“Satu ... dua ... tiga.” Ziya menghitung mengikuti ketukan langkah kaki Ashwa. Saat bayi berusia enam belas bulan itu hampir jatuh, Ziya dengan sigap menyambutnya. “Yeay! Ashwa semakin pintar, ya. Sekarang sudah belajar jalan. Besok-besok bisa temanin ayahnya lari-larian di lapangan.” Melabuhkan kecupan berulang kali di dahi sang anak, ada euforia yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.
“Nona, jusnya.” Ila yang baru selesai membuatkan minuman kesukaan Ziya datang dan meletakkan gelas kaca ke atas meja. Melirik Ziya yang memasang wajah semringah, ia ikut tersenyum bahagia. “Nona Ashwa tampaknya sangat menyukai Nona.”
“Benarkah?” Ziya menaikkan salah satu alisnya kala memandang Ashwa. “Apa Ashwa cantik suka bermain dengan Tante Ziya?”
Bergumam khas bayi, Ashwa seakan-akan tengah memberikan jawaban atas pertanyaan. Terang saja Ziya diserang rasa gemas menyaksikan betapa lucunya cucu pertama keluarga Jayaprana. “Iya, Ashwa suka dengan Tante Ziya? Tante juga suka dengan Ashwa. Bakso kecil Tante Ziya yang menggemaskan.”
“Tante?”
Satu kata itu membungkam tawa Ziya. Menghadap pintu kamar yang terbuka lebar, ia dengan segera bangkit dari posisi duduk selagi membawa Ashwa ke dalam gendongan. Rukmini bersedekap dada. Merengut, ia langsung berkata, “Ashwa harus memanggilmu dengan sebutan ibu. Ibu Ziya. Meski dia bukan anakmu, kau harus membiasakannya.”
“Bu, aku tidak bermaksud menolak panggilan itu. Aku tidak mau dipanggil ibu karena menghargai Ratna. Bagiku, hanya dia yang pantas dipanggil ibu oleh Ashwa. Dan, itu adalah salah satu cara untuk Respati dan Ashwa mengenang, bahwa pernah ada wanita seluar biasa Ratna di hidup mereka.” Menundukkan kepala, perasaan tak nyaman berduyun-duyun membalut atma. Selain alasan Ratna, ia juga mengerti betul Respati tidak akan menyukai panggilan itu tersemat pada dirinya. Jujur saja, Ziya mulai lelah terlibat dalam pertengkaran berkepanjangan.
“Nyonya, nona menyayangi Nona Ashwa seperti anak kandung sendiri. Namun, perihal memanggil dengan sebutan ibu, nona takut itu akan melukai perasaan tuan.” Ila sebagai penonton setia yang paham di balik keputusan Ziya dengan cepat mencoba membantu sang nona. Meski paham ia tak memiliki hak untuk sedikit pun bersuara. “Maaf, Nyonya. Saya hanya berusaha mengatakan pendapat saja.”
Hening. Rukmini memandang Ziya saksama. Sorot matanya memancarkan ambigu; sulit diprediksi dan tak menentu. Enggan menduga-duga, Ziya memilih pasrah bila bantahan tersebut secara tak sengaja menyulut amarah sang ibu mertua.
“Ibu tidak menyangka akan memiliki menantu sepertimu, Ziya.” Maju beberapa langkah mendekati Ziya, ia meletakkan kedua tangan di bahu wanita bersurai cokelat itu. “Bukan hanya bisa mengurus Ashwa, kau juga memikirkan Respati dengan begitu baiknya. Ratna sudah tiada, tapi kau bahkan tidak berusaha menyingkirkannya dari pikiran Respati. Kau biarkan kenangan tentang dia terjaga utuh. Ibu bahagia bisa memiliki menanti sepertimu.”
Seketika Ziya mendongakkan kepala. Tak percaya dengan reaksi Rukmini yang justru memujinya. “Ibu tidak marah?”
“Kenapa Ibu harus marah?” Terkekeh kecil, Rukmini menggamit ujung hidung Ziya. “Meskipun Ashwa tidak memanggilmu ibu, bukan berarti dia harus memanggilmu tante.”
“Maksud Ibu?”
“Bunda, ya, Bunda Ziya. Bagaimana? Terdengar manis, bukan?”
Kali ini Ziya tak bisa membantah. Mau tak mau ia menganggukkan kepala. “Ya, sangat manis.”
***
Respati memeriksa dokumen penting perusahaan sesekali melirik Ziya yang duduk santai membaca novel. Dua malam sudah mereka habiskan bersama, meski tak seranjang—satu tidur lantai, sementara yang lain menikmati nyamannya kasur dan selimut tebal. Hening menjadi pendamping setia, kala tak ada yang bisa dijadikan bahan bicara. Bersikap seolah-olah mereka tinggal di dimensi yang berbeda. Mencoba tak bersinggungan, agar proses sandiwara berjalan lancar. Namun, kadang rasa penasaran memaksa interaksi di antara dua manusia yang sebelumnya bersepakat tak berbagi kata.
Tepat saat Ziya membalik halaman selanjutnya dari novel yang dibaca, Respati secara spontan bertanya, “Bagaimana hari ini?”
Untuk sejenak Ziya dilanda kebingungan. Mencoba memastikan bahwa pria itu benar-benar melempar pertanyaan padanya. “Kau bicara padaku?”
“Menurutmu?” Respati mencoret beberapa bagian laporan yang dianggap belum tepat. “Apa maksudmu aku sedang berbicara pada tembok? Kau pikir aku punya indra keenam sehingga bisa berbicara dengan makhluk tak kasat mata? Atau, kau anggap aku orang gila yang senang berbicara sendiri?”
Meski tidak menatap langsung raut wajah sang suami suami, tetapi ia bisa memastikan bahwa pria tersebut tersulut amarah. Alih-alih memberikan jawaban yang bisa menenangkan, Ziya justru diam dan kembali melanjutkan aktivitas awal.
Merasa diabaikan, Respati mengepalkan tangan, kesal. “Layonsari Ziya Grekala!”
“Ya?”
“Kenapa kau terus saja mendekati Ashwa? Bukankah dia sudah memiliki pengasuh sendiri? Kenapa kau harus berpura-pura menjadi ibu tiri yang baik dan merawatnya? Bahkan Ibu sampai memujimu berulang-ulang di depanku.” Mengempaskan pulpen dan kertas yang ia pegang, Respati kemudian menutup laptopnya dengan kasar. “Bukan hanya itu saja, bukankah kau juga mendapat panggilan baru? Bunda? Cih! Menjijikan!”
Mata Ziya memanas mendengar kata-kata Respati. Ia tidak tahu mengapa topik percakapan melenceng jauh dan berakhir menyudutkannya dalam luka. Namun, menimbang hobi Respati adalah melukai hati seorang Ziya, mau tak mau ia memberi permakluman meski kalbu menolak dengan lantang.
“Terserahmu.” Dingin, Ziya enggan meladeni makian Respati.
Bangkit dari kursi, Respati berbalik selagi memasukkan tangan ke saku celana. Menyipitkan mata, ia menatap Ziya yang bergeming di tempatnya; tak terpancing untuk beradu argumen. Meski tak dijelaskan secara gamblang, ia bisa merasakan jarak yang terbentang di antara mereka begitu lebar. Belum lagi Ziya mulai menunjukkan ketidakpedulian. Menerima semua kekejaman tanpa bantahan, tetapi di sisi lain juga tidak menunjukkan kelemahan. Ia justru semakin dingin dan tegar. Entah mengapa, hal itu mengusik ketenangan Respati.
Mendekati Ziya, ia merebut novel itu dan melemparnya ke sembarang arah. Namun, wanita itu hanya mengembuskan napas panjang dan berkata, “Aku lelah.” Membuang muka, ia beranjak dari sofa menuju bagian kanan kamar—di dekat lemari—yang menjadi tempatnya menghabiskan malam panjang.
Mencekal tangan Ziya, Respati menariknya ke dalam pelukan, sebelum akhirnya didorong ke sofa dengan kasar. “Apa begitu caramu memperlakukanku?”
“Apa begini caramu memperlakukanku?” Ziya balas bertanya dengan nada tak kalah mengintimidasi dari pria di hadapannya.
“Beraninya kau mempertanyakan itu padaku.” Mencengkeram wajah Ziya, iris seindah senja itu menatap langsung iris wanitanya. “Hanya karena aku membiarkanmu melakoni peran sebagai istri Respati Jayaprana, bukan berarti kau bisa bebas melakukan segalanya. Jangan pikir statusmu sudah berubah. Kau tetap budakku!”
“Ya, budakmu. Kau pikir aku mau menjadi istri dari pria sekejam dirimu?”
“Diam!” Jari telunjuk Respati mengarah ke wajah Ziya.
Ziya mengepalkan tangan; menyalurkan sesak yang bersepakat menyerang perasaan. Riak-riak mulai bernada di kedua telaga. “Aku membencimu.”
Selepas kedua kata itu diucapkan, bibir Respati dengan lancang melahap bibir Ziya. Pada awalnya, ia mencoba melakukan perlawanan. Akan tetapi, semakin liar lumatan, semakin ia lemah dan menerima cumbuan.
Aku membencimu, Respati. Aku membencimu karena membuatku mencintaimu sedalam samudra, hingga tak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari sana; terus tenggelam dalam keindahan berbalut nestapa.
***Respati kok oleng-oleng gimana gitu, ya🤣🤣🤣
Bikin darting
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romansa[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...