Ketika dendam menjadi perekat di antara dua manusia, akankah cinta tumbuh dan mekar di rongga dada? Dapatkah tangan penuh darah menyulam tawa di hati yang patah dan penuh nanah? Semesta bungkam; membiarkan rahasia menyuji kisah.
***
Ziya tidur menyamping dengan lutut menekuk dan kedua tangan menyatu di bawah kepala, dibuat terjaga sewaktu pintu dibuka kasar. Berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh kebencian, Respati seperti ingin menerkam hidup-hidup wanita di depannya. Ziya dengan cepat bangkit dari tempat tidur dan merapikan hiasan rambut yang berantakan.
Berjalan ke arah Ziya, Respati tersenyum ambigu—selaksa kemarahan dan aura licik bersatu padu. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”
Ziya mendongakkan kepala. Menatap langsung iris cokelat yang indah, tetapi dipenuhi bara amarah. Datar. Ia tak bicara; kebungkaman menjadi jawaban atas tanya.
Respati terkekeh pelan dan kemudian mencengkeram wajah Ziya. “Jangan pernah pasang wajah lugumu di depanku. Karena aku tidak akan pernah tergoda dengan itu.” Tiba-tiba ia mendorong Ziya hingga jatuh terlentang di ranjang. Lalu berbalik menatap pintu yang dibiarkan terbuka. Di sana berdiri seorang pria dengan jas hitam tanpa kemeja—menampilkan otot dada—yang bersedekap dada menonton pertujukan drama versi nyata.
“Kau tahu, aku sudah menyiapkan kado untukmu.” Respati memberi kode kepada pria itu untuk mendekat, selagi ia berjalan ke sofa di dekat lemari kayu warna tosca. “Nikmatilah.”
Duduk dengan kaki menyilang, Respati tersenyum penuh kemenangan ketika gigolo itu membuka jasnya di depan Ziya. “Bagi seorang wanita, kesucian adalah harta yang paling berharga. Ketika direnggut dengan paksa oleh pria yang bukan suaminya, maka harga dirimu akan lebih rendah dari sampah.”
Meremas seprai dengan mata berkaca-kaca, Ziya tak bisa menyembunyikan ketakutan yang menyerang raga. Pria berwajah oriental itu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Lantas dengan lancang melabuhkan kecupan di area terlarang. Meraba bagian pundak, pria bayaran Respati menarik kebaya Ziya hingga menampakkan tulang selangka yang indah dan menggoda.
Ziya diam seribu bahasa. Tak memberontak apalagi menyumpah serapah. Ia seperti boneka yang pasrah diperkosa di depan suaminya.
“Tuan, dia sangat cantik. Mengapa Anda membiarkan saya menyentuhnya?” Mengusap wajah pualam Ziya, ia dibuat meneguk saliva. Bibir semerah delima sedikit terbelah di bagian bawah menghipnotisnya untuk terus menyapa. Untuk ke sekian kalinya ia melayangkan lumatan. “Tuan, bolehkah saya melakukan lebih dari ciuman?”
Bisikan iblis bergema. Hasrat liar berlafalkan dosa membuatnya tak bisa menahan diri. “Tentu saja boleh, bukan?” Tanpa menunggu persetujuan, ia semakin bertindak gila—mengoyak kebaya Ziya hingga meninggalkan kemban putih saja sebagai pembungkus raga.
Ziya menutup mata. Tubuhnya menegang. Dengan bibir bergetar bertanya, “Inikah harga yang harus kubayar setelah merenggut nyawa istrimu?”
***
Duduk mematung di bawah shower yang memancurkan air dingin, Ziya menutup mata. Mengingat bagaimana tubuhnya dinista, rasa jijik melanda. Menggosok bagian leher—area favorit si pria—ia terisak pelan.
Berlaku tegar tak menjamin ia benar-benar sekuat batu karang. Dalam semalam, berlian berubah menjadi sampah. Respati tak menaruh sedikit pun belas kasihan. Status istri yang diberikan pada Ziya hanyalah media dalam melancarkan siksa agar lebih leluasa.
Ziya mencakar tubuhnya. Membiarkan darah segar bercampur air membasahi badan. Namun, itu semua tak berhasil meredam kepedihan. Harta yang paling berharga telah direnggut paksa; tak menyiksakan sejengkal kesucian.
Pintu kamar mandi didobrak kasar. Respati berdiri di ambang pintu dengan sangar. Kepuasan jelas tercetak di kedua netra. Mendekati Ziya, setiap langkah kakinya berhasil mendaratkan gemuruh duka. Tersenyum jahat, ia berjongkok dan mencengkeram dagu gadis berkemban putih itu dengan kuat. “Bagaiamana rasanya?” Berbisik di telinga Ziya yang memerah setelah dilumat pria bayarannya, Respati melupakan semua kata iba. “Sakit? Sedih? Benci? Marah? Itulah yang aku rasakan saat melihat Ratna kembali dalam keadaan tidak bernyawa! Kau membuatku kehilangan harta yang paling berharga. Aku hidup, tapi jiwaku ikut mati bersama Ratna. Dan, sangat tidak adil jika hanya aku yang merasakannya. Sementara kau, si pendosa justru asyik menikmati hidup seolah tak pernah berbuat salah.”
Selaksa kata tertahan di tenggorokan. Ziya mendengarkan setiap erang kebencian Respati tanpa perlawanan. Kapan pendosa memiliki hak menjelaskan kesalahan? Ia paham, bahwa saat ini yang harus dilakukan hanyalah diam. Menerima setiap penghinaan, rasa sakit penyiksaan, dan kemarahan dengan keikhlasan.“Aku akan membuatmu menderita. Aku bersumpah.” Respati memutar tumit dan pergi; meninggalkan Ziya sendiri.
Ziya menatap punggung Respati yang perlahan hilang ditelan kesunyian. “Bahkan aku belum melunasi hutang di masa lalu dan kini aku kembali berhutang darah karena kematian Ratna. Kau benar-benar layak membuatku menderita.”
***
“Lepaskan!” Respati menatap nanar Ziya. Tiba-tiba mendorong tubuh sang istri hingga menabrak dinding dengan kerasnya. “Lepaskan pakaianmu!”
Ziya memejamkan mata dengan bibir bergetar. Ia menggelengkan kepala, tetapi tak mengucapkan sepatah kata. Hingga pria itu menarik luaran dari baju tidur yang ia kenakan, menyisakan terusan putih selutut lengan sejari. “Kau tidak pantas memakai ini.” Membuangnya ke lantai, Respati memerintahkan pelayan membawa semua baju, tas, sepatu, dan bahkan ranjang bekas Ziya dipermalukan ke halaman belakang.Respati menyeret Ziya seperti binatang. Tanpa perasaan. Sekitar tujuh orang pelayan telah hadir di taman belakang. Salah dua dari mereka menuang bensin ke semua barang milik Ziya.
“Kau terbiasa dengan kemewahan, bukan?”
Diam, Ziya tak memberi jawaban.
“Kau terbiasa dimanjakan. Uangmu digunakan untuk memanipulasi kebenaran. Pembunuh yang terus bersembunyi seolah tak melakukan kesalahan.” Respati menarik ujung rambut Ziya. “Namun, kini kau di tanganku. Bahkan jika ayahmu adalah seorang yang berpengaruh di dunia. Dia tidak akan bisa menghentikanku menyakitimu. Ya, ayahmu terlalu mencintai reputasi dan kekayaannya. Dia tidak segan menyerahkanmu hanya agar rahasia kematian Ratna tidak pernah terungkap di media. Dan, aku mengucapkan terima kasih atas itu. Kau akhirnya bisa merasakan arti sebuah neraka!”
Berusaha tersenyum di tengah rasa sakit dan perasaan marah yang berkecamuk di pikiran, Ziya menatap berani mata Respati. “Lakukan yang ingin kau lakukan.”
“Bakar!”
Pelayan pria berseragam hitam maju beberapa langkah, merogoh saku jas dan mengeluarkan korek api. Ia menganggukkan kepala ke arah Respati. Kemudian melempar korek yang telah menyala ke arah barang-barang Ziya. Seketika api berkobar dengan besar.
“Tubuhmu terlalu nista. Tidak layak memakai barang-barang mewah.”
Ziya berdiri tegak. Menatap pakaian yang dulu ia pakai dengan jemawa kini tinggal abu saja. Sedikitpun ketidakrelaan tidak terlihat di kedua netra. Ia berlaku layaknya manusia yang mati rasa.
“Kau bisa membakarku kalau mau.” Ziya melirik Respati sebentar, kemudian kembali ke posisi awal—menghadap kobaran api yang sangar.
“Suatu hari nanti, aku akan mengubahmu menjadi abu. Bersabarlah. Penyiksaan ini baru dimulai.”
Suara langkah dari arah belakang membuat Respati membalikkan badan. Lengkung tipis merah jambu itu terkembang sinis melihat pelayan membawa gaun hitam polos dengan panjang selutut. Mengambil itu dari pelayan, ia lalu melemparkannya pada Ziya. “Mulai hari ini hingga seterusnya, kau hanya diperbolehkan memakai satu warna. Hitam.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...