanya untuk kenangan di hari tua.

Ada foto study tour kami, disana juga ada Mentari. Kakakku itu hanya beda 2 tahun dariku, makannya dulu aku sangat kesal kalau disuruh jadi kurir surat cinta untuknya.

Tunggu dulu....

Bhanu terlihat melirik ke arah kanan sementara aku berada di samping kirinya. Di foto lain Bhanu tertawa lebar sambil memandangi seseorang yang bukan aku.

Menghela nafas panjang, aku memejamkan mata berusaha berpikir jernih. Begitu banyak foto di kasur itu yang sebagian besar hasil jepretanku yang hanya fokus pada Bhanu.

Namun segala duniaku yang hanya berputar di sekitar Bhanu ternyata tidak sepenuhnya mengelilingi ku sebagai pusatnya. Dengan sedikit gemetar aku menyusun foto-foto seperti sebuah puzzle dan ketakutanku selama ini benar.

●●●

"Mama papa nyariin kamu terus Nu.." suara Mentari di dalam galery menghentikan langkah tergesaku untuk menemui Bhanu.

"Ohh ya? Ada apa? Nika ngga pernah bahas" Bhanu menjawab bingung.

Mentari sepertinya sedang membuat minum di pantry karena dia berkata sambil setengah teriak. "Biasalah Nika disuruh cepet-cepet nikah"

Bhanu tertawa di sofa tengah Galery, aku berada di dinding Ruang depan yang memajang lukisanku. "Sudah gue duga kalau tingkah aneh Nika akhir-akhir ini gara-gara itu"

"Aneh gimana?" Kini mereka duduk berhadapan.

"Yaahh tiba-tiba maksa gue nemenin dia ke nikahan temennya lah, terus ngirimin gue foto tempat romantis buat honeymoon, kemarin Nika malah ngajakin liat rumah"

"Papa udah pensiun, rumah di Jakarta buat gue sedangkan mereka bentar lagi pindah ke rumah di Lembang. Nika mungkin kepikiran buat beli rumah sendiri"

Keduanya terdiam sejenak. Lalu Bhanu kembali berbicara. "Nika itu-- beban seumur hidup gue--"

Beban katanya?

Aku berbalik dan pergi darisana secepatnya. Semuanya sudah jelas, amat sangat jelas.

●●●

Semoga ada yang suka❤❤❤

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang