[14] Masa Lalu

3.8K 286 22
                                    

“Mama!” Gadis berusia empat belas tahun tahun itu meronta, kala para pria yang ditugaskan mengurus pemakanan Nirmala mulai menimbun tubuh tak bernyawa itu di dalam tanah. “Jangan tinggalin Ziya, Ma. Ziya mau ikut Mama.”

Namun, sekeras apa pun ia mengiba, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Menatap gundukan tanah bertabur bunga dengan nisan bertuliskan orang yang melahirkannya, ia berkata, “Mama pasti ketakutan di dalam sana. Ya, di sana pasti dingin dan gelap. Ziya mau menemani Mama. Ziya mau ikut Mama.” Seperti orang gila, ia berusaha menggali kuburan Nirmala. “Mama, bawa Ziya. Jangan tinggalkan Ziya.”

Orang-orang yang melihatnya hanya bisa meluruhkan air mata; ikut larut dalam duka. Membayangkan ditinggalkan orang yang dicinta saja sudah sangat menyiksa. Apalagi itu benar-benar terjadi pada anak sekecil Ziya yang hanya mempunyai Nirmala sebagai sandaran hidupnya.

“Mama!” Lelah menggali, tetapi tak mendapatkan hasil apa-apa. Gadis kecil itu jatuh tak sadarkan diri dengan wajah pucat kesi. Saat itu, tiba-tiba seorang pria paruh baya datang entah dari mana dan menggendong Ziya.

***

“Untuk menikahimu, aku mengkhianati Nirmala. Aku tinggalkan dia dan Ziya. Aku menutup mata untuk semua derita yang menerpa mereka.” Yudistira memandang gadis kecil berpakaian serba putih yang terbaring lelah di atas ranjang. Mengelus wajah Ziya, rasa bersalah menghantui kepala. “Ziya bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Aku meninggalkannya saat ia baru dilahirkan Nirmala.”

“Kau meninggalkan mereka karena harta. Kau sendiri yang memilih menikahiku, Yudistira Grekala! Dan, sekarang kau ingin menyalahkanku atas kemalangan Nirmala?” Amarah berkecamuk di dada. Treya dibuat kehilangan kesabaran saat sang suami membawa seorang gadis kecil ke rumahnya dan mengatakan, “Dia anakku.” Terlebih itu terjadi di hari bahagia mereka. Hari di mana seharusnya ia dan Yudistira merayakan penyatuan dua hati di hadapan Sang Pencipta.

Yudistira menganggukkan kepala, lemah. “Ini kesalahanku, karena itu aku berniat menebusnya.”

“Apa maksudmu?”

“Izinkan Ziya masuk ke keluarga Grekala. Anggaplah dia seperti anakmu sendiri.” Menggenggam tangan Treya, Yudistira mengiba dengan penuh kesungguhan. “Aku akan mengatur semuanya. Ziya adalah anak sulung kita. Dia dibesarkan di Amerika karena kondisi tubuhnya yang lemah. Dan, sekarang kita baru membawanya kembali ke Indonesia karena dia sudah pulih sepenuhnya.”

“Kau gila?”

“Aku akan menghapus masa lalu Ziya. Tidak akan ada yang tahu soal Nirmala. Kupastikan semua hilang tanpa jejak.” Ide Yudistira memang gila. Namun, ia hanya bisa memikirkan jalan keluar itu saja. “Bagaimanapun aku ayahnya. Nirmala sudah meninggal. Aku tidak mungkin membiarkan Ziya hidup sendirian.”

“Kau bisa mengirimnya ke luar negeri. Biarkan orang lain membesarkannya. Kenapa harus memberikan dia status sebagai anak sulung Grekala?” Tak terima dengan penawaran Yudistira, Treya menepis tangan sang suami, marah. “Lalu bagaimana dengan Presna, anak kita? Dia yang seharusnya menjadi anak sulung keluarga Grekala. Tapi kau seenaknya memberikan itu pada anak mantan kekasihmu.”

Sadar akan ketakutan Treya, Yudistira dengan cepat menyanggah, “Presna tetap menjadi pewaris keluarga Grekala. Ziya tidak akan pernah mendapatkan apa-apa. Aku janji.”

“Kau pikir aku bisa memercayai pembohong sepertimu?”

Mengembuskan napas pelan dengan tangan terkepal, Yudistira yang semula memasang ekspresi penuh iba mendadak sedingin kutub utara. “Terserah kau mau bilang apa. Ziya akan tetap memasuki rumah ini sebagai anak kita. Jika kau ingin membantah, silakan saja. Kau bisa angkat kaki dari rumah ini.”

“Bedebah!” Treya bersiap menampar Yudistira, tetapi berhasil dicekal. “Kau mau mengusirku dari rumah ini? Kau pikir kau siapa? Kau bisa sampai ke puncak kekuasaan juga karena aku!”

“Tapi sekarang aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Aku sudah sangat sukses. Hartamu bahkan tidak bisa dibandingkan dengan hartaku.” Menarik Treya ke dalam pelukan, Yudistira berbisik dengan nada mengancam. “Jika kau tidak ingin bernasib seperti Nirmala, diam dan patuhlah. Terima Ziya dan perlakukan dia sebaik kau memperlakukan Presna.”

***

Memejamkan mata, Ziya menarik napas dalam-dalam. Selaksa perih berkejaran dalam pikiran. Selama ini ia selalu mencoba berdamai dengan semua kepedihan. Akan tetapi, ini perihal berbeda. Tentang sebuah luka yang belum mengering sekalipun waktu telah berlalu lama.

“Apa yang kau lakukan?” Respati memandang Ziya yang enggan keluar dari mobil.

“Apa yang kau inginkan?” Balik bertanya, Ziya meremas gaun hitam lengan panjang berbahan tule yang membalut tubuh kurusnya. Menatap Respati dengan mata memerah karena menangis, sesak bertalu-talu di atma. “Hari ini adalah hari yang paling aku benci seumur hidup. Di hari inilah mamaku meninggal dan kehidupanku yang damai berubah memilukan. Selama lima belas tahun aku melewati hari ini dalam kesunyian; mengenang kehilangan. Saat semua orang berpesta riang, aku menangis sesenggukan. Kau jelas tahu ini, bukan?”

“Ya!” Respati tersenyum lebar. “Bagaimana rasanya? Menyenangkan, bukan?”

“Aku bisa menoleransi semua kekejamanmu. Kau membiarkan pria lain menyentuh tubuhku, aku terima. Kau perlakukan aku selayaknya sampah, aku tak menyanggah. Bahkan jika kau mau membunuhku saat ini juga, aku akan dengan ikhlas membiarkanmu melakukannya. Kau bisa melakukan apa saja, Respati. Tapi, kumohon jangan memintaku menghadiri pesta di hari peringatan kematian mamaku. Karena aku tidak akan bisa menoleransinya.”

“Siapa yang memintamu menoleransi perbuatanku?”

Kehilangan kesabaran, Ziya melayangkan tamparan di wajah pualam Respati. “Kau mencintai Ratna. Kau rela membalas dendam dengan cara paling kejam demi dia. Sekarang aku tanya, maukah kau berpesta di hari peringatan kematiannya? Bisakah kau melangkah dengan jemawa di lantai dansa, mereguk anggur sambil tertawa di bawah bayang-bayang kehilangan? Tidak bisa! Kau bahkan setiap hari masih hidup dalam luka. Jika kau saja tidak mampu melakukannya, kenapa memaksaku dengan kejamnya? Seolah-olah aku manusia tanpa hati yang bisa tertawa di hari kematian mamanya.” Selesai meluahkan amarah, Ziya tak menunggu respon suaminya. Ia membuka pintu mobil dan pergi begitu saja.

***

Berjalan terseok-seok entah ke menuju ke mana—menjauhi tempat pesta—Ziya melepas satu per satu perhiasan yang menghiasi telinga, leher, dan juga rambutnya. “Argh!” Berteriak di antara kesunyian malam, Ziya meluahkan segala sesal yang mengendap dan tak kunjung beranjak dari pikiran.

Hingga hari ini aku belum bisa berdamai dengan kematian mama. Seharusnya aku yang tiada. Seandainya aku datang lebih awal. Seandainya aku yang memakannya. Mama akan baik-baik saja. Dan, mungkin mama bisa hidup bahagia, tanpa harus memikirkan anak dari pria yang telah mengkhianatinya.

Dalam buku harian Nirmala, Ziya menemukan curahan hati sang mama sebelum meregang nyawa. Nirmala tak membenci Ziya, tetapi memandang wajahnya yang sama persis seperti Yudistira membuat luka terus berdarah; menyiksa secara tak kasatmata. Dan, hal tersebut membuat ia sering kehilangan kesabaran dan menyakiti sang anak.

Hingga kemudian terbersit ide gila untuk membunuh Ziya—menghilangkan pemicu luka. Namun, Nirmala tetaplah seorang mama yang tidak akan tega melakukan perbuatan keji pada anaknya. Oleh karena itu, ikan beracun yang seharusnya dimakan Ziya, justru ia makan dengan maksud mengakhiri kehidupan penuh nestapa.

“Ziya, Mama salah. Mama terlalu egois. Mama hanya peduli pada luka Mama dan mengabaikan perasaan Ziya. Ziya, ingatlah ini. Apa pun yang terjadi pada Mama bukanlah kesalahan Ziya. Mamalah yang terlalu bodoh, karena tidak bisa berdamai dengan luka hingga detik ini.” Tulisan terakhir Nirmala terekam jelas di kepala wanita pembenci pelangi itu. Setiap kali ia menutup mata, bayang kematian berkejaran di kepala. Kala melihat ikan tersaji di meja, perasaan sesal merasuk tanpa permisi.

“Jika bukan karena Ziya, mama tidak akan memilih bunuh diri sebagai jalan pintas mengakhiri duka.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang