“Aku tahu apa yang kau butuhkan.” Ziya bangkit dari sofa sewaktu Respati masuk ke rumah dengan wajah kusut masai. “Bibi Yoli memberitahu segalanya tentang penyakit Ashwa. Dan, aku berniat membantumu.”
“Apa yang kau bicarakan?” Lesu, Respati tak terlihat seperti biasanya. Binar asa seolah redup di kedua netra. Persoalan Ashwa menyisipkan selaksa perih di jiwa. Takut takdir tengah bersiap merebut orang yang ia cinta untuk kedua kalinya. “Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Jika kau ingin membicarakan omong kosong saja. Lebih baik kau pergi ke kamar sebelum aku kehilangan kesabaran dan melampiaskan amarah padamu.”
Tanpa memandang muka, Respati berjalan lurus menuju kamar utama. Ziya tiba-tiba bertanya, “Ashwa membutuhkan donor hati, bukan?”
“Bukan urusanmu.” Berhenti sebentar, Respati memasukkan tangan kanan ke saku celana. Sementara tangan lain mengusap pelan dagunya. “Pergilah ke kamarmu.”
“Aku bersedia diperiksa. Jika hatiku cocok dengan Ashwa, aku akan mendonorkannya.” Dengan penuh keyakinan wanita bersurai panjang dan dibiarkan tergerai itu menyatakan kesiapsediaannya. “Izinkan aku menolong Ashwa. Kumohon.”
Respati terkekeh getir. “Kau?” Berbalik dan memandang Ziya, ia menyipitkan mata. “Bagaimana pembunuh sepertimu bisa menolong manusia? Jangan-jangan kau bersiasat untuk melenyapkan Ashwa, sama seperti kau melenyapkan Ratna. Kau pikir aku begitu bodoh hingga mau diperdaya oleh iblis keluarga Grekala?”
“Terserah kau mau bilang apa. Aku akan tetap pada tekad yang sama.” Ziya menatap tajam Respati. Tak membiarkan dirinya terintimidasi. “Lagi pula, sekalipun dinikahi karena dendam, aku tetaplah istrimu yang sah. Itu artinya, Ashwa adalah anakku. Aku punya hak untuk menolongnya.”
“Beraninya kau menyebut dirimu adalah ibu Ashwa.” Terbakar amarah, Respati mendekati Ziya dan mencekiknya. “Selamanya Ashwa hanya memiliki satu ibu saja. Ratna. Aku tidak akan pernah sudi pembunuh sepertimu menjadi ibu dari anakku.”
Ziya mulai kesulitan bernapas. Ia mencoba menjauhkan tangan Respati dari lehernya. Beruntung pria itu mau melepaskannya. “Dendam ini urusan kita berdua. Mengapa kau menyeret Ashwa ke dalamnya? Kau mungkin membenciku, tapi anakmu saat ini dalam keadaan antara hidup dan mati. Jangan egois, Respati. Ashwa memerlukan donor hati secepatnya. Bukankah kita sama-sama telah dewasa? Demi keselamatan Ashwa, mengapa sulit sekali untukmu menepikan kebencian untuk sementara. Atau, jika kau mau, anggap saja ini salah satu bentuk penebusan hutang atas kematian Ratna.”
“Kau pikir itu akan cukup untuk membayar dosamu atas kematian Ratna?”
“Aku bilang salah satu! Aku tidak bilang hutang darah ini lunas begitu saja.” Ziya memberi penekanan di setiap kata-katanya. “Respati, apa kau rela mengorbankan Ashwa hanya karena dendam di antara kita?”
“Diam!” Jari telunjuk Respati berada tepat di antara kedua mata Ziya. “Aku bukan pembunuh sepertimu. Dan, aku tidak akan pernah menjadikan Ashwa tumbal atas dendam di antara kita.”
Ziya menganggukkan kepala. “Baguslah. Kau cukup dewasa untuk mengetahui mana yang harus ditepikan untuk sementara, dan mana yang harus jadi prioritas utama.”
***
Berdasarkan hasil pemeriksaan—mulai dari cek golongan darah, fungsi hati, ginjal, organ-organ penting lainnya, kemudian dilanjutkam CT Scan, MRI hingga biopsi—hati Ziya dinyatakan cocok dengan Ashwa. Wanita itu tersenyum lega. Berdiri di depan dinding kaca yang membatasi antara bagian dalam dan luar ruangan perawatan, ia menutup mata dengan bibir merapal doa. Terselip ribuan asa agar gadis kecil itu bisa segera membuka mata; melihat dunia tanpa dibayangi sakit yang menyiksa.
“Maukah Tuhan menerima doa dari seorang pendosa?” Respati menyindir Ziya.
Menyentuh kaca seolah-olah tengah membelai wajah Ashwa, Ziya mengerjap-ngerjapkan matanya yang memerah. “Kenapa tidak?” Mengembuskan napas pelan, ia berusaha membuang semua sesal dan amarah yang bersarang di dada. “Bukankah Tuhan itu maha pengampun? Ketika seorang pendosa bertobat dengan sepenuh jiwa dan menaikkan doa, dapatkah Ia menutup mata dan telinga?”
Respati tak berani menyanggah. Ia berdeham kecil sewaktu menatap Ziya. “Aku keluar dulu. Beberapa jam lagi Bibi Yoli akan datang membawa keperluanmu. Bersiaplah.”
“Em.”
***
“Apa yang kau lakukan di sini?” Daren—teman kuliah sekaligus orang yang berkontribusi besar dalam kisah cinta Respati bersama Ratna—bertanya dengan wajah bingung. Duduk di depan Respati, ia mengerutkan dahi. “Kau butuh gigolo lagi?”
Respati mengambil segelas sparkling pomegranate coktail—minuman yang terbuat dari campiran vodka dan jus delima dengan hiasan buah jeruk di atasnya—dan menyesapnya. Mengembuskan napas panjang, ia mendongakkan kepala. Bingung harus memulai cerita dari mana. “Wanita itu mendonorkan hatinya untuk Ashwa.”
“Siapa?” Daren menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri dengan salah satu tangan bersandar mesra di paha, sementara tangan yang lain memegang sebatang rokok keluaran perusahaan ternama. Semula ia tampak biasa saja. Sebelumnya akhirnya menyadari wanita mana yang disebut Respati. “Ziya Grekala?”
“Aku bingung harus berbuat apa. Bagaimana bisa aku menerima hati seorang pembunuh untuk Ashwa? Namun, jika tidak kuiakan, Ashwa bisa saja tidak bisa diselamatkan.” Mengusap wajahnya frustrasi, gamang terasa menembus hati.
Rokok Daren tersisa satu pertiga. Ia dengan cepat menyesapnya, lantas membuang itu ke asbak di dekat gelas kaca. “Kau bingung bukan karena statusnya sebagai pembunuh Ratna. Kau bingung karena takut berhutang padanya, bukan?” Senyum ambigu mekar di wajah pria kelahiran Swedia tersebut. “Dia berhutang darah padamu atas kematian Ratna, dan kau berhutang budi padanya karena menolong Ashwa. Sungguh skenario yang menarik. Betapa takdir kalian terjalin dengan rumit.”
“Hutang budi?” Respati membuang muka. “Bahkan jika dia memberikan seluruh organ tubuhnya pada Ashwa, itu tidak akan pernah cukup membayar kematian Ratna.”
“Oh, ya?” Keraguan terpancar dari kedua netra. Daren sedikit bergeser ke kiri, lantas menjentikkan jari. Tak lama kemudian seorang wanita berpakaian seksi dengan segelas vodka di tangan datang. Duduk di dekat Daren, wanita itu langsung menempel manja. “Kalau begitu jangan bingung. Anggap saja hati yang Ziya berikan adalah harga untuk kesalahannya.”
Memandang Daren dan wanita penggoda yang menenggelamkan diri dalam pelukan sahabatnya, Respati berdesis pelan. Mengambil sebatang rokok, ia menyelipkannya di antara kedua bibir, lalu menyalakan korek api. Menyesap dalam-dalam, lantas diembuskan dengan penuh penghayatan. Ia menikmati bagaimana asap putih mengepul sebelum menyebar di seluruh ruangan.
“Kau masih mencari Ansa?”
“Ansa?” Diam, fokus Respati beralih pada cincin di jari jempolnya. “Aku hampir menyerah mencarinya. Dia seolah hilang ditelan dunia.” Senyum getir itu berubah sendu.
Jauh sebelum mengenal Ratna, ia telah memiliki seorang belahan jiwa. Ansa, wanita pertama yang membuatnya merasakan debar hangat menjalar di dada, hingga terukir sumpah sehidup semati bersama. Bahkan setelah menikah dengan Ratna, sosok itu tetap setia mengendap di kepala. “Selama beberapa tahun ini aku selalu bertanya-tanya, masihkah Ansa memijak tanah yang sama denganku? Atau, mungkinkah dia benar-benar telah lenyap dari semesta.”
“Kau tahu?” Daren merangkul wanita di sampingnya, lalu menatap Respati. “Aku selalu berpikir bagaimana bisa kau menikahi Ratna, tapi hidup di bawah bayang-bayang Ansa.”
Daren ingat betul apa yang dikatakan Respati saat memutuskan untuk menikah. “Aku melihat sosok Ansa dalam diri Ratna.” Hal tersebut seakan memperjelas segalanya. Bahwa sejak awal, Respati hanya memandang Ratna karena memiliki kesamaan dengan Ansa.
“Apa kau benar-benar mencintai Ratna?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...