“Apa yang harus kulakukan?” Ziya menggenggam erat amplop putih yang dokter berikan sebagai hasil pemeriksaan kesehatan. Berjalan tertatih menyusuri lorong rumah sakit, selaksa gamang berkejaran di pikiran. Alih-alih melangkah lurus hingga ke pintu keluar, di perempatan lorong ia berbelok ke kiri. Berhenti sebentar, Ziya mengambil napas panjang dan kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. Lantas merosot perlahan-lahan hingga duduk dengan kedua tangan memeluk lutut. “Bagaimana aku bisa menghadapi ini semua?”
Ketakutan menyerang bak pasukan perang. Memporak-porandakan altar kama yang telah lama kacau. Ziya terkatung dalam bimbang. Tak bisa membuat keputusan sebab yakin semua akan berakhir memilukan.
Bernga lara menguasai segumpal merah di dada. Menggeliat jemawa seperti barua yang baru menemui rumah. Diremukkannya urat-urat tabah. Dihancurkannya sendi-sendi derana; menjadi debu yang menguap dalam gundah. Ia gerogoti renjana yang dulu berdiri gagah, tetapi saat ini bernasib rebah.
“Apa yang membuatmu bersedih hingga putus asa?” Suara itu menyapa gendang telinga dengan manisnya.
Ziya mendongakkan kepala. Sesosok wanita dengan cahaya putih keemasan membalut tubuhnya tampak tengah berjongkok di depan Ziya. Seketika tangis meluah. Mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah itu, ia tersedu pilu. Lantas dengan suara parau berkata, “Mama.”
“Iya, Sayang.”
“Mama, Ziya tidak kuat menghadapi ini semua. Bantu Ziya menghindarinya. Ma, izinkan Ziya ikut bersama Mama.”
Menggeleng-gelengkan kepala, wanita paru baya itu menangkupkan kedua tangannya di wajah Ziya. Menyeka peluput netra yang dipenuhi galabah, ia tersenyum kecil. “Dunia adalah tempat di mana luka dan duka berkelindan mesra. Sejauh apa pun kau melangkah, mereka tetap mengikuti tanpa lelah. Jadi, percuma saja menghindar. Kau harus menghadapinya.”
“Ziya selalu menghadapinya, Ma. Ziya menghadapi luka dan duka seperti seorang teman yang setia. Namun, untuk kali ini Ziya tidak bisa. Ziya tidak berdaya. Ziya tidak mampu, Ma.” Menangis tersedu-sedu, Ziya balas menggenggam erat tangan itu. Izinkan Ziya ikut bersama Mama, ya?”
“Sayang, jangan jadi Mama kedua yang tergesa-gesa putus asa, dan berakhir dalam nelangsa. Ada banyak pilihan dalam menghadapi masalah, dan ikut bersama Mama adalah pilihan terburuk yang tidak seharusnya singgah di kepala. Ziya mampu dan dan bisa melalui ini semua.”
“Ziya tidak bisa. Tolong, jangan paksa Ziya.”
“Kuatlah, Ziya. Percayalah, selalu ada pelangi untuk hati yang tabah menahan candrasa bersarung nestapa.” Setelah bicara, perlahan sosok itu mengabur, lantas pecah berkeping-keping; menyatu dalam bias cahaya.
“Tidak, Ma. Tolong, jangan tinggalkan Ziya. Mama!” Seluruh tubuh Ziya bergetar. Meraung layaknya orang gila, berharap sosok itu kembali menyapa. Meski ia tahu, semua hanyalah fatamorgana yang tercipta sebagai pengobat luka. “Mama, Ziya tidak kuat. Ziya lelah, Ma.”
***
“Aku tidak peduli dengan semua alasanmu. Kau harus menemukannya!” Selepas menyatakan perintah, Respati membuang gawainya ke sembarang arah. Diam sejenak, ia mencoba tidak terbawa amarah. Namun, berita hilangnya Ziya terus menghantui kepala. Kehilangan kendali, ia lantas menepis kasar barang-barang yang ada di meja kerja. Lembar-lembar kertas bertaburan di mana-mana, menghiasi hampir setiap sudut lantai marmer.
Sekitar pukul sebelah siang Bibi Yoli meminta Respati mengizinkan Ziya ke rumah sakit. Katanya, wanita itu mengalami mimisan dan pusing yang parah. Penolakan telah dilayangkan, tetapi Bibi Yoli terus membujuk hingga ia mau tidak mau memberi persetujuan. Dengan syarat, dokter yang dituju harus pilihan Respati. Sehingga baik dan buruknya pemeriksaan akan langsung sampai ke telinga pria berumur tiga puluh dua tahun itu.
Setelah rapat, ia menerima panggilan dari dokter yang menangani Ziya. Berita tak terduga menyapa dengan tiba-tiba. Selaksa benci, gundah, bersatu padu di dada. Untuk sejenak ia mengumpulkan kewarasan dan pada akhirnya memberikan keputusan paling masuk akal.
Namun, keputusan tersebut gagal dilakukan. Dokter mengabarkan sang istri izin ke toilet, tetapi setengah jam berlalu ia tak kunjung pulang ke ruangan. Setelah dilakukan pemeriksaan, Ziya menghilang. CCTV rumah sakit merekam wanita itu meninggalkan rumah sakit lewat jalan keluar belakang. Tentu saja lepas dari pengawasan Bibi Yoli serta supir yang bertugas mengantar.
Meninju meja kerja dengan sekuat tenaga, rahang Respati mengeras disertai tatapan penuh gusar. “Ziya, kau mencoba bermain-main denganku rupanya. Lihat saja bagaimana aku akan mengulitimu hidup-hidup. Kau tidak akan pernah bisa lari dari genggaman Respati Jayaprana. Aku bersumpah, seumur hidup akan membuatmu berkubang dalam luka. Jika tidak menangis hingga air mata berubah jadi darah, maka ini bukan balas dendam namanya.”
***
Kelabu membalur sekujur mega. Seperti canda pagi buta yang diwarnai goresan luka, petir menyahut satu sama lainnya. Membungkam ratusan onggok daging bernyawa dalam resah. Hujan jatuh dengan derasnya, membalut tubuh ringkih yang sekarat dirajam predestinasi durjana. Menikmati gigil laksana selimut beraroma samak, ia tertawa hampa. Tangis menyatu dalam rintik-rintik kecewa.
Terus berjalan tanpa tujuan, Ziya tenggelam dalam kelinglungan. Saat semua mencari tempat persinggahan, ia dengan tanpa payung melangkah tanpa ketakutan. Orang-orang memperhatikannya dengan pandangan heran. Beberapa kali gumaman prihatin dilontarkan. Tanpa perlu dijelaskan, tatapan menerawang Ziya telah memberikan jawaban, bahwa di balik kulit dan tulang terdapat segumpal daging yang tertawan dalam kesedihan.
Tuhan, jika waktu dapat diputar, satu-satunya yang ingin kuulang adalah peristiwa kematian Mama. Aku harap Mama sedikit tidak berhati dan membiarkanku yang memakannya. Dengan itu aku tidak perlu susah payah menghadapi Papa, Tante Treya, Respati, ataupun Ansa. Bagiku, mati di tangan Mama lebih menyenangkan daripada harus terus menapaki dunia dan segala problematikanya. Tapi, aku tahu itu hanyalah impian belaka. Pada kenyataannya, aku masih di sini, bergulat dengan setumpuk duka yang enggan menepi tak peduli sekeras apa pun mulut mengiba.
“Katanya, selalu ada pelangi selepas hujan. Namun, kenapa di hidupku dia tak pernah bertandang? Mengapa hanya ada badai, gigil, dan kesunyian?” Menengadahkan kepala, Ziya menutup mata; merasakan rintik demi rintik hujan menghunjam wajah. “Apakah pelangi hanyalah bualan belaka, yang diucapkan mereka pada manusia lemah dan tanpa asa? Mungkinkah itu semua hanyalah karangan untuk memuaskan hati yang telah lama tak mengecap kebahagiaan? Ataukah, pelangi memang benar-benar ada, tapi itu tercipta bukan untukku?”
Ada banyak pertanyaan, tetapi tak satu pun memiliki jawaban. Ziya menggigit bawah bibir selagi mengepalkan tangan. Tuhan, izinkan aku pergi. Pergi sejauh mungkin, hingga tak ada lagi ruang untuk aku bertemu Respati. Tuhan, sekali saja, maukah Kau mengabulkan doa dari manusia hina dan penuh dosa ini?
Berhenti menengadahkan kepala, Ziya membuka mata. Seulas senyum terkembang pedar. Kendaraan berlalu-lalang di jalan yang basah. Beberapa mengurangi kecepatan, beberapa melaju dengan kencang. Mengabaikan itu semua, Ziya melangkah pelan. Klakson saling bersahutan seolah-seolah tengah mengusir ia agar segera menepi ke bahu jalan. Namun, wanita bersurai cokelat tergerai itu tetap melangkah tanpa keraguan. Hingga sebuah mobil melaju tepat ke arahnya dan teriakan bernada ketakutan menggema di tepi-tepi jalan.
Tiada adalah obat terampuh dalam menyembuhkan luka.
Terpental ke bahu jalan, tubuh ringkih berbalut darah segar dan tetesan air hujan itu tampak sedang menanti kematian. Menahan rasa sakit menusuk tulang, ia mengerjap-ngerjapkan mata. Di sana, di seberang jalan, samar-samar dua sosok yang ia rindukan tiap detik tampak tengah melambaikan tangan ke arahnya. “Ma-ma? An-sa?” Tepat setelah dua kata itu diucapkan, semua berubah gelap dan menghilang.
Namun, entah ilusi atau nyata, ia mendengar seseorang dengan lembut berbisik, “Saatnya pulang, Ziya.”
***
Halooo, haiii😘
Maaf lama up-nya🥺
Daku lagi pulang kampung hehe ....
Efek terlalu seneng kumpul ama keluarga sampe lupa nulis😁
Hehe ... maafin, yak. Nanti bakal lebih rajin lagi nulisnya😘Karena aku selalu merindukan komen-komen kalian🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...