[5] Serangan Panik

4.2K 301 0
                                    

“Mama, aku pulang.” Seorang gadis kecil memakai seragam putih biru memegang selembar kertas putih dengan angka seratus yang ditulis menggunakan pulpen merah. Memasuki rumah, ia tak mendapati seorang pun di sana. Baik itu Nirmala atau orang yang biasa membantu menjahit di rumahnya. “Ma?” Memeriksa ruang tengah dan kamar, ia mengerutkan dahi. “Apa Mama pergi ke pasar?”

Meletakkan tas ke lemari dan mengganti pakaian, ia tidak sabar menanti Nirmala melihat hasil ulangannya. Membayangkan ekspresi bangga mamanya saja sudah membangkitkan euforia. Belum lagi sepeda yang menanti di depan mata, sebagai hadiah atas nilai sempurna. Ziya tak kuasa menahan lengkung tipis merah jambu mekar di wajah.

“Lapar.” Ziya memegang perutnya sebentar, beberapa detik kemudian ia berjalan menuju kulkas. Namun, baru saja menginjakkan kaki di lantai dapur, ia dibuat kehilangan tenaga menyaksikan tubuh sang mama tergeletak tak berdaya di dekat meja makan. “Mama!”

Mengguncang tubuh wanita berusia tiga puluh empat tahun itu dengan sekuat tenaga, Ziya tak mendapatkan hasil apa-apa. Nirmala tetap memejamkan mata. “Mama ini Ziya, Ma. Mama buka mata.” Tangannya bergetar kala menyentuh pipi seputih dan sesejuk salju itu. “Mama, jangan tidur di sini. Ayo, bangun, Ma.”

***

“Mama!”

Untuk ke sekian kali Ziya mengigau. Respati yang berdiri di depan jendela dengan gawai menempel di telinga menoleh ke arah wanita itu sebentar. Mendesah kesal, ia akhirnya berkata, “Suruh Bibi Yoli ke rumah sakit sekarang. Aku memerlukan bantuannya.” Selepas memberikan perintah, ia menutup sambungan telepon.

“Serangan panik?” Memasukkan gawai ke saku celana, Respati menyipitkan mata. Saat diperiksa, dokter mengatakan apa yang terjadi pada Ziya merupakan gejala dari serangan panik. Kondisi ini disebabkan rasa takut atau perasaan gelisah berlebihan, hingga membuat detak jantung meningkat. “Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sampai saat aku memaksanya memakan ... ikan?”

Respati menemukan kata kunci dari kebingungan. Ia mendekati Ziya. “Aku ingin tahu, rahasia seperti apa yang membuatmu ketakutan setengah mati. Barangkali itu bisa menjadi amunisi untuk menyakitimu.” Menatap dalam wajah pualam dengan satu tahi lalat kecil di bawah mata kanan itu, Respati merasa familier. Perasaan hangat dan nyaman menjalar di rongga dada tanpa alasan. Berdecak sebal, pria itu membuang muka. “Apa yang aku pikirkan? Tentu saja aku merasa familier. Dia adalah pembunuh Ratna. Orang yang paling bertanggung jawab atas kekacauan di keluarga Jayaprana.”

**

“Satu sendok lagi, Nona.” Bibi Yoli menyuap sesendok bubur dengan telur rebus ke mulut Ziya. Ia tersenyum sewaktu wanita itu mengangakan mulut dan menelannya tanpa penolakan. “Enak?” Menyeka sudut bibir Ziya menggunakan sapu tangan, Bibi Yoli tampak sangat senang bisa merawat istri dari majikannya.

“Em.”

“Apa Nona sudah merasa baikan?” Mengambil gelas di atas nakas, Bibi Yoli kemudian memberikannya pada Ziya. “Saya sangat takut saat melihat Nona digendong tuan dalam keadaan pingsan. Saya pikir tuan kembali melakukan kekerasan pada Nona.”

Wanita berpiama putih kotak-kotak itu meneguk setengah gelas air putih dengan perlahan. Sementara Bibi Yoli mengambil buah dan mengupasnya menjadi beberapa bagian. “Kapan aku bisa pulang?” Sebelum kepala pelayan memberikan jawaban, ia berkata, “Aku ingin pulang sekarang. Berada di rumah sakit membuatku sesak. Tempat ini hanya membuat ingatan buruk menghantuiku.”

Bibi Yoli bergeming. Pikirannya dihantui penasaran, tetapi tak berani menyampaikan pertanyaan. Namun, cepat-cepat ia mengendalikan diri. Memberikan sepotong apel yang sudah dikupas, ia menganggukkan kepala. “Baik, saya akan menanyakan ini pada dokter.”

Ziya mengerling. “Apa Respati yang membawaku ke sini?”

“Ya, Nona.”

Memain-mainkan kukunya, ia menarik napas panjang. Melihat itu Bibi Yoli mengerutkan dahi. “Ada apa, Nona?”

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya bertanya saja.”

 
***

 
Jarak dari rumah sakit ke kediaman Jayaprana sekitar tujuh kilometer. Jika kondisi jalan ramai, maka perjalanan akan memakan waktu lima belas menit. Namun, saat ini jalanan terlihat sangat lengang. Hanya ada beberapa pengendara roda dua yang melintas.

Menyandarkan kepala ke jendela mobil, Ziya menghitung setiap pohon bintaro—tanaman yang memiliki buah seperti mangga dengan daun berbentuk bulat telur warna hijau tua—di sepanjang tepi jalan. Ia ingat, Nirmala sering melakukan itu ketika melakukan perjalanan dan dilanda bosan. Dan, Ziya pun mengikutinya. Ajaibnya, perjalanan jauh terasa sebentar. Seolah-olah mereka baru saja menduduki mobil dan tiba-tiba sudah sampai di tempat tujuan.

Ziya rindu Mama. Kenangan demi kenangan tak kunjung beranjak dari pikiran. Berkelindan mesra bersama gamang. Memaksa hati kembali berkubang pada masa silam yang penuh akan kepedihan. Ma, Ziya lelah. Ziya muak dengan semua permainan takdir. Kenapa Mama meninggalkan Ziya sendiri di sini? Ziya kesepian. Ziya tidak tahu harus berbagi tangis dan tawa pada siapa. Semua orang menutup mata. Menganggap Ziya hanyalah parasit yang harus singkirkan secepatnya.

Wanita dengan pakaian serba hitam itu menggigit bawah bibirnya. Menahan duka yang berdesak-desakan di pelupuk netra. Sesakit apa pun perasaannya, ia hanya diberi pilihan untuk tabah. Tak diizinkan membantah, juga tak diperbolehkan menempuh sadrah. Hidup dalam raga yang setengah tiada.

“Menurutmu, apa itu bahagia?” Bertanya tanpa memandang muka, Ziya menulis kata bahagia di kaca jendela mobil menggunakan jari telunjuknya.

Bibi Yoli yang duduk di samping kursi kemudi menoleh ke arah belakang. “Bahagia?” Mengernyitkan dahi hingga membentuk beberapa lapisan, ia mencoba mencari jawaban yang tepat. “Bahagia adalah ketika kita merasa aman, tanpa beban. Merasakan kebebasan, tidak terkekang oleh aturan. Hidup bersama orang yang dicintai dan menghabiskan waktu bersamanya hingga menutup mata. Itu adalah bahagia versi saya.”

“Kau pernah merasakan bahagia?”

“Tentu saja.” Senyum mekar di wajah wanita paruh baya itu. “Saya bahagia bisa menemukan dan menikahi pria seperti suami saya. Saya merasa aman, nyaman, tanpa beban saat bersamanya.”

“Aku juga pernah.” Sudut mata Ziya memerah sewaktu mengatakan itu. “Mama melakukan apa pun untukku. Memastikan aku merasa aman, nyaman, dan tanpa beban. Tapi ....” Ziya menghela napas selagi mengusap luka yang telanjur meluah. Tapi, itu dulu. Dan, sekarang semua sudah berakhir.

Bibi Yoli menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya. Sekarang Ziya menjadi tawanan sang tuan. Istri yang dinikahi karena dendam. Tentu saja bahagia tidak akan pernah hadir di antara mereka. Membayangkan bagaimana perlakuan Respati selama sebulan ke belakang, membuat ia tak henti menaruh iba.

“Kau adalah kepala pelayan di kediaman Jayaprana. Tentu saja kau mengenal baik mendiang Ratna. Harusnya, kau bersikap seperti Respati. Membenciku setengah mati.” Ziya meletakkan kedua tangannya di atas paha. “Kenapa sejak aku menginjakkan kaki di rumah itu hingga sekarang, kau tidak pernah menyatakan kebencian ataupun kemarahan?”

Hening. Pertanyaan Ziya sukses membuat canggung suasana. Bibi Yoli menatap ke arah depan. “Karena saya tahu siapa yang seharusnya dibenci dan menerima kemarahan. Dan, itu bukan Nona.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang