Seorang pelayan wanita berusia sekitar dua puluh tahun menggunakan seragam ungu tua dipadukan rok hitam selutut dan stoking warna senada mendorong troli makanan dengan penuh kehati-hatian. Melewati beberapa lorong dan ruangan, ia akhirnya sampai pada tempat tujuan. Itu adalah sebuah kamar yang dijaga dua orang pengawal berbadan kekar.
Tanpa bicara, cukup lewat gerakan mata, kedua pengawal itu membukakan pintu dan mempersilakannya masuk. Ia sedikit menundukkan kepala dan berkata, “Terima kasih.”
Begitu menginjakkan kaki ke ruangan segera ia mendapati tatapan tajam dari wanita yang kini duduk di sofa panjang depan ranjang. “Permisi, Nona.” Tersenyum kecil, ia berhenti di depan meja dan mulai menata makanan.
Menatap dalam pelayan yang kini menyajikan makanan, Ziya sedikit menyipitkan mata. “Apa yang kalian inginkan?”
Ziya ingat betul ketika itu ia bersama Ila sedang menemani Ashwa bermain di samping rumah. Namun, entah bagaimana caranya tiba-tiba sekelompok orang berpakaian serba hitam datang dan membekap mulut mereka hingga pingsan. Saat terjaga, mereka telah berada di ruang asing dalam posisi kaki dan tangan terikat.
“Jika Nona tidak cocok dengan makanan ini, Nona bisa memberitahukannya pada saya. Kelak saya akan menyuruh koki menyiapkan makanan sesuai kesukaan Nona.” Menuang jus jeruk dari teko ke gelas kaca, pelayan tersebut lalu menyerahkannya pada Ziya.
Alih-alih mengambilnya, Ziya termakan amarah karena tak mendapatkan jawaban atas tanya. Menepis gelas tersebut hingga jatuh dan berakhir pecah, ia dengan dingin bertanya, “Apa yang kalian inginkan? Di mana Ashwa dan Ila? Ke mana kalian membawa mereka?”
Beberapa jam lalu Ashwa dan Ila dibawa menuju ruangan berbeda, sementara Ziya dibiarkan sendirian. Semua ikatan dilepaskan. Pelayan datang membawa berbagai macam buku dan makanan. Meski berada di bawah pengawasan para pengawal, ia bebas bergerak leluasa; tidak mirip korban penculikan yang dilarang melakukan sedikit pun pergerakan.
“Nona, tenanglah.” Cemas tergambar lewat nada bicara. Pelayan itu berniat membersihkan serpihan kaca, tetapi belum sempat melakukannya Ziya kembali melempar piring dan barang-barang lain di meja. “Nona!”
“Katakan di mana Ashwa dan Ila! Jika kalian berani menyentuh atau bahkan melukai mereka, aku akan ....”
Perkataan Ziya menggantung kala pintu berdecit pelan, sosok tinggi kurus menggunakan kemeja oren muncul dan menyela percakapan. “Mereka baik-baik saja. Tidak akan ada yang berani menyentuh apalagi melukai mereka.”
“Daren? Bagaimana bisa kau ada di sini?” Kedua netra Ziya mendelik seketika. Tanpa basa-basi kebingungan menyapa kepala. “Jangan bilang kau yang berada di balik semua penculikan ini?” Curiga mulai menakhtai dada. Ziya perlahan mundur selangkah demi selangkah menjauhi pria di depannya.
“Hati-hati!” Daren menarik tangan Ziya, sebelum ia melangkah lebih jauh dan mengenai serpihan kaca. Menoleh ke arah pelayan yang diam saja, ia mengembuskan napas kesal. “Apa aku mempekerjakanmu hanya untuk menguping pembicaraan?”
“Maaf, Tuan.” Membungkukkan badan, wanita itu lantas bergerak cepat membersihkan kekacauan yang Ziya ciptakan. Dalam lima menit semua serpihan kaca berhasil dikumpulkan. Setelah selesai, ia menyingkir sebelum teguran kembali dilayangkan.
Risih, Ziya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Daren. Hasilnya percuma. Daren semakin mengeratkan, bahkan membawa Ziya semakin dekat dengannya. “Percayalah, aku tidak akan menyakitimu, Ashwa, ataupun Ila. Aku menggunakan kalian hanya untuk memancing Respati ke sini.”
“Kau benar-benar orang di balik penculikan ini.” Tanpa perlu penjelasan, kata-kata Daren barusan telah memberi sebuah kesimpulan. Ziya semakin tenggelam dalam gamang. Jika itu adalah orang lain mungkin ia tidak akan terngaga. Yudistira dan Respati memiliki musuh yang mungkin saja mengambil cara ekstrem untuk melumpuhkan kekuatan mereka. Namun, Daren adalah sahabat Respati, sosok yang bisa dikatakan paling sang suami percaya. Apa yang saat ini ia lakukan sungguh di luar duga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romansa[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...