Berdiri tanpamu....

6.2K 82 2
                                    

Athar bisa melihat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang, terlilit kabel-kabel yang menghubungkan ke berbagai alat di sekitar tubuhnya. Athar tidak ingat mengapa ia berakhir disini, ia hanya ingat sampai pada malam sebelum hari pertunangannya. Mama dan papanya berkunjung setiap hari. Selain orang tuanya, tidak ada lagi yang mengunjunginya. Kania, ia berharap gadis itu menemuinya sekarang, setidaknya Athar berpikir dengan melihatnya mungkin ia bisa bangun.

Dengan tubuhnya yang transparan harusnya Athar bisa menembus tembok seperti di film-film tetapi kenyataannya tidak bisa. Ia hanya bisa berdiam diri memandangi tubuhnya tanpa tahu bagaimana cara untuk masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Berapa kalipun Athar mencoba keluar dari ruangan itu, masih saja tidak berhasil. Ia mulai frustasi, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu. Menunggu seseorang yang bisa mengeluarkannya dari masalah ini.

Athar melihat ada seseorang membuka pintu ruangannya, ia langsung bisa mengenali orang dibalik pakaian hijau itu. "heh!! Udah berapa hari gue disini?!! Lo baru dateng? Temen macam apa lo ini?!!" Athar menghampiri Jihan dan mengomelinya, walaupun ia tahu temannya itu tidak akan mendengarnya. "Ji... lo bisa panggilin Kania kesini gak? Gue mau lihat dia" Athar berkata di depan Jihan.

Gadis yang memiliki rambut sebahu itu duduk di kursi samping ranjangnya. "maaf gue baru datang sekarang, gimana kabar lo?" tanyanya sambil memperhatikan alat-alat disamping tubuh Athar.

"BAD" jawab Athar. "ji.... gue mohon bawa Kania suruh dia datang"

"Kania...." Jihan menghela nafas panjang. "gue bakalan bawa dia kesini gimanapun caranya, jadi tunggu... tunggu sampai dia datang"

Athar bertepuk tangan sendiri. "gue tahu lo emang bisa diandalkan Jihan" ia melihat mata Jihan sedang memandanginya dengan sedih. "heh!! Gue gak bakalan mati, gue baik-baik aja...." Athar harus berjongkok agar bisa melihat ekspresi Jihan. "Ji lo inget gak waktu papa mulai sering masuk Rumah Sakit? Yang nemenin gue Cuma lo, mama sibuk nyari uang buat pengobatan papa... kalo lo gak ada, gue gak tahu mesti bersandar sama siapa"

"Thar.... inget gak dulu pas Om masuk Rumah sakit?"

Athar mengangkat kepalanya. "a-aapa lo denger perkataan gue barusan?" ia heran kenapa Jihan juga mengatakan hal yang serupa.

Jihan melanjutkan. "kita berdua mulai kenal Rumah Sakit karena itu kan? Akhirnya karena ingin menyembuhkan Om, lo kuliah di kedokteran dan gue sebagai pengikut setia, ikut-ikutan walaupun dengan nilai yang nyaris gagal" gadis itu memaksakan tertawa. "Thar... dulu Cuma ada kita berdua tapi sekarang lo udah punya Kania, jadi gue tahu yang lo butuhkan bukan gue..." mata Jihan menatap Athar.

"kenapa lo ngomong kaya gitu?" tanpa sadar Athar menyentuh kedua tangan Jihan. Mata Jihan menunduk melihat tangannya. "lo ngerasain barusan? Gu-gue bisa nyentuh lo, ji...." gadis itu menatap tubuh Athar lagi. "Ji... bilang kalo barusan lo ngerasain tangan gue"

"besok pas gue kesini mata lo harus kebuka, gue punya daftar pertanyaan buat lo" katanya sambil bangkit berdiri.

Athar mengikuti Jihan, sekali lagi ia menyentuh tangan gadis itu lalu tiba-tiba ia sudah berada di luar kamar perawatannya. Athar mulai mengerti, jawabannya adalah Jihan. Seseorang yang akan menyelamatkannya pasti dia. Ia mempererat genggaman tangannya pada Jihan. Lagi-lagi Jihan melihat ke arah tangannya, kerutan kecil muncul di keningnya. "ini gue Ji..." Athar berkata pelan.

Seorang ibu misterius berpakaian serba hitam menubruk bahu Jihan kemudian matanya memperhatikan Jihan dan juga Athar. Roh Athar balas menatap ibu itu. "ada roh laki-laki sedang menggenggam tangan kamu, gadis cantik" ibu itu berbisik di telinga Jihan.

"i-ibu bisa lihat saya? Ibu harus menolong saya..."

"bu... maaf yaa... saya tidak percaya ada roh gentayangan" Jihan memotong pembicaraannya lalu pergi.

"ROH ITU MEMINTA PERTOLONGAN!! HANYA KAMU YANG BISA MENOLONGNYA!!" ibu itu berteriak kencang di lorong Rumah Sakit, beberapa orang keluar kamarnya dan memarahi ibu serba hitam itu.

Athar masih menggenggam tangan Jihan. Gadis itu pergi ke ruangan di lantai bawah, beberapa orang berpakaian rapi keluar dari ruangan bernama Melati. Jihan langsung masuk ke ruangan tempat papanya dirawat, mamanya berada disana menunduk lesu. "tante, om, yang tadi itu siapa?" tanya Jihan cemas. Tidak ada jawaban, mama dan papanya diam seribu bahasa. "tante sama om gak mungkin melakukannya kan? Om sama tante..." Jihan berpegangan ke dinding sebelum akhirnya duduk di lantai sambil menangis.

"a-a-apa yang terjadi Ji? Kenapa lo nangis?"

Mamanya segera memeluk Jihan dan ikut menangis. "maafin tante sayang... tante memang jahat, tapi kami membutuhkan asuransi Athar untuk melanjutkan hidup...." Jihan semakin kencang menangis. Mama mencoba menenangkan. "sayang... kamu harus ngerti situasinya, Athar juga tidak mungkin terus memakai ventilator seumur hidupnya"

"ENGGAK!! GAK BOLEH!!! TANTE SAMA OM GAK BOLEH NGELEPASIN ALATNYA!!" Jihan meraung.

"maafin Om, Jihan... Om memang tidak berguna" papanya ikut menangis dari ranjangnya.

Athar paham, mama dan papanya akan melepaskan ventilator dari tubuhnya, kemungkinan hidup Athar sangat kecil tanpa alat itu. Tapi Athar tidak bisa menyalahkan orang tuanya yang berpikiran realistis dengan melanjutkan hidup memakai asuransi peninggalannya. Hidup keluarganya sulit semenjak papanya sakit-sakitan dan sekarang Athar terbaring koma. Athar mengusap puncak kepala Jihan, gadis itu masih menangis histeris. "jangan nangis Ji... biarin gue pergi"

"sayang... besok kita melepasnya jangan dengan tangisan... kamu harus tegar"

***

Jihan dan Athar, semoga suka....

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang