Epilog

9.8K 514 143
                                    

Selaksa apsara murka. Sekeping renjana suci telah ternoda angkara manusia. Kilat bertalu-talu di angkasa. Bersiap menelan tersangka dalam lara; membayar atas galabah dan darah yang tertumpah.

***

Dua orang pria dengan setelan jas hitam berjalan berdampingan melewati kerumunan manusia di bandara. Di belakang mereka ada beberapa pengawal yang siap sedia berjaga. Segera keduanya menjadi perhatian utama. Aura mendominasi membuat siapa pun yang melihat akan terpana.

“Sampai di sini saja.” Berhenti melangkah, Yudistira menatap Presna yang membantu menyeret kopernya. “Terima kasih sudah mengantar Papa.”

Menyerahkan koper tersebut kepada tuan sebenarnya, Presna dengan ragu bertanya, “Keputusan kali ini, Papa yakin tidak akan menyesal?”

Yudistira mengangguk pelan. Sorot matanya memancarkan ketenangan. “Sudah seharusnya Papa melakukan ini sejak lama.” Ada kelegaan dalam nada bicara. Mengambil koper yang diberikan Presna, ia tersenyum kecil. “Papa sudah lama hidup dalam lingkaran kegelapan. Ambisi demi ambisi Papa semakin tidak terkedalikan. Kekayaan, kekuasaan, kehormatan, untuk mendapatkan itu semua Papa menyeret kalian sebagai tumbal atas keserahakan. Pada akhirnya, lihatlah apa yang Papa dapatkan. Keluarga yang berantakan. Kehilangan satu per satu orang yang disayang. Menurutmu, apakah itu sepadan?”

Seandainya waktu dapat diulang, ia akan menepikan jauh-jauh pemikiran untuk melakukan pengkhianatan atas nama uang. Tetap bersama Nirmala dan Ziya. Menjadi satu keluarga yang utuh dan bahagia. Tidak ada bayang-bayang perpecahan, apalagi perpisahan.

Namun, semua hanyalah sekadar harapan. Sebanyak apa pun ia meratap pada Tuhan, tidak akan mengubah apa yang telah tergaris dalam buku kehidupan. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memperbaiki kesalahan dan berbalik pada jalan kebenaran.

Mundur sebagai calon wakil kepala negara, Yudistira melepas semua jabatan yang pernah dipegang dengan jemawa. Kemudian, ia memilih mengabdikan diri dengan pergi ke pedalaman dan daerah yang terkena bencana. Mengalokasikan sepertiga kekayaan untuk kemaslahatan banyak orang. Terakhir, ia juga memutuskan pisah dengan Treya.

“Papa dan mamamu tidak pernah benar-benar saling cinta. Kami sama-sama telah dibutakan oleh kemewahan dunia. Bertahun-tahun saling melukai satu sama lainnya. Kami sudah terluka parah, tapi menolak mengakuinya. Terus berpura-pura bahagia, padahal hati menderita.” Yudistira memegang pundak Presna. Mengembuskan napas panjang, ia mencoba mengendalikan gemuruh penyesalan yang berkecamuk di pikiran. “Kau sudah dewasa untuk mengerti bahwa berpisah adalah jalan terbaik untuk Papa dan mama.”

Perceraian Yudistira dan Treya memang menjadi pukulan berat bagi Presna. Akan tetapi, ia juga tahu, melanjutkan pernikahan yang tidak dilandasi ketulusan hanya akan menyiksa keduanya. Jadi, ia putuskan menerima dengan lapang dada.

Presna menepikan tangan Yudistira dari pundaknya. Sebagai gantinya, ia memberikan pelukan hangat dan penuh cinta pada sang papa. “Hati-hati di sana, Pa.” Selepas mengatakan itu ia berbalik dan meninggalkan Yudistra.

Pria paruh baya itu bergeming untuk beberapa saat. Setelah berhasil berdamai dengan keadaan, ia mengambil sesuatu dari saku celana. Tatapannya terpaku pada potret seorang wanita dengan terusan putih yang sedang menggendong anak kecil di layar gawainya. Seulas senyum terkembang. “Ziya, Nirmala, aku akan melakukan yang terbaik untuk menebus dosa-dosa di masa lalu.”

***

“Hai, lama tidak berjumpa.” Melepas kacamata, Respati kemudian berjongkok dan meletakkan buket bunga lili di atas gundakan tanah yang dipenuhi kuntum bunga berwarna merah. Sekelebat ingat kembali berputar di kepala. Tentang bagaimana ia meratap penuh luka ketika tahu belahan jiwanya telah tiada. Ketika itu, ia tidak bisa berpikir apa-apa dan hanya berharap dapat ikut tiada.

Namun, ia tidak menyangka, keajaiban bekerja. Itu bukanlah makam Ansa yang mengikat janji lima belas tahun lalu dengannya. Wanita ia cinta ternyata masih menjadi bagian dari semesta dengan nama yang berbeda. Ziya.

“Aku tidak tahu kau orang seperti apa, hingga Ziya berusaha begitu keras membuat kenangan tentangmu tertanam di benakku. Namun, aku tahu kau pasti orang yang sangat istimewa untuknya.” Respati menatap nisan bertuliskan Ansa dan mengusapnya. “Ziya bilang kau mencintaiku. Terima kasih untuk itu. Namun, maaf karena pada akhirnya yang aku cinta adalah sahabatmu. Aku harap kau tidak akan marah apalagi mengutuki Ziya dari atas sana. Dia tidak bersalah. Dia begitu setia dan tidak pernah berniat merebutku darimu. Kalau mau, kau bisa memarahiku.” Tawa hambar menggema. Respati menunduk sejenak dan kemudian menarik napas dalam-dalam. “Ansa, terima kasih. Bagaimanapun, kami tidak akan bersatu jika bukan karenamu.”

***

“Amor Fati. Kau tahu, kenapa aku memberikan nama itu untuk anak kita? Karena aku berharap dia dapat mencintai takdirnya. Suka ataupun duka. Dia akan tetap berjalan dengan teguh dan tidak berpikir untuk menyerah.” Respati mengulang kata-kata yang sama untuk ke sekian ratus kalinya. Tidak peduli apakah yang diajak bicara akan mendengarnya atau tidak.

Meskipun selamat dari kejadian tragis bunuh diri dari lantai dua, dibanding Respati, Ziya mengalami cedera yang lebih parah dan jatuh dalam koma. Kondisi tubuh yang terus melemah menjadikan asa kian terlunta. Rapal demi rapal doa mengudara. Yang tak pernah tersungkur dalam sujud pun kini rebah dan berurai air mata. Mengiba pada Sang Pencipta untuk kesempatan menebus dosa.

Sebulan bertarung antara hidup dan tiada, Ziya akhirnya terjaga. Walau begitu, satu pukulan berat kembali melanda. Hanya raganya yang pulih seperti sediakala, tetapi tidak dengan jiwanya. Ziya terisolasi dalam hampa, seperti patung bernyawa yang tidak bicara, tertawa, atau sadar terhadap keadaan sekitarnya.

Namun, Respati mengabaikan itu semua. Dengan penuh kesungguhan berkata, “Apa pun kondisinya, aku akan tetap berdiri di samping Ziya. Menjaga dia sebaik yang aku bisa.”

Memandang Ziya yang duduk diam dengan tatapan kosong, Respati mengulurkan tangan dan mengusap lembut wajahnya. “Kemarin, hari ini, atau nanti kau akan selalu menjadi wanita yang paling aku cinta.”

***

Hai, maaf up-nya terlambat. Harusnya semalam, tapi baru sempat siang ini.

Terima kasih untuk semua yang sudah mengikuti Renjana. Dari Maret hingga Juli kita telah membersamai. Berbagi suka dan duka, tangis dan tawa. Jujur, membalas komentar kalian menjadi hal yang paling menyenangkan untuk aku lakukan. Kalian bukan cuman pembaca, untukku kalian udah kayak keluarga. Lopyu sebenua❤️

Melalui cerita ini aku berharap, kita bisa kembali merenungkan tentang kebencian dan dendam yang kerap kali diberi permakluman. Tapi, tanpa sadar berkembang dan menyeret banyak manusia dalam kehancuran.

Bukan hanya dendam dan kebencian, mungkin ada banyak hal lain yang bisa dijadikan pembelajaran.

Sesuai janji, aku mau kasih hadiah untuk kalian. Yuk, tulis di kolom komentar pelajaran apa yang kalian dapatkan dari cerita Renjana. Untuk komentar terbaik akan mendapatkan hadiah novel. Nanti pemenangnya diumumin di wattpad dan ig aku🥰

Sekian dan makasihhh😘😘😘
Sampai jumpa di cerita berikutnya

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang