[37] Cerai

5.5K 355 64
                                    

“Dia sudah mati.”

Masih terngiang jelas perkataan Respati tempo hari. Menghancurkan harap yang sempat terpatri di hati. Menyisakan keping-keping galabah yang tertawan sepi berbalut nyeri. Menampar seonggok daging bernyawa dengan kenyataan bahwa menyuji bahagia hanyalah sebuah mimpi.

“Nona?” Mata Ila membulat sewaktu melihat Ziya duduk di bawah lantai dengan kepala bersandar pada nakas. Selepas meletakkan nampan berisikan semangkuk bubur dan secangkir susu ke meja, ia segera menghampiri Ziya. “Nona, kenapa duduk di sini?” Berniat membantu, tetapi tangannya ditepis begitu saja.

Tak ada jawaban, Ziya menutup mata. Sejak Respati mengabarkan Leo telah tiada, ia seperti manusia tanpa jiwa. Semua warna dalam hidupnya memudar dan berganti jelaga.

Sadar Ziya akan bersikap abai seperti sebelum-sebelumnya, Ila mencoba mengerti dan tak lagi melempar tanya. Dengan tenang dan penuh kelembutan ia mengusap wajah sang tuan. Meski senyum melengkung lebar, diam-diam di dada ada yang remuk redam. Namun, mau tidak mau ia harus menjadi tegar. Berdiri sekuat batu karang demi Ziya. Sebab selain Bibi Yoli dan Ila, pelayan mana yang bersedia memperlakukan Ziya seperti manusia? Mereka semua telah terkontaminasi kebencian sama seperti Respati.

“Saya sudah membuatkan bubur ayam kesukaan Nona.” Ila menggenggam tangan Ziya, pelan. “Bagaimana jika saya menyuapi Nona?”

“Bubur ayam?” Lengkung tipis merah muda sedikit pucat itu terkembang pedar. Teringat bagaimana Leo berusaha belajar memasak demi dirinya. Kenangan manis berkejaran di kepala; mengundang lara memparah luka. Sayang, semua sudah berakhir. Ia bahkan tidak punya kesempatan untuk menemui pria itu lagi di dunia. “Bawa kembali makanannya. Aku tidak lapar.”

“Tapi Nona sejak kemarin belum makan apa-apa. Bagaimana mungkin Nona tidak lapar?”

Ketika reguk demi reguk luka mengalir di tenggorokan, mampukah raga merasakan kelaparan?

Ziya membuka mata, lantas menatap Ila dengan pandangan tak biasa. “Aku tidak lapar.” Kembali mengulang kalimat yang sama dengan sedikit penekanan.

“Jika bukan untuk Nona, setidaknya makanlah sedikit demi anak yang ada di perut Nona.” Tak kehabisan akal, Ila mencoba mencari cara agar Ziya berhenti melakukan penolakan. “Bagaimana jika saya yang suapi Nona?” Ila berniat pergi mengambil makanan. Namun, langkahnya terhenti kala melihat Respati berdiri di dekat meja. “Tuan?”

Hening. Ia sama sekali tak merespon Ila. Pria berkaus polo itu justru mengambil mangkuk bubur dan lalu berjalan menuju Ziya. Berjongkok, ia mengaduk-aduk bubur hingga menyatu dengan kuah sebelum akhirnya menyendoknya. “Apa kau benar-benar ingin mati?” Menoleh sebentar ke arah si wanita; tatapan penuh kebencian menyambut kedua netra. “Kau berusaha sekuat tenaga mempertahankan kandunganmu saat aku berniat menggugurkannya. Namun, ketika aku sudah melepaskan anak itu, kau justru tidak merawatnya dengan baik. Membiarkan dirimu kelaparan sama dengan menyiksanya, bukan?”

Tatapan Ziya tak kunjung beralih dari wajah Respati. Nelangsa berduyun-duyun menyesak perasaan. Dulu, kau adalah malaikat pelindung yang selalu kudambakan setiap kali merapalkan harapan pada Tuhan. Sekarang, entah mengapa waktu telah merubahmu menjadi monster menakutkan. Monster yang berusaha aku genggam, berusaha aku berikan pelukan, tetapi berakhir menikamku dengan pedang kesedihan. Pada akhirnya, cinta yang dulu tergaung lantang perlahan mengerdil dan membeku di sudut keterasingan. Sementara benci semakin membara dan memenuhi pikiran.

“Buka mulutmu.” Mengulurkan sesendok bubur ke depan mulut Ziya. Namun, wanita itu justru dengan dingin berkata, “Kau akan menyesal, Respati.”

Tersenyum tawar, Respati mencoba bersikap tidak peduli terhadap apa yang Ziya katakan. “Kau ingin aku menyesal? Kalau begitu, habiskan semua makanan ini. Pastikan dirimu punya cukup tenaga untuk melawanku.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang