[10] Dilarang Mendekati Ashwa

3.6K 254 13
                                    

“Em?” Ziya terjaga dari tidur panjangnya. Mengerjap-ngerjapkan mata, ia tampak sedikit terkejut mendapati wajah Respati berada dalam jarak yang begitu dekat dengan wajahnya. “Apa Ashwa baik-baik saja?” Merasa sedikit pusing, Ziya kembali memejamkan mata.

Respati yang sedang merapikan rambut Ziya dibuat canggung dan dengan segera menepis tangannya. “Ashwa baik-baik saja.”

“Baguslah.” Ziya menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. Ketika ia berniat menyentuh bagian kanan atas rongga perut yang menjadi titik proses operasi dilakukan, Respati tiba-tiba menghentikan.

“Sakit?” Menggenggam tangan Ziya, Respati merasakan sensasi tak biasa tengah menjalar di dada. Sadar telah melakukan hal yang salah, ia buru-buru melepaskan genggaman. Kemudian berpura-pura membuang muka ke arah jendela kaca yang ditutupi gorden biru muda.

“Sedikit.”

“Haruskah aku memanggil dokter?” Untuk kali pertama Respati berbicara dengan nada selembut dan seperhatian itu pada Ziya. Seketika canggung terasa menyelimuti keduanya. “Atau, kau memerlukan sesuatu? Aku akan mengambilkannya.”

Ziya meneguk saliva. Menggeleng tanpa memandang muka, ia berkata, “Tidak, terima kasih.”

“Kalau begitu, aku akan ke ruang rawat Ashwa.”

“Ya.”

“Beristirahatlah.” Menatap Ziya sebentar, Respati kemudian memutar tumit dan pergi.

Suara langkah kaki perlahan memudar. Menyisakan keheningan dan sepi menusuk tulang. Ziya membuka mata; memandang pintu yang tertutup rapat. Lengkung tipis merah muda sedikit pucat itu terkembang hampa. Hentakan yang lama hilang dalam dada, kembali bernada. Desir aneh merambat di pembuluh darah. “Kau pria yang baik. Sayang, kesalahanku telah mengubahmu menjadi monster menakutkan.”

Riak-riak lara bergelayut manja di kedua telaga. Mencoba tegar, tetapi hati kian pedar. Ziya melihat bekas luka di telapak tangan kirinya. Satu garis panjang—dari antara jempol dan telunjuk hingga ke dekat pergelangan tangan—berbentuk menyerupai gumpalan daging. “Waktu telah menyembuhkan raga dari luka. Namun, waktu tak kunjung menyembuhkan jiwa dari nestapa.”

Duka jatuh dari telaga, menuju pipi, dagu, leher, tulang selangka, dan kemudian bermuara pada bantal bersarung biru muda. Ziya menutup rapat bibirnya. Agar isak tangis teredam; tak terdengar oleh semesta.

Bagaimana caranya aku menghapus kenangan tentangmu dan juga rasa yang membara di kalbu? Jika setiap jengkal hidupku, selalu terukir kisah tentangmu.

***

“Ashwa.” Respati tak dapat menahan euforia kala menyaksikan sang anak membuka mata. Menggunakan alat bantu pernapasan, bayi kecil itu tampak lebih sehat dan bugar dari sebelumnya. Dengan berurai air mata, ia mencium puncak kepala Ashwa. Lantas memegang tangan mungil itu dengan penuh cinta. “Hai, malaikat kecil ayah.”

Respati tidak pernah menduga, suatu hari dokter akan mendiagnosis anaknya memiliki gangguan hati dan harus melakukan transplantasi. Tak peduli pada besarnya biaya perawatan, segala cara ditempuh demi mencapai kesembuhan. Namun, takdir seakan bersepakat menjebaknya dalam kegamangan. Ratna—atas alasan memiliki lemak hati—dan Respati tidak bisa mendonorkan hati mereka.

“Saya tidak pernah menduga Nona Ziya mau mendonorkan hatinya pada Nona Ashwa. Saya hampir saja salah paham pada orang sebaik dia.” Pengasuh Hila menyatukan kedua tangan di depan dada, bersukacita atas kesembuhan anak majikannya. “Berkat Nona Ziya, akhirnya Nona Ashwa tidak lagi merasakan sakit seperti saat-saat sebelumnya.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang