Pada langkah yang mana tengka memaksa tangan melambai pisah? Pada kepingan memori yang mana selira melupa atma? Pada embusan napas yang mana kama dan dua manusia memunah? Rentetan tanya menguap dalam balada noda dan senja, hingga menyatu bersama gelap di penghujung dermaga cendala.
***
“Nona?”
Ziya yang baring menyamping dengan kedua tangan mendekap diri sendiri—melawan dingin menembus tulang—tampak terjaga dari tidur singkatnya. Menatap pintu warna abu-abu yang masih terkunci rapat, ia tersenyum kecil. Suara itu berasal dari luar sana. Tanpa banyak menebak, ia bisa memastikan orang tersebut adalah Ila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Kembali memejamkan mata, Ziya bertanya dengan nada lemah. Ia sendiri tidak tahu, apakah Ila bisa mendengarnya atau tidak.
“Saya ingin menemani Nona.” Duduk memeluk lutut, Ila menyandarkan kepalanya ke pintu gudang. “Apa Nona baik-baik saja? Apa Nona merasa kedinginan? Di sana pasti menakutkan.” Membayangkan terkurung di ruang sempit dengan debu dan segala macam kotoran bertaburan di mana-mana sudah membuat Ila menangis tak tega. “Bagaimana dengan luka Nona? Apa Nona baik-baik saja?”
Pada titik terendah di mana lelah seolah memaksa raga menyerah, Ziya merasa kembali dikuatkan dengan kehadiran Ila. Saat semua berlomba-lomba mengarahkan panah padanya. Masih ada beberapa orang yang bersedia memeluknya dan terluka bersama.
“Bodoh!” Tersenyum kecil, untuk sejenak Ziya melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya. “Kau tidak seharusnya ke sini. Pergilah! Jika Respati menemukanmu sedang menungguku, kau mungkin harus bersiap sedia ditendang keluar rumah.”
Menggeleng-gelengkan kepala, alih-alih takut Ila justru tertawa. “Saya dan Bibi Yoli tidak akan meninggalkan Nona.”
“Tidak akan meninggalkanku?” Tiga kata sederhana, tetapi sanggup membangkitkan ingatan penuh luka. Ziya mengepalkan tangan sekuat tenaga. Menyalurkan amarah dan sesak yang melanda dada dengan gegap gempita. “Nyatanya, orang yang mengatakan itu justru menjadi orang pertama yang meninggalkanku.”
Sebaik apa pun masa lalu bersembunyi di balik masa depan. Selalu ada celah di mana kenangan mengulang titik kepedihan. Ziya tak mau terbawa perasaan. Namun, kenyataannya ia hanyalah sekuntum mawar yang terlihat gagah dan menawan di luar, tetapi sebenarnya payah dan mudah dihancurkan cukup sekali genggam.
“Nona, saya janji.”
“Jangan pernah mengikat janji, untuk sesuatu yang tidak pasti.”
“Nona.” Tanpa sadar Ila meneteskan air mata. Meski tak dilihat Ziya, ia buru-buru menyekanya. Tidak membiarkan sisi lemah mendominasi rasa. “Baiklah, saya tidak akan berjanji. Saya akan membuktikannya lewat perbuatan saya.”
Waktu berjalan pelan. Ila tetap setia menemani dari luar, sesekali berceloteh panjang lebar meski tidak mendapat balasan. Sementara di gudang, Ziya bertarung melawan kesakitan. Telapak tangannya telah dipenuhi darah segar, sewaktu menekan luka jahitan yang terbuka akibat membentur lantai ketika Respati mendorongnya dengan kasar.
Keringat dingin membasahi dahi Ziya. Seluruh tubuh terasa panas dingin. Perlahan-lahan kesadarannya mengabur. “Ma, bawa Ziya bersama Mama.”
***
“Pecundang!” Hanum hampir saja menampar Respati jika Rangga—suamimya—tidak dengan sigap melerai pertengkaran.
Pria bersurai pendek berponi warna hitam itu mendekap Hanum dan mengelus punggungnya. “Tenanglah. Semua bisa dibicarakan baik-baik.”
“Baik-baik apanya?” Melepaskan diri dari pelukan Rangga, Hanum berdiri di depan Respati yang duduk santai sambil menyesap segelas soda. “Kau sudah keterlaluan, Respati! Bagaimana bisa kau mengurung Ziya di gudang, sementara kau tahu dia dalam masa pemulihan. Aku tahu kau marah karena dia merawat Ashwa, tapi setidaknya gunakan akal sehatmu untuk tidak bertindak gegabah. Sekarang lihat sendiri hasilnya. Apa yang kau dapatkan dari perlakuan kejam dan tidak berperasaanmu?”
Ziya ditemukan tidak sadarkan diri di gudang setelah dikurung kurang lebih selam sehari semalam. Jika Bibi Yoli tidak bergerak cepat dengan meminta bantuan Hanum, keadaan Ziya mungkin lebih parah.
Memegang dahinya sebentar, Hanum mencoba untuk bersikap lebih tenang. “Aku tahu kau membencinya. Aku tahu dendam macam apa yang di hatimu. Namun, berkali-kali kukatan bukan seperti ini caranya memperlakukan Ziya. Dia manusia.”
“Dia hanyalah seonggok sampah!” Tak ada keraguan sewaktu label itu dilontarkan. Respati tertawa pedar. “Apa yang harus aku lakukan? Membiarkannya menyentuh Ashwa? Atau, memperlakukan dia seperti nyonya keluarga Jayaprana? Tidak akan pernah!”
“Perlakukan Ziya selayaknya kau memperlakukan seorang wanita.” Hanum menurunkan nada bicara, tetapi tetap dengan penuh penekanan. “Dia bukan sampah. Dia manusia. Jangan kau lukai seolah dia sudah mati rasa. Tamparanmu mungkin bisa memuaskan amarah. Tapi, di saat yang sama, tamparanmu telah mencetak satu jejak bahwa kau adalah pecundang yang hanya bisa main tangan pada wanita.”
“Layak atau tidak, aku lebih tahu soal itu dari Kakak.” Suasana memanas. Respati bangkit dari posisi duduk—berhadap-hadapan dengan Hanum. Telunjuk tangannya mengarah ke kamar tamu warna cokelat yang tertutup rapat. “Untuk wanita senista dia, aku tak masalah menjadi pecundang.” Memasukkan tangan ke saku celana, ia pergi tanpa peduli pada tatapan nyalang Hanum.
“Respati!”
“Sayang, tenang.” Rangga menahan Hanum mengejar Respati. “Ini urusan rumah tangga mereka. Kita tidak seharusnya ikut campur.”
“Tidak ikut campur? Maksudmu aku harus membiarkan dia bertindak gila, sampai kemudian nyawa wanita itu melayang?” Hanum menepis tangan Rangga yang berusaha menyentuh bahunya. “Aku tetaplah kakaknya. Aku berhak mengingatkan bahwa yang dia lakukan adalah salah.”
“Ya, aku tahu, Sayang. Hanya saja soal Ziya itu berbeda. Dialah yang menabrak Ratna. Aku pun kalau jadi Respati akan melakukan hal yang sama. Bukankah sangat tidak adil jika Ziya hidup bahagia, sementara dia kehilangan orang yang dicinta?”
Hanum membuang muka dengan mata berkaca-kaca. Baik Respati atau Rangga memiliki pemikiran sama dan tentu saja enggan disanggah. “Hutang darah dibayar dengan darah. Itukah yang dinamakan adil? Satu terluka, yang lain ternoda. Menurutmu, jika semua orang memiliki pemikiran dangkal seperti ini. Di mana lagi kita akan menemukan kebaikan?”
“Sayang—”
Perkataan Rangga terhenti kala Hanum menyela, “Dan, satu lagi. Ziya bukanlah satu-satunya orang yang bersalah atas kematian Ratna.”
“Apa maksudmu?” Rangga mendelik dengan tubuh gemetar. “Jika bukan Ziya, siapa yang bertanggung jawab atas kematian Ratna? Kau tahu sesuatu yang tidak diketahui Respati?”
Hanum menggigit bawah bibirnya. “Lupakan. Aku hanya asal bicara saja.”
***
Ila mengambil handuk kecil warna putih dari laci nakas. Merendamnya sebentar di baskom berisi air hangat, lalu diperas hingga sedikit kering. Dengan telaten ia melap tubuh wanita berwajah sayu yang masih memejamkan mata; tidak menampakkan tanda-tanda akan terjaga.
“Bagaimana keadaannya?” Hanum—tanpa ditemani Rangga—datang dan berdiri di dekat Ila. “Seandainya aku bisa datang lebih awal, kondisinya tidak akan seburuk ini.”
Mengembuskan napas pelan, Ila kembali membenamkan handuk ke baskom setelah dipakai melap bagian tangan. “Luka jahitannya terbuka. Dokter sudah menanganinya. Hanya saja, selepas ini nona harus lebih berhati-hati agar hal yang sama tidak terulang kedua kali.”
“Aku percaya kau bisa menjaganya.” Memegang pundak Ila, Hanum menaruh ribuan asa. “Kau adalah orang kepercayaanku. Jadi, lakukanlah yang terbaik untuk melindunginya.”
“Saya akan melakukan yang terbaik, sesuai dengan harapan Nona.”
Ila adalah kaki tangan Hanum yang dikirim ke kediaman Respati jauh sebelum Ziya datang. Semula ia bertugas memata-matai Ratna. Dikarenakan Hanum memiliki beberapa kecurigaan terkait adik iparnya. Namun, setelah wanita itu tiada, disusul Ziya masuk sebagai istri Respati Jayaprana, tugasnya berubah menjadi pelindung dalam diam.
“Aku tidak mendukung Ziya tanpa alasan yang kuat. Kecelakaan Ratna tidak sesederhana yang kita kira. Kau ingat dengan tiket ke Swedia yang dipesan diam-diam oleh Ratna?” Menatap Ila dengan mata menyipit, Hanum bersandar di dinding dekat jendela. “Ratna pasti berniat menemui pria itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...