“Ansa, aku tidak pernah menduga, suami dari wanita yang kutabrak adalah Respati. Ketika pertama kali berjumpa, aku langsung bisa mengenalinya. Cara dia memandang, marah, dan bicara tidak pernah berubah. Namun, dia tidak mengenaliku. Tidak masalah, karena sejak awal aku memang tidak pernah berharap akan dikenali oleh Respati.” Ziya menaburkan kelopak bunga di atas makam sang sahabat. Setelah selesai, ia diam sejenak dan mengambil napas panjang. “Aku pikir, Tuhan sengaja mengatur ini agar aku bisa memenuhi janji untuk menjaga Respati. Tidak peduli sekejam apa pun dia, aku menerimanya. Aku harus tetap di sampingnya. Memastikan Respatimu baik-baik saja. Aku ingin terus melakukan itu, Ansa. Tapi, kisah ini kian merumit. Aku mulai tidak bisa menoleransinya. Dan, pada akhirnya aku menyerah. Aku mengingkari janji untuk menjaganya. Maaf, aku memilih meninggalkannya.”
Takdir terus menyudutkan Ziya pada sebuah pilihan berlafalkan keegoisan. Ia tidak pernah membantah kala siksa menyiksa raga. Membiarkan Respati melampiaskan dendam sebebas-bebasnya. Namun, kali ini ia terjebak pada situasi berbeda. Respati bukan hanya akan menyakiti dirinya, tetapi juga melibatkan buah cinta mereka yang bahkan belum terlahir ke dunia. Perasaan tidak rela hadir di dada. Bagaimanapun, anak itu tidak bersalah. Mengapa ia harus turut menanggung dosa Ziya?
“Untuk melindungi anak ini, aku harus menjauhi Respati.” Ziya menundukkan kepala. Diam-diam cairan bening meluncur bebas dari pelupuk netra melewati wajah pualam tanpa riasan menuju tanah yang penuh dengan bunga. “Kau akan memaafkanku, bukan? Jika kau tidak mau memaafkanku, tidak masalah. Kau layak untuk marah. Kau bisa memakiku dari atas sana. Aku akan menerimanya. Namun, jangan marah dan memaki anakku, ya? Dia tidak tahu janji, perseteruan, dan cerita yang membelit kita dalam lingkaran luka. Tidak seharusnya kita melibatkan dia. Kau mau mengerti itu, bukan?”
“Jika Ansa masih hidup, aku yakin dia akan menyuruhmu pergi sejauh mungkin dari Respati.” Leo yang sejak tadi berdiri dua langkah di belakang Ziya memilih mendekat dan kemudian berjongkok di samping mantan kekasihnya. Lantas merangkul lembut bahu si wanita. “Respati sudah gila, Ziya. Apa yang dia lakukan padamu tidak bisa diberi permakluman. Bahkan binatang tahu ia harus melindungi anaknya. Namun, dia—seorang manusia berakal—dengan sadar justru berniat untuk menggugurkannya. Terlepas dari dendam dan kebencian, tidak seharusnya dia berpikiran dangkal.”
Ziya menatap pria di sampingnya, dalam. Ada kekaguman yang menyala di sana. Leo menjadi satu-satunya orang yang menjadi sandaran ternyaman untuk ia berbagi rahasia. Tidak ada yang disembunyikan, baik masa lalu yang kelam, maupun cerita di balik Respati, Ansa, dan Ziya.
Kenapa aku tidak bisa mencintaimu sebesar aku mencintai dia? Kenapa delapan tahun yang kita habiskan bersama tidak bisa mengandaskan rasa dari pertemuan singkat antara aku dan dia? Kenapa cinta selalu memilih orang yang salah?
Menyadari dirinya tengah ditatap Ziya, Leo berdeham kecil dan bertanya, “Ada apa?”
“Terima kasih karena telah menjadi pria terhebat untukku. Maaf, lagi dan lagi aku gagal membalasnya.”
“Ziya, cinta tidak pernah menantikan balasan.” Mengulum senyum, Leo mengusap puncak kepala Ziya. “Dalam cinta, manusia hanya mengenal yang namanya ketulusan.”
***
Respati serapat mungkin menyembunyikan kabar hilangnya Ziya. Mengingat statusnya sebagai putri sulung Yudistira Grekala, tentu akan mengundang kekisruhan di ibu kota. Ia juga khawatir keterlibatan orang tua Ziya dalam pencarian akan membatasinya bertindak leluasa saat sudah menemukan si wanita. Mengandalkan anak buahnya, Respati dengan segera mendapatkan informasi bahwa ada yang melihat istrinya ditabrak mobil dan dilarikan ke rumah sakit. Namun, saat tiba di sana, pihak rumah sakit mengonfirmasi korban tersebut bukanlah Ziya, melainkan wanita dengan nama yang sama.
Semua rekaman CCTV yang bisa memberikan titik terang keberadaan Ziya mendadak rusak, bahkan beberapa hilang secara misterius. Respati dibuat naik pitam, menyadari pasti ada seseorang di belakang Ziya, hingga ia bisa bersembunyi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Beragam duga tercipta, tetapi tak benar-benar dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Sangat tidak mungkin untuk Yudistira terlibat dalam hilangnya Ziya. Mengingat pria itu masih cukup waras untuk berhadapan dengan Respati yang gila. Lantas siapa? Berpikir keras, ia kemudian menemukan satu nama dan perasaan curiga mendarat tepat padanya.
“Leo?” Respati mencengkeram gawainya, selagi memandang keluar jendela. “Mungkinkah Ziya mendapatkan pertolongan darinya?”
***
“Kau ingin makan sesuatu?”
“Em.” Ziya menganggukkan kepala. “Bubur dengan kuah kaldu ayam dan bawang goreng yang banyak. Aku dan dia sangat lapar.” Tersenyum simpul, ia mengusap perut yang masih rata.
Tak ada bantahan. Pria itu mencubit pelan hidung Ziya, lalu mengacak-acak rambutnya. “Bagaimana dengan daun bawang dan suwiran ayam? Kau ingin jumlahnya dilipat gandakan juga?”
“Tanpa daun bawang. Aku tidak menyukainya.”
“Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan menyuruh pelayan membeli bubur ayam untukmu.” Selepas bicara, pria itu memutar tumit dan meninggalkan ruangan dengan segera. Tak ingin wanitanya menunggu terlalu lama.
Menatap punggung si pria yang perlahan bergerak menjauhinya, Ziya menyipitkan mata. Tanpa sadar kedua telaga telah berkaca-kaca. Kembali mengingat ketika ia yang putus asa nekat melarikan diri dari rumah sakit, dan memilih mengakhiri hidup dengan membiarkan tubuhnya ditabrak pengendara roda empat. Ia pikir, itu adalah akhir dari segalanya. Namun, ternyata tidak. Ziya bangun di ruang serba putih dengan tubuh penuh luka serta cedera kepala yang tidak terlalu parah. Ia selamat, begitupun dengan janin di perutnya. Kejutan lain menghampiri. Orang yang menyelamatkannya adalah ....
“Leo.” Ziya menaikkan sebelah alisnya kala melihat pria itu telah sampai dan membawakan makanan yang ia pesan. “Kau benar-benar pria super. Aku baru saja meminta bubur ayam dan kau sudah tiba tidak sampai lima belas menit. Katakan, apa kau memiliki kekuatan telekinesis?” Ia mencoba berkelar untuk menghidupkan suasana.
“Tentu saja. Karena itu aku selalu tiba tepat waktu saat kau membutuhkannya.” Meletakkan nampan di atas meja, sementara ia memegang mangkuk menggunakan tangan kiri. Setelah itu, ia mendekati Ziya dan berkata, “Saatnya makan, My Queen.”
Senyum terkembang kala sapaan itu kembali digemakan. “Masihkan aku menjadi ratu di hatimu?” Secara tak terduga tanya terucap oleh lidah. Ziya menundukkan kepala. Mengenang bagaimana kelembutan itu selalu membuatnya seperti seorang ratu, meski tanpa mahkota. “Leo, aku rasa, aku tidak pantas dipanggil seperti itu olehmu. Sudah waktunya untukmu mencari ratu yang baru. Ratu yang tentu bisa membahagiakanmu sebagai seorang raja.”
Menyodorkan sesendok bubur dengan suwiran ayam, Leo berkata, “Tidak akan ada ratu baru. Hanya ada satu ratu. Kau.”
Tak berniat memperpanjang topik tersebut, Ziya dengan cepat mengalihkan pembicaraan. “Leo, bagaimana jika Respati bisa menemukanku di sini? Dia pasti akan menggunakan segala macam cara untuk melacak keberadaanku.”
“Maka, aku akan menggunakan segala macam cara untuk membuatmu tidak bisa ditemukan oleh dia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...