[42] Pengampunan

5.5K 417 57
                                    

“Apa kau sudah tidak waras?” Daren bertanya dengan nada tinggi. Melihat Respati yang tampak santai berbaring di ranjang rumah sakit setelah berusaha melakukan percobaan bunuh diri, ia termakan emosi. “Kau selalu saja mencari jalan pintas atas semua permasalahan. Alih-alih menjadi pecundang yang mencari kematian, tidak bisakah kau menghadapinya dengan penuh keberanian?”

Semalam petugas patroli menemukan sebuah mobil dalam kondisi pintu kemudi terbuka terparkir dekat pantai tanpa pemiliknya. Melalui telepon genggam yang tertinggal dalam mobil mereka menghubungi nomor terakhir di panggilan. Daren saat itu tengah menikmati pesta di klub malam. Ia dibuat cemas bukan kepalang saat menerima telepon yang berisi kabar tidak mengenakkan. Tanpa pikir panjang ia menuju lokasi yang petugas sebutkan.

Daren bukan cenayang, tetapi sebagai seorang sahabat ia tentu tahu ada yang tidak beres. Lekas ia menghubungi ke sana ke mari dan tak seorang pun mengetahui keberadaan Respati. Ketika menemukan puntung rokok merek ternama—yang sering ia dan Respati nikmati—tak jauh dari bibir pantai, tiba-tiba pikiran buruk melesat di kepala. Tidak mengandalkan petugas kepolisian, ia memilih menyelesaikan ini semua menggunakan anak buah pribadi.

Di tengah malam dengan disaksikan sang bulan mereka melakukan pencarian—menyusuri sepanjang pantai. Beberapa jam dilalui tanpa hasil. Hingga kemudian titik terang datang. Tubuh itu ditemukan terdampar sejauh 1,7 kilometer dari lokasi mobil terparkir. Segera pertolongan diberikan. Daren dibuat khawatir sepanjang malam karena perbuatan gegabah pria berwajah dingin dan kejam, tetapi penuh kerapuhan.

“Kali ini apa lagi?” Memicingkan mata, Daren duduk menyilangkan kaki sembari bersedekap dada. “Ansa atau Ratna?”

“Ziya.” Respati menutup mata kala menjawab tanya. “Dia tidak bersalah.”

Mendengar itu Daren mengerutkan dahi. “Maksudmu?”

“Ratna selingkuh dengan Rangga. Ashwa adalah hasil hubungan gelap mereka. Kecelakaan Ratna bukanlah kesalahan Ziya. Dia sengaja mengakhiri hidupnya.” Respati mencengkeram selimut yang menutup tubuhnya dari kaki hingga pinggang. “Akulah yang salah. Akulah sumber dari semua duka. Aku belum bisa melupakan Ansa, tapi dengan nekat menikahi Ratna. Kehidupan pernikahan penuh kepalsuan di mana aku hanya menganggap dia bayangan. Ketidakpedulianku pada Ratna membuatnya memilih jalan perselingkuhan. Kisah ini berkembang semakin memilukan. Dan, Ziya menjadi tumbal atas semua permasalahan. Aku menghancurkan hidup Ziya, masa depannya, dan bahkan orang yang dia cinta. Daren, bagaimana aku bisa menjadi orang yang sangat mengerikan?”

Berhenti bersedekap dada, pria itu membulatkan mata mendengar kebenaran yang sesungguhnya. Seketika ia membungkam tanpa kata. Bingung harus memberikan reaksi macam apa. Sebab semua benar-benar di luar duga.

“Kata Ansa aku adalah malaikat tanpa sayap yang penuh kasih dan cinta. Namun, hari ini waktu membuktikan bahwa dia salah. Aku, Respati Jayaprana adalah monster mengerikan yang tak segan menghabisi wanita demi memuaskan kegilaannya.”

“Sesalmu tidak berguna. Kau harus memperbaiki apa yang salah. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Kau pikir dengan meninggalkan dunia bisa menembus penderitaan Ziya? Tidak, Respati! Berhentilah berpikiran dangkal.” Daren mendekati Respati dan kemudian menepuk punggungnya. “Lakukan apa yang harus dilakukan. Jangan buat dirimu kembali menemui penyesalan.”

***

“Penyesalan dan kehancuran akan selalu menghantui orang yang penuh dendam.” Rukmini—menggunakan terusan polos warna hijau muda—tampak sedang menyiram bunga yang ia tata di taman belakang rumah. Di belakangnya ada Respati yang bersimpuh lebih dari setengah jam lamanya. “Bukankah kau bilang siap menemui kehancuran dan tidak akan pernah merasa menyesal? Lantas kenapa kau tiba-tiba datang ke sini dan memohon pengampunan? Apakah kau sedang berusaha menjilat ludah sendiri?”

Sisi keibuan Rukmini terguncang kala Hanum dengan terisak menceritakan semua kebenaran perihal Ratna. Tentu saja ia turut terluka. Merasakan nyeri menjalar di sekujur raga. Jika bisa, ia akan menjadi orang pertama yang menghabisi Rangga karena telah berani mempermainkan hubungan sesakral pernikahan.

Bukan hanya peduli pada sang putri, diam-diam dalam hati kecilnya pun turut memikirkan nasib anak pertamanya. Namun, ia tetap tidak bisa merentangkan kedua tangan dan menyambut Respati seperti dulu lagi. Hubungan mereka telah putus sejak dendam berkuasa.

“Bu, maafkan aku.” Ketulusan tergambar dari nada bicara. Respati menundukkan kepala serendah-rendahnya. “Aku salah.”

Perlu waktu seminggu lamanya untuk ia meyakinkan diri menemui Rukmini. Ada banyak kata yang dipersiapkan. Akan tetapi semua lenyap dalam pertemuan. Lidah terlalu kelu mengungkap penyesalan. Raga terlampau rapuh menerima kenyataan. Yang bisa disajikan hanyalah tangis sederas hujan akhir tahun.

“Kau salah?” Rukmini berhenti menyiram bunga dan meletakkan gembor ke meja. Senyum pedar mekar; membawa sejejak kepedihan. “Dia juga mengatakan itu sebelum menutup mata untuk selamanya. Dia salah karena hidup penuh dendam dan merelakan kita terombang-ambing dalam duka.” Bahkan jika ia setegar batu karang, kuatnya debur ombak tetap dapat mengikis ketabahan. Diam-diam luka menganak sungai di wajah. Rukmini mengerjap-ngerjapkan mata. “Setiap hari aku berdoa, agar kalian tidak pernah mengikut jejaknya. Aku berusaha sekeras tenaga, tapi takdir tetap saja menuntun salah satu dari kalian menuju lembah tergelap dari sebuah kisah. Dan, akhirnya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan, sosok yang aku besarkan dengan penuh cinta berubah menjadi manusia gila yang hanya peduli pada lukanya. Manusia yang sibuk membangun dalih untuk membenarkan siksa. Sementara kebenaran yang sesungguhnya kian tak terjamah.”

“Bu!” Respati memegang kaki Rukmini, erat. “Aku hancur.”

“Dan, kau menyesalinya.”

“Bu.” Suara Respati kian lirih, seiring dengan kepala yang perlahan merosot menuju punggung kaki Rukmini. Menciumnya berulang kali, Respati mengatakan, “Ampuni aku, Bu.”

Rukmini mengepalkan tangan selagi mendongakkan kepala. Mengembuskan napas panjang, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal perasaan. Sesak dan menyakitkan. “Harusnya aku tidak memberimu maaf. Namun, sebagai orang yang melahirkanmu, bisakah aku menutup mata saat kau berada di titik terendah?” Meneguk saliva, Rukmini perlahan melepas kepalan tangan. Berhenti mendongakkan kepala, ia kemudian menatap pria yang tengah memeluk kakinya dengan penuh iba. “Respati.”

Hening. Respati membulatkan mata sewaktu panggilan itu kembali terucap di bibir Rukmini, ditambah dengan sentuhan hangat yang mendarat di kepalanya. “Ibu?”

Rukmini mengangguk. Berjongkok, ia lantas memeluk Respati.

***

Ziya—memakai baju khas rumah sakit warna biru muda dipadupadankan sweter cokelat—duduk di tepi jendela. Ia memandang ke arah luar, di mana beberapa pasien dan suster sibuk berlalu lalang di jalan setapak yang bersebelahan dengan taman rumah sakit. Menempelkan jari telunjuknya ke kaca jendela, wanita pembenci pelangi itu tampak sedang menulis sesuatu. Namun, gerakannya terhenti kala terdengar suara pintu terbuka. Diam. Ia sama sekali tak berhasrat menoleh.

 “Apa kabar?” Hanum mendekati Ziya. Ia membawa keranjang buah berukuran sedang dan menempatkannya di atas nakas.

“Perlukah bunga yang tercabut dari tanah menjelaskan bahwa ia sekarat?” Berbicara tanpa memandang muka, jari Ziya kembali bergerak di kaca jendela membentuk sebuah bunga.

Hanum menghela napas. “Bertahanlah, bahkan jika kau tidak menginginkannya. Anak itu berhak dilahirkan ke dunia. Bukankah kau yang dulu yang berusaha mempertahankannya sekuat tenaga. Lantas kenapa sekarang justru kau yang berusaha mengakhirinya?”

“Setiap bunga berhak untuk tumbuh dan mekar. Namun, jika bunga-bunga itu tahu akan berakhir diinjak dan sekarat dalam luka. Menurut Kakak akankah mereka mau menggunakan haknya?”

“Tidak semua bunga berakhir sekarat dalam luka. Hanya karena kisahmu penuh nestapa, bukan berarti anakmu akan mengikuti jejak yang sama.” Hanum menyentuh pundak Ziya. Kemudian ia berjongkok sembari mengenggam tangan adik iparnya. “Berikan dia kesempatan melihat dunia. Meski aku tidak bisa menghalangi air mata mewarnai hidupnya. Tapi, aku bisa berjanji akan melakukan segala cara untuk memastikan dia hidup dengan bahagia.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang