Seorang remaja laki-laki—memakai sweter hitam dipadukan jin biru tua—menyipitkan mata sewaktu melihat gadis dengan tunik merah muda motif floral berdiri di tepi jembatan. Seulas senyum terkembang. Sejenak ia tenggelam dalam kekaguman, menyaksikan betapa indah dan memukaunya makhluk ciptaan Tuhan. Namun, perlahan senyum itu memudar dan berganti kecemasan kala menyadari gadis tersebut tidak sedang menikmati pemandangan alam, melainkan bersiap menjatuhkan diri ke dalam dinginnya air sungai.
Melepas earphone yang sejak tadi menempel mesra di telinga, segera ia berlari menghampiri gadis itu dan menarik tangannya. “Apa yang kau lakukan?” Ketakutan tergambar dalam tanya. Dengan napas terengah-engah ia lanjut bicara, “Jika kau punya masalah, bicaralah. Jangan lakukan hal-hal gegabah.”
Menyadari seseorang telah mencengkeram pergelangan tangannya dengan sangat erat, ia menoleh untuk mengetahui siapa yang melakukan itu. Ketika netra bertemu netra, keterkejutan lahir di sana. Respati?
“Kau masih sangat muda dan sudah memikirkan kematian,” gumamnya. Sementara gadis itu tenggelam dalam lamunan, ia dengan cepat menyeretnya menjauhi tepi jembatan.
“Siapa yang memikirkan kematian?” Berhenti, ia menepis tangan laki-laki itu dengan kesal.
“Bukankah kau ingin bunuh diri?”
Mengernyitkan dahi, gadis itu lalu menggelengkan kepala. “Siapa yang bilang aku ingin bunuh diri?” Mengembuskan napas panjang, ia mengulurkan tangan kiri yang terkepal dan membukanya perlahan-lahan. Ada potongan kaca yang telah menyatu dengan darah. “Kau salah paham. Aku hanya ingin melempar ini ke sungai.”
“Kau terluka?”
“Tidak apa-apa.” Si gadis berniat menarik kembali tangannya, tetapi terlambat karena laki-laki bersurai cokelat itu dengan cepat menghentikannya.
Melirik ke bawah, ia berdeham pelan. “Duduklah di sana. Aku akan mengobati lukamu.” Memandang gadis itu sebentar, lantas mengambil kotak kecil berisi obat-obatan di tasnya. “Buang dulu kaca itu.” Memberi kode lewat gerakan mata, agar ia bisa membersihkan luka dengan leluasa.
Tidak membantah, segera gadis itu melaksanakan perintah. Membuang kaca dan duduk manis tanpa bicara. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Satu fokus bergelut dengan kekacauan perasaan, sedangkan yang lain sibuk melakukan pengobatan.
“Namaku Respati.” Ia berbicara tanpa memandang muka, saat mengoleskan obat merah pada luka. “Namamu siapa?”
Diam. Kebingungan datang tanpa peringatan. Menundukkan kepala, ia menggigit bawah bibir sebelum akhirnya menjawab, “Kau bisa memanggilku Ansa.”
***
Cairan jernih tak berwarna meluncur bebas dari kedua sudut netra yang tertutup rapat; membasahi wajah dengan aroma galabah. Ziya meremas erat seprai yang membungkus tubuh ringkihnya. Perasaan hampa menjalar sewaktu ia terjaga. Mimpi yang sama untuk ke sekian kalinya. Tentang pertemuan pertama mereka yang berujung pada serangkaian luka.
Kedua netra Ziya terbuka. Memandang langit-langit kamar sebentar, kemudian beralih pada perutnya yang rata. Dua minggu setelah operasi dilakukan, ia masih tidak bisa keluar rumah sakit dengan alasan tubuh terlalu lemah. Ia sendiri lupa, berapa kali kegelapan menyelimuti raga, sesak mendera raga, diikuti bayangan kematian yang seakan-akan bersiap menyambutnya. Namun, entah mengapa Sang Pencipta lagi dan lagi membiarkan ia masih menjadi bagian dari semesta; menjaga atma masih pada tuannya.
Pintu berdecit pelan. “Ziya.” Suara tersebut terdengar akrab di telinga. Tanpa banyak berpikir, ia sudah bisa menerka siapa orangnya. Alih-alih memberikan jawaban atas panggilan, wanita dengan terusan merah muda khas rumah sakit itu segera membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...