"Sayang, pelan-pelan." Rangga mengejar Hanum yang berjalan beberapa langkah lebih depan darinya. "Sayang, semua pasti baik-baik saja." Untuk ke sekian kali ia menggemakan kalimat yang sama. Berharap Hanum berhenti mengkhawatirkan perihal Respati dan Ziya. Meski kenyataannya tidak ada yang berubah. Sang istri tetap dihantui cemas hingga pergi ke rumah Respati walau sudah mendapat peringatan agar tidak menginjakkan kaki lagi ke sana.
"Aku menelepon ibu dari tadi, tapi tidak ada jawaban. Aku takut Respati sudah menceritakan tentang Ziya. Ibu pasti tidak siap menerimanya. Kau jelas tahu, ibu tidak pernah mau anak-anaknya mengikuti jejak Ayah yang hidup hanya untuk dendam." Berjalan tergesa-gesa, Hanum tidak memedulikan pelayan yang menyapanya ramah. Kemarin malam ia berniat berkompromi dengan Respati. Namun, Respati justru menolak mentah-mentah. Alhasil perbincangan mereka berakhir dengan pertengkaran.
"Sayang, jika Respati benar-benar melakukan itu, ibu pasti menghubungi kita." Rangga menarik tangan Hanum, hingga ia mau tidak mau berhenti dan kemudian berbalik menatap sang suami. "Masalah seperti ini harus dihadapi dengan tenang. Percayalah, Respati tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyakiti hati ibu. Dia tidak seegois itu. Kau tahu dengan jelas seberapa sayangnya Respati pada ibu, bukan?"
"Aku tahu!" Hanum menganggukkan kepala. "Tapi, aku juga tahu dia bisa menjadi sangat egois jika berkaitan dengan Ratna."
"Sayang."
"Tuan Rangga, Nona Hanum?" Bibi Yoli yang kebetulan melewati ruang tengah tampak sedang membawa nampan berisikan tiga gelas jus mangga. Sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat, ia tersenyum hangat dan bertanya, "Apa Tuan dan Nona ke mari untuk menemui Tuan Respati dan Nona Ziya?"
Hanum menepis genggaman tangan Rangga dengan mata mendelik, lantas beralih menatap Bibi Yoli. "Di mana mereka?"
"Taman belakang, Nona."
"Terima kasih." Masih dengan wajah ditekuk, Hanum pergi menuju taman belakang. Tidak memedulikan panggilan Rangga yang memintanya untuk berhenti. "Aku akan memberi pelajaran pada Respati. Dia terlalu banyak melakukan hal gegabah. Dan, ya aku tidak bisa mengampuni dia, jika dendam ini melibatkan Ibu di dalamnya."
Rangga mengembuskan napas panjang. Semua kata-katanya menguap begitu saja; tidak berhasil mengubah pemikiran Hanum, apalagi meredakan amarahnya. "Sayang, ayolah, jangan keras kepala begini. Selesaikan segala sesuatu dengan kepala dingin. Kau tidak bisa bicara dengan Respati jika masih tersulut amarah. Ingat, kemarin kalian bertengkar hebat, bukan? Aku tidak mau ikatan persaudaraan kalian retak hanya karena Ziya."
"Bukan karena Ziya, tapi karena egonya." Hanum berhenti sejenak. Sekitar lima langkah dari tempat ia berada, pintu yang mengarah ke taman belakang terbuka lebar. "Apa aku harus membeberkan semua keburukan Ratna baru Respati bisa membuka mata dan memakai akal sehatnya?"
Pria yang berusia setahun lebih muda dari Hanum itu mendadak salah tingkah. "Apa maksudmu?"
"Aku akan-"
"Akan apa?" Pertanyaan itu membungkam Hanum dan Rangga. Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya-memakai kemeja navy motif awab dipadukan celana kain hitam-memandang mereka dengan saksama. Melihat keduanya diam seribu bahasa, ia tiba-tiba tertawa. "Kalian melihat Ibu seperti sedang melihat hantu saja. Apa yang kalian bicarakan? Kenapa kalian terlihat sangat tegang?"
Hanum meremas ujung bajunya. Dengan cepat ia mengendalikan suasana. Menghampiri Rukmini, ia langsung bertanya, "Kapan Ibu sampai? Bagaimana perjalanannya?"
"Ibu baru sampai beberapa jam lalu. Perjalanannya sangat melelahkan. Tapi, semua terbayarkan saat Ibu datang dan melihat ...."
"Melihat apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...