“Dia berniat bunuh diri.” Daren memgembuskan napas panjang selagi mengelap keringat yang membasahi dahi sehari bulan. Menatap Respati yang tertidur lelap di ranjang, ia berdesis sebal. “Jika saja aku tidak menyusulnya, dia mungkin sudah tiada.”
Tak bertanya perihal mengapa Respati mampu melakukan hal sebodoh terjun dari jembatan untuk mengakhiri kehidupan, Ziya hanya menganggukkan kepala selepas Daren berbicara. Namun, tanpa diminta Daren langsung memberikan penjelasan. “Tadi Respati datang ke bar dan membuat keributan. Dia memperebutkan kupu-kupu malam—Teresa—yang paling terkenal di bar. Namun, aku berhasil menengahinya dan memberikan wanita itu pada dia. Respati berniat ....” Ragu mulai menyapa. Daren memandang Ziya dengan perasaan bersalah. Hendak melanjutkan cerita, tetapi takut akan melukai hati istri sah.
“Jangan pikirkan perasaanku,” ucap Ziya tanpa memandang muka. Melepaskan sepatu dan alas kaki Respati dengan cekatan, ia seolah tak terganggu oleh kenyataan prianya hendak bermain wanita di luar sana. “Jika mau bercerita, silakan lanjutkan. Jika tidak mau, kau bisa terus diam. Aku tidak akan memaksa. Lagi pula sejak kapan aku memiliki hak turut andil dalam hidupnya?”
Daren mengusap lehernya yang basah akibat keringat menggunakan sapu tangan. Berjalan mendekati pendingin udara, ia mengibas-ibaskan tangan sebagai kipas buatan. Memapah Respati dari depan menuju kamar cukup menguras tenaga. Belum lagi ia harus bertengkar demi menghentikan kegilaan. Setelah merasa cukup nyaman, ia melanjutkan cerita.
“Teresa meneleponku dan mengatakan Respati pergi tanpa menyentuh tubuhnya. Aku sudah menduganya, dia datang ke bar hanya karena sedang kalut saja. Bukan benar-benar berniat bermain wanita. Namun, aku tidak sepenuhnya yakin Respati sudah sadar. Teresa bilang dia pergi dalam keadaan sangat buruk. Jadi, aku memutuskan menyusuri jalan pulang.” Memasukkan sapu tangan ke saku celana, ia bersandar di dinding sembari mendongakkan kepala; menatap langit-langit kamar yang hanya dihiasi lampu gantung. “Aku melihatnya berdiri di jembatan. Saat aku menghampirinya, dia sudah bersiap menceburkan diri. Syukur aku berhasil menghentikannya. Meskipun kami harus bertengkar dan aku mau tidak mau memakai kekerasan hingga membuat dia pingsan.”
“Terima kasih sudah menolong Respati.”
“Tidak masalah. Dia memang suka merepotkanku. Setidaknya kali ini lebih baik daripada sebelum dia bertemu Ratna.”
Menoleh sebentar ke arah Daren, Ziya mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Karena Ansa, dia berkali-kali mencoba mengakhiri hidup.”
Mendengar itu tiba-tiba Ziya menundukkan kepala. Bahkan ia menjatuhkan kaus kaki Respati dari genggamannya. Kedua netra seindah senja itu berkaca-kaca. Melihat ke arah Respati yang terlelap tenang, hati terasa remuk rengsa. “Kenapa dia melakukan itu?” Suara Ziya terdengar serak.
“Dia mengerahkan banyak mata-mata untuk mencari Ansa dan semua berakhir sia-sia. Tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menemukan keberadaan Ansa. Walau tidak pernah mengatakan secara langsung tentang perasaannya, tapi kami tahu dia terluka dan putus asa.” Daren berdecak pelan. Mengingat masa-masa itu membuatnya sedikit sebal. “Minum obat tidur sampai overdosis, mengiris pergelangan tangan, sengaja menabrakkan mobil ke pembatas jalan, menjatuhkan diri dari jembatan, entah berapa banyak cara yang ia lakukan dalam rangka menghadap kematian.”
Meremas ujung piamanya, Ziya menggigit bawah bibir dengan tubuh gemetar. Haruskah kau lakukan itu semua? Bagaimana bisa cinta membuatmu menjadi pria naif dan gila? Respati, kau harusnya hidup bahagia, bukannya larut dalam luka hanya demi seorang wanita. Kau tidak pantas menunggu seseorang yang meninggalkanmu.
“Empat tahun lalu aku mengenalkan Ratna pada Respati. Dia awalnya menolak. Tapi, saat melihat Ratna memiliki sedikit kemiripan dengan Ansa, dia berubah pikiran. Tidak lama setelah perkenalan mereka menjalin hubungan. Semua terjadi begitu singkat, sampai surat undangan pernikahan mereka tersebar. Aku bahagia dan berpikir Respati telah sepenuhnya melupakan Ansa.” Daren bersedekap dada. Wajah kesal itu berubah sendu. “Ternyata aku salah. Dia menikahi Ratna hanya sebagai pelampiasan saja. Ratna bahkan pernah hampir keguguran karena tertekan melihat Respati masih mencari Ansa, saat mereka sudah berstatus menikah.”
Melihat Ziya diam saja, Daren berdeham kecil. “Maaf, aku terlalu banyak bicara.”
“Tidak masalah.” Ziya dengan cepat mengontrol emosinya. Berbalik badan, ia tersenyum pedar. “Terima kasih sudah menceritakan semua tentang Respati.”
“Terima kasih kembali karena sudah mau mendengar aku bercerita.” Mendekati Ziya, ia mengulurkan tangan. “Kita belum berkenalan. Aku Daren, sahabat Respati.”
Balas menjabat tangan Daren, wanita dengan surai dikuncir kuda itu berkata, “Kau bisa memanggilku Ziya atau ....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya saat tidak sengaja menatap luka di punggung tangan si pria. Refleks Ziya mengambil tisu dari atas meja dan menggunakan itu untuk melap darah yang tersisa. “Kau terluka?”
“Ya, mungkin tidak sengaja terkena benda tajam ketika berkelahi dengan Respati. Tidak masalah, ini hanya—”
“Jangan terbiasa menyepelekan hal kecil. Lukanya memang tidak begitu parah. Tapi jika tidak segera ditangani, ini bisa infeksi. Kau mungkin menjadi satu dari seribu orang tidak beruntung yang berakhir diamputasi.” Mengeluarkan kotak P3K dari laci nakas, Ziya dengan cermat memperhatikan obat-obatan yang tersedia di sana. “Berikan tanganmu.” Selesai menuang alkohol ke atas kapas, ia kemudian membersihkan bagian-bagian di sekitar luka.
Daren dibuat membungkam seribu bahasa. Memandang Ziya dalam jarak yang sangat dekat membuatnya meneguk saliva. Bagaimana bisa Respati menyia-nyiakan wanita sebaik Ziya?
“Sudah selesai.” Ziya meletakkan kembali salep dan alkohol ke tempat semula. Menyadari Daren tak kunjung memberikan reaksi—tak bicara atau bahkan mengaduh saat diobati—ia mengerutkan dahi. “Apa masih sakit?”
“Tidak.” Canggung, Daren segera membalikkan badan. Lalu berjalan menuju pintu keluar. “Aku harus pulang sekarang. Terima kasih sudah mengobati lukaku.” Melambaikan tangan dalam posisi membelakang, Daren tak berani memandang Ziya.
“Hati-hati di jalan.”
***
“Nona, siapa yang akan mengganti baju tuan?” Ila meletakkan sepasang piama yang biasa Respati kenakan ke atas meja. Lantas mendekati Ziya yang sibuk melap wajah, tangan, dan beberapa bagian tubuh lain sang suami dengan menggunakan sapu tangan basah. “Haruskah saya meminta pelayan pria untuk melakukannya?”
“Tidak perlu.” Belum sempat memberikan jawaban, Bibi Yoli menyela dari belakang. Tersenyum ramah pada Ziya, ia sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat. “Biar Nona yang melakukannya.”
Kedua netra gadis berhidung sedikit bangir itu dibuat mendelik. “Tapi ....” Sanggahan Ila menggantung saat Bibi Yoli memberi kode untuk ia diam saja. Untuk sejenak otaknya dipaksa memahami maksud perkataan wanita paru baya tersebut. Sampai akhirnya, ia mengerti dan langsung menganggukkan kepala. “Ya, seharusnya Nona yang mengganti pakaian tuan. Kalau begitu saya dan Bibi Yoli pamit keluar.”
“Em.” Tidak menyatakan penolakan, Ziya berjalan mendekati meja dan mengambil piama Respati. Lantas kembali ke tempat semula. Menatap dalam wajah Respati, cairan bening meluncur tanpa aba-aba. “Maaf sudah membawa begitu banyak pelik dalam hidupmu yang damai.”
Membuka satu per satu kancing kemeja, isak tangis semakin bergema. Ziya mencoba tabah, tetapi membayangkan bagaimana hancurnya seorang Respati ditinggalkan Ansa, membuat ia mau tak mau ikut disesak lara. “Maafkan aku. Maaf sudah meninggalkanmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...