[39] Penjelasan

5.1K 426 91
                                    

Cinta adalah hal paling menakutkan yang pernah takdir sajikan dalam lingkaran kisah. Di mana seonggok daging bernyawa dipaksa terjebak pada alur yang menawannya dalam galabah, tetapi harus tetap tabah. Bermain dalam menang atau kalah. Namun hasilnya sama dan tak akan berubah. Tak ada yang bisa meneguk bahagia; cendala merongrong hingga berakhir serah, lantas rebah.

***

Aku tidak tahu apa itu cahaya, sampai akhirnya takdir mempertemukan kita. Aku tidak tahu apa itu asa, hingga bibirmu berkata, “Menikahlah denganku dan jadilah nyonya atas keluarga Jayaprana.” Aku tidak tahu apa itu bahagia, sampai kau menyematkan cincin di jari manisku dan mendeklarasikan hubungan kita pada dunia. Aku tidak tahu apa itu luka, hingga rahasia mengungkap alasan di balik semua kelembutan yang kau sajikan dengan sempurna adalah karena wajah ini memiliki kemiripan dengan dia.

Berhari-hari aku menangis dalam diam. Berpura-pura abai bahwa bagimu aku hanyalah bayangan. Pemuas kerinduan saat keberadaan cinta sejatimu tak kunjung menemukan titik terang. Namun, berhari-hari pula aku kian tenggelam dalan kepedihan. Semua cahaya memudar; menyisakan ruang kelam. Nyatanya, aku tak sekuat itu menghadapi kenyataan.

Mimpi bahagia yang pernah tergaung di kepala lenyap tak bersisa. Sosokmu kian jauh tak terjamah. Aku tahu, sibuk bekerja hanyalah dalihmu saja. Kau menghabiskan waktu untuk mencari Ansa, menangisinya, dan ketika lelah baru kembali padaku; bersandiwara seperti tak pernah ada yang salah.

Bukan ini hubungan yang aku inginkan. Untuk apa memiliki raga, kala hati dan jiwa berpaut padanya? Jika saja aku mengetahui ini lebih awal, maka sudah dipastikan kita tidak akan berujung pada pernikahan. Aku tidak pernah mau hidup sebagai bayangan. Aku adalah aku. Tidak akan pernah menjadi dia hanya karena kami memiliki beberapa kesamaan saja.

Kau pasti ingat aku pernah mengatakan itu, bukan? Lalu kau mengakuinya dan meminta pengampunan. Kau berjanji akan mencintai aku seutuhnya sebagai Ratna, bukan Ansa, dan aku pun percaya. Aku memberikan satu kesempatan untukmu memperbaiki kesalahan.

Agaknya aku yang terlalu menaruh ekspetasi berlebihan, karena berpikir bisa menggantikan sosok yang bertahun-tahun memenjarakanmu dalam kenangan. Kau hanya membodohiku dengan janji berbalut kepalsuan. Diam-diam kau masih melakukan pencarian. Berulang-ulang hingga aku lelah memperingatkan. Lelah bersikap tabah karena terus saja diberikan kebohongan.

Maaf karena pada akhirnya aku mencari sandaran yang bisa membuat raga dan jiwa ini berdiri kokoh; tidak terombang-ambing dalam kedukaan. Dan, aku menemukan itu semua dalam sosok Rangga. Kami pada awalnya tidak berniat mendua. Aku dan dia hanya saling bercerita perihal luka yang menganga di rongga dada. Mencoba saling mengerti satu sama lainnya. Menguatkan bahwa kami bisa melewati ini semua.

Namun, perlahan rasa nyaman datang. Persaudaraan berubah menjadi cinta yang mengikat dua manusia dalam kesalahan. Dia membuatku merasakan artinya diperhatikan, sementara aku mengisi hatinya yang terlalu lama tertelan kesunyian. Kami melengkapi satu sama lain dan memulai kisah ini dengan penuh kesadaran.

***

“Kau benar-benar berselingkuh di belakangku.” Tangan Respati bergetar sewaktu membaca buku harian Ratna. Ia berhenti sejenak dan mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Meski berusaha sekuat tenaga bersikap biasa saja, tetapi kedua netra yang memerah karena galabah dengan lantang menyatakan bagaimana hancurnya pria berwajah sedingin kutub utara tersebut.

Tawa hampa bergema. Mengingat sehari sebelum tiada, Ratna sempat menunjukkan buku hariannya dan berkata, “Aku punya rahasia. Besok, setelah pulang dari butik kau boleh membacanya.”

Namun, kala itu Respati terlalu tengelam dalam duka. Perpisahan tiba-tiba membuatnya tidak bisa berpikir jernih apalagi mengingat pesan Ratna. Respati langsung menyimpan semua peninggalan si wanita dalam lemari tanpa ada yang boleh menyentuh, termasuk dirinya.

***

Sabar selalu punya batas, bukan? Berpura-pura menjadi istri idaman itu melelahkan. Ditambah aku harus menyembunyikan serapi mungkin perselingkuhan. Kau mungkin tidak tahu, pada senyum yang selalu kupamerkan kala kita berdekatan, diam-diam tersembunyi keputusasaan.

Kau membunuh jiwaku dengan cara terlembut yang pernah kutahu. Kau membuatku menjadi wanita paling terluka dengan cara istimewa. Melalui cinta, kau buat aku mengharapkan kematian segera menyapa.

Aku tidak mau terus seperti ini. Jadi kuputuskan membuat akhir dari segala kerumitan.

Kau tahu, aku memintamu menemani ke butik bukan dengan tanpa alasan, bahkan saat kau menyatakan penolakan aku masih bersikukuh agar menjemputku pulang. Aku sedang bertaruh dengan perasaan tidak nyaman yang meminta agar diri ini bertahan. Jika kau datang, aku mungkin bisa berubah pikiran. Tidak salah memberikan seseorang kesempatan, bukan?

Walau aku sendiri sudah memiliki prediksi, kau tidak akan pernah datang. Dan, itu artinya, pilihan yang tersisa untukku hanyalah melarikan diri bersama Rangga.

***

“Sudah selesai membacanya?” Hanum menatap Respati sebentar, kemudian beralih pada Rangga yang masih dalam posisi bersimpuh di depannya. “Hari itu Ratna tergesa-gesa menyeberang ke kafe depan butik adalah untuk menemuimu, bukan?” Meski diucapkan dengan tenang, dinginnya kebencian tetap merasuk dalam tulang. “Aku memberimu satu kesempatan untuk menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu.”

Rangga menutup mata selagi mengepalkan tangan seerat-eratnya. Menggeleng pelan, ia berkata, “Aku tidak tahu.”

“Katakan!” Suara penuh intimidasi Hanum membuat kesunyian terasa kian mencekam. “Apa harus aku sendiri yang mencari kebenaran, baru kau akan membuat pengakuan?”

“Sayang—”

“Rangga!” Hanum menyela dengan nada tinggi. “Aku tidak memerlukan pembelaan diri, yang aku perlukan adalah penjelasan. Ratna menulis bahwa di hari itu dia berniat melarikan diri bersamamu. Apa kau berencana meninggalkanku?”

“Tidak.” Rangga mencoba memegang tangan Hanum meskipun harus menerima tepisan. “Aku sempat mengira kami saling cinta. Namun, perlahan aku mengerti bahwa dia hanyalah pelarian atas rasa kecewa. Aku mencintaimu saja. Semalam sebelum kematian Ratna, aku sudah menjelaskan itu lewat telepon. Aku ingin mengakhiri hubungan kami. Tapi, Ratna menolak mentah-mentah. Dia tetap menginginkan aku pergi ke Swedia bersamanya. Kami berdebat panjang. Dia akhirnya menyuruhku ke kafe jika benar-benar ingin mengusaikan hubungan. Lalu ....” Perkataan Rangga terputus. Sejejak keraguan terpancar dari kedua netra.

“Lalu?”

“Lalu aku datang seperti permintaannya. Sesuai rencana, dia tetap ke butik, berpura-pura belanja untuk menyamarkan pertemuan kami berdua. Setengah jam kemudian, aku menerima telepon darinya. Dia memintaku melihat ke seberang jalan. Aku berdiri di tepi balkon lantai dua, melakukan seperti apa yang dia pinta.” Rangga mengembuskan napas panjang. Meneguk saliva, ia berusaha menguatkan diri saat melanjutkan cerita. “Dia bertanya, apakah aku melihatnya. Aku menjawab iya. Dia kembali bertanya, apakah benar-benar tidak mencintainya dan aku memberikan jawaban yang sama. Iya, aku tidak mencintainya. Dia tertawa dan kemudian mendongakkan kepala; melihat ke arahku. Tidak lama setelah itu dia berkata, aku sama seperti Respati. Aku sudah mempermainkan perasaannya."

Respati mendengar cerita Rangga dengan saksama. Meski amarah menguasai raga, ia menahan diri sampai semua rahasia terkuak hingga ke akarnya.

“Kau akan menyesal seumur hidup karena mempermainkan perasaanku,” ucap Rangga, menirukan perkataan Ratna. Senyum pedar mekar di wajah pualamnya. “Itulah kata-kata terakhir Ratna, sebelum memutuskan mengakhiri hidup dengan cara membiarkan dirinya tertabrak mobil Ziya.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang