Gue tahu kesalahan yang gue lakuin itu fatal, cukup fatal sampai perempuan itu tak pernah memunculkan wajah di depan gue lagi. Yaaa... mana ada yang mau muncul setelah berulang kali gue suruh pergi.
Tetapi justru setelah dia benar-benar pergi, gue sering memikirkannya. Gue berpikir kenapa dulu ngga pernah membantu dia yang dalam kesulitan? Kenapa gue hanya jadi pengamat? Kenapa gue ngga pernah berani bertanya padanya tentang luka-luka di sekujur tubuhnya?
Jawabannya mungkin karena gue ngga punya perasaan romantis sama dia, perasaan gue ke perempuan itu hanya sebatas kasihan. Hhhhh... kasihan, dia punya keluarga yang seperti itu dibalik kekayaan mereka yang ngga akan habis 7 turunan.
"Woy.. ngelamun mulu lo!!" Teman gue yang ngga tahu diri itu menepuk punggung dengan bar bar.
"Suka suka gue lah" ujar gue dingin.
Teman gue itu laki-laki by the way.
"Dingin banget lu bro kaya kulkas" katanya lalu duduk di kubikelnya. "Lo dicariin tuh sama pak bos, tadi nanyain lo siap apa belom pergi kesana"
Gue menghela nafas panjang. "Kenapa dia harus nanya lagi kesiapan gue sih? Kan dia yang nganjurin gue buat pergi ke Gaza heran gue sama dia"
Teman gue memutar kursinya dan mendekat ke arah gue. "Dia takut kali lo kenapa napa kan adiknya udah nitipin lo ke dia"
"Anjir lah gue ngerasa jadi balita pake dititipin segala"
"Tapi kan dia emang nitipin lo ke gue juga" ujarnya dengan senyum dikulum. Dasar taman lakn*t.
"Terserahlah terserah... gue berangkat minggu depan dan gue rasa ini bakalan jadi perjalanan gue yang panjang" kata gue setengah melamun.
"Lo ngga mau nungguin dia lagi? Ini udah mau 5 tahun kan?"
Menghela nafas gue menghadap ke arah temen gue itu. "Seperti yang orang-orang bilang dia ngga akan kembali kesini, gue rasa ini saatnya gue nerima kenyataan kalau dia ngga akan kembali. Dan meskipun dia datang, gue ngga tahu apa yang mestinya gue lakuin ke dia. She's hate me"
"No, she's love you" temen gue berkata penuh percaya diri.
Kalau dulu, gue percaya dia cinta sama gue tapi untuk sekarang, setelah semua yang gue lakuin untuk nyakitin dia dan nolak nyelametin dia dari kesulitan, gue ngga yakin, gue rasa sekarang dia sudah melupakan gue untuk selamanya. Tapi itu bagus, dia ngga perlu terluka lagi.
●●●
"Kamu berangkat minggu depan kan?" Tanya pak bos di depan gue.
Gue cuma mengangguk. Dia orang yang paling gue benci, bos gue yang punya segalanya harta, kekuasaan, dan cinta pertama gue. Cinta pertama gue, alasan gue ngga bisa nerima perasaan perempuan itu, alasan gue mengacuhkannya walau tahu yang perlu bantuan itu dia.
Alasan kenapa gue begitu kejam menolak perempuan itu. Dan alasan kenapa gue ngga punya perasaan apapun ke dia.
"Kamu ngga akan menunggu lagi? Menyerah nunggu adik saya?"
Gue menatapnya tajam. "Bukan nyerah tapi saya mau melanjutkan hidup kalau takdir memang mempertemukan saya lagi dengannya, saya sangat bersyukur sebelum mati saya bisa meminta maaf sama dia"
Bos menyebalkan itu tertawa. "Kamu banyak-banyak berdoa lah Gaza itu tempat paling bahaya di dunia, kamu bisa pulang saja syukur"
Yaa benar, bisa pulang selamat saja sudah untung. Melihat bos menyebalkan ini gue jadi teringat wajah perempuan itu, mereka bersaudara ada beberapa bagian wajah mereka yang terlihat sama.
"Ohh iyaa narasumber yang sering kasih foto-foto bagus ke kanal berita kita, dia juga ada di Gaza saat ini, siapa namanya?"
Gue manahan diri untuk tidak memutar bola mata muak. "Pak Awan" jawab gue.
"Yaaa itu lah pokoknya, selain meliput disana kamu tolong jagain bapak itu juga, gara-gara fotonya viral kanal berita kita jadi makin terkenal"
Per**tan!! Gue benci banget sama si bos ini rasanya pengen gue tonjokin sampe babak belur.
●●●
Perjalanan itu menegangkan seperti yang gue kira, gue bahkan harus menandatangani surat pernyataan yang mengatakan bertanggung jawab sendiri atas keselamatan selama di jalur Gaza.
Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita semua. Gue ngga sendirian, ada 2 orang mahasiswa dari al-azhar yang nemenin gue selama perjalanan, mereka juga yang tahu apa yang boleh dan tidak boleh gue lakuin disana.
Perjalanan dari Rafah ke Gaza city tidak sesunyi itu karena diatas langit pesawat-pesawat israel lewat lalu lalang seakan memperhatikan mereka sambil menunggu aba-aba untuk menyerang.
Gue dibawa ke sebuah kamp pengungsian beberapa kilometer sebelum sampai ke Gaza city, disana gue mau ketemu Pak Awan sekedar mengecek apakah beliau baik baik saja setelahnya kita akan berpisah lagi.
Tetapi keadaan jadi mencekam ketika tiba-tiba dari atas langit terdengar suara hujan bom entah berapa meter jaraknya dari kamp pengungsian. Gue dan dua mahasiswa al-azhar itu sudah pucat pasi, dan berusaha mencari perlindungan di balik puing-puing bangunan kota.
Namun ketika situasi yang sedang tidak kondusif itu, mata gue menangkap sosok itu, sosok yang 5 tahun ini gue tunggu kepulangannya, sosok yang setiap kali mengingatnya gue ngerasa jadi orang paling jahat sedunia.
Perempuan itu mengenakan rok dan baju panjang berwarna coklat muda, juga kain yang menutupi sebagian rambutnya. Dia sibuk mengumpulkan anak anak kecil disana dan memasukan mereka semua ke sebuah bangunan yang sebagian atap dan lantai duanya rusak.
Tanpa sadar gue ngikutin perempuan itu, dia masih sekurus dulu, kulitnya masih se pucat dulu, dan mata itu. Mata yang hitam legam segelap lautan dalam yang ngga pernah gue bisa tebak isi pikirannya.
Gue tahu, gue ngga pantas memanggil namanya, tapi kali ini biarin gue meneriakan namanya sembari meminta maaf.
Namun suara yang gue keluarkan seperti tidak terdengar perempuan itu, kalah oleh suara rudal yang terus dihujamkan disana. Bunyi memekakan telinga sampai gue ngerasa telinga gue sakit dan berdengung.
Gue cuma mau minta maaf ke dia sebelum gue mati. maaf... maaf karena sudah berbuat jahat padanya. Maaf karena ngga pernah membelanya dihadapan keluarganya..
Maaf karena sudah memanfaatkan perasaannya untuk bisa dekat dengan cinta pertama gue. MAAF.....●●●
NEXT DARI SISI SI PEREMPUAN ITU.
moga sukaaaa❤❤