“Ziya, buka pintunya!” Sejejak resah terpancar dari nada bicara. Sudah setengah jam Yudistira menggedor pintu kamar Ziya, tetapi sang anak tak menunjukkan respon apa-apa. “Ziya, jangan keras kepala. Buka pintunya sekarang juga!”
Setelah sadar dari pingsan, Yudistira menghampiri Ziya dan memperkenalkan diri sebagai orang tua kandungnya. Untuk sejenak gadis kecil itu memberinya tatapan dalam dan penuh tanya. Hingga tiba-tiba sebuah penolakan bergema. Ziya histeris dan mengusir Yudistira keluar dari kamarnya.
Sadar bahwa Ziya perlu waktu untuk menerima kenyataan, Yudistira memilih mengalah. Namun, ia tidak menduga, putri kecilnya akan bertindak nekat dengan menyerang pengasuhnya. Tidak cukup sampai di sana saja. Ia juga mengurung diri di kamar tanpa minum dan makan seharian. Membuat seisi kediaman dilanda kehebohan.
“Ziya, berhenti bersikap kekanakan. Papa bilang buka pintunya sekarang juga. Atau, Papa sendiri yang membukanya dan kau akan menyesalinya.”
Yudistira kehabisan kesabaran. Menyadari gadis itu akan terus bertindak keras kepala—seribu bujukan dan kata-kata manis pun tidak berguna—ia akhirnya menyuruh pelayan membuka pintu kamar menggunakan kunci cadangan. Amarah membuncah di dada. Namun, sebelum itu sempat mengudara, ia lebih dulu dibuat lemas dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.
Sebuah gunting berlumur darah tergeletak tak jauh dari gadis yang kini meringkuk dengan kedua tangan menutup kedua telinga. Terdapat luka berukuran sedang akibat goresan benda tajam di kedua pipi pualamnya. Ia menggeleng-geleng pelan dengan bibir yang berulang-ulang mengatakan, “Aku benci wajah ini, aku benci.”
Segera Yudistra berlari menghampiri Ziya dan memeluknya. Ketika netra cokelat itu bertemu dengan netranya, terpancar aura galabah. “Apa yang kau lakukan?” Menatap luka yang entah bagaimana bisa tercipta di wajah Ziya, Yudistira berkaca-kaca. “Apa kau melukai dirimu sendiri?”
“Kenapa wajahku sama seperti wajahmu? Mama tidak menyukainya, karena itu mama meninggalkanku. Aku tidak menyukai wajah ini. Aku membencinya. Aku tidak ingin memiliki wajah sepertimu.” Seolah tak puas dengan luka yang ada, Ziya kembali mencakar wajahnya. Beruntung Yudistira berhasil menghentikannya, sebelum tindakan impulsif tersebut semakin memperparah luka.
Meraung penuh duka, Ziya memberontak kala Yudistira semakin mengeratkan pelukan. “Aku membencimu. Aku membenci wajah ini. Aku membenci setiap hal yang membuat mama terluka.”
Seketika Yudistira diam seribu bahasa. Perkataan Ziya membuat hatinya serasa diiris-iris lalu direndam dalam larutan cuka; pedih dan menyiksa. Menundukkan kepala, selaksa sesal bersenandung dalam jiwa.
“Maafkan Papa, Ziya.”
***
“Sejak memasuki kediaman Grekala Kak Ziya telah melakukan begitu banyak hal yang bisa merusak wajahnya. Tidak pernah keluar dari kamar atau melanjutkan sekolah, aku dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana Kak Ziya menghabiskan tiga tahun dalam tekanan rasa bersalah. Dia lebih mirip raga tanpa jiwa. Bahkan mama sendiri menyebutkannya sebagai orang gila.” Presna menarik napas panjang sebelum melanjutkan cerita. Mengusap potret kecil Ziya, diam-diam galabah merambah dada. “Entah berapa banyak terapi yang Kak Ziya jalani sampai bisa normal seperti remaja umumnya. Tahun demi tahun aku hanya bisa menjadi pengamat dari kejauhan. Sampai hari di mana papa pun memutuskan memberikan apa yang Kak Ziya inginkan. Membiarkannya menjalani operasi untuk mengubah bentuk wajah.”
Detak jantung Respati berdetak melambat. Mendengar penjelasan Presna dengan saksama, seribu satu gamang berkejaran di kepala. Apakah Ziya adalah benar-benar gadis yang selama ini kukenal dengan nama Ansa? Dan, aku tidak mengenalinya karena dia mengubah wajahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...