Satu per satu asa mengabur dalam kepala, tertelan suralaya. Cemeti galabah mendera selira; seonggok daging sekarat dalam air mata. Tak ada lagi yang dapat terjamah. Angan telah musnah. Langkah menjadi rebah. Kama dan atma sepakat sadrah.
***
“Menurut informasi yang kami terima, sejak umur sepuluh tahun Nona Ansa didiagnosis menderita kanker darah. Lima belas tahun lalu ia menghilang karena koma dan dibawa ke Singapura. Penyebab Nona Ansa tidak terlacak adalah karena latar belakang keluarganya sebagai salah satu pebisnis gelap di Cina. Mereka biasa hidup berpindah-pindah dengan identitas berbeda. Nama asli Nona Ansa adalah Reransa Jiqba.” Pria berkepala pelontos dengan setelan jas senada kacamata hitam itu menjelaskan apa yang mereka dapatkan pada Respati. “Setahun setelah jatuh koma, Nona Ansa dinyatakan meninggal. Sejak itu keluarganya menutup rapat semua hal tentang Nona Ansa. Hingga kemarin tiba-tiba kami mendapatkan pesan dari orang tidak dikenal. Dia memberikan informasi Nona Ansa secara detail. Setelah diperiksa, ternyata itu semua benar. Namun, kami tidak tahu dengan pasti siapa orang ini.”
Respati berpura-pura tuli atas semua penjelasan mata-matanya. Masih memandang nisan bertuliskan nama sang belahan jiwa, ia membeku tanpa kata. Harapan yang dibangun dengan susah payah, hancur begitu saja oleh belati berkarat penuh nestapa. Enggan menerima, tetapi fakta memaksa duka memasuki rongga dada; bermukim dan kemudian beranak-pinak hingga sang tuan disesak olehnya.
Setelah Ratna, lalu disusul Ansa. Dua wanita yang ia cinta sepakat menuju alam baka. Meninggalkan ia dalam kubangan luka tanpa tawa. Sedih merasuk dalam tulang. Sesal mengalir di pembuluh darah. Andai dulu ia cepat mencari Ansa, bukannya sibuk membangun praduga, andai Ratna menjadi prioritas utama, bukannya pekerjaan, maka mungkin semua duka tak akan menyapa.
“Tuan, haruskah kami mencari tahu ten—”
“Tidak perlu!” Bangkit dari posisi bersimpuh, Respati kemudian berjalan sempoyongan keluar pemakaman.
Ansa, bukankah kita sepakat untuk sehidup semati bersama? Respati tidak akan hidup jika Ansa-nya tiada. Kau mengaminkan hal tersebut, bukan? Lalu kenapa kau mengingkarinya? Kenapa kau pergi begitu saja dan meninggalkan aku dalam gamang?
***
Tidak bicara, menangis, ataupun mengumpat. Duduk di ruang VVIP berdinding kaca yang bisa melihat langsung ke arah luar, di mana orang-orang berpesta ria di antara alunan musik, Respati meneguk segelas demi segelas wiski dengan tatapan menerawang. Kenangan demi kenangan manis berkejaran di kepala. Namun, senandung berputih tulang mengaburkan segala kebahagiaan. Menyisakan seberkas noda pada renjana yang penuh darah dan nanah.
“Bukankah kau bilang siap menerima segala kemungkinan? Hidup atau tiada, kau tidak akan mengutuk takdir.” Daren membuang napas panjang. Merebut gelas di genggaman Respati, ia lantas meneguk setengah cairan wiski yang tersisa. “Lima belas tahun hidup tanpa Ansa dan kau baik-baik saja. Jadi, apa bedanya dia tiada atau tidak?”
Enggan menanggapi pertanyaan, Respati memilih memejamkan mata. Namun, Daren seolah tak peduli. Ia kembali berkata, “Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa sangat mencintai Ansa. Kalian berhubungan selama setahun saja. Selama itu, dia bahkan tidak pernah terbuka tentang siapa dirinya. Dan, ya, bukankah saat itu kalian masih sangat muda? Bagaimana kau bisa menyimpulkan perasaan itu sebagai cinta? Mungkin saja itu hanya perasaan suka. Kau saja yang tidak bisa menerima dia meninggalkanmu dan terus menunggu dengan dalih cinta.”
“Memangnya kenapa kalau kami hanya berhubungan selama setahun saja? Memangnya kenapa kalau saat itu kami hanya dua bocah kecil yang baru mengenal dunia?” Membuka mata, iris cokelat itu memancarkan keambiguan. “Kapan cinta memandang rentang waktu? Bahkan mereka yang sedetik bertemu bisa langsung jatuh cinta. Dan, perihal usia, cinta tak pernah membatasi hanya orang dewasa yang berhak merasakan debarnya.”
Daren tersenyum hambar mendengar jawaban Respati. Tak mau melanjutkan perdebatan, ia memutuskan menerima bantahan. “Oke, katakanlah Ansa adalah cinta sejatimu. Tapi, dia sudah tiada. Lalu kau akan melakukan apa? Ikut tiada bersamanya?”
“Mungkin ....” Riak-riak lupa bernada di kedua telaga. Respati mengambil sebotol wiski dan menenggaknya. “Jika tidak memiliki Ashwa, aku mungkin akan memilih tiada. Namun, bisakah seorang ayah meninggalkan putrinya? Sendirian, kesepian, tanpa seseorang yang akan menjadi sandaran ketika bahaya mengancam.”
Menganggukkan kepala, Daren bersandar di sofa dengan kedua tangan terentang. “Syukurlah kau cukup waras untuk tidak melakukan hal gegabah.”
***
Ziya baru saja menutup mata, kala pintu kamarnya didobrak paksa. Sesosok pria muncul dan berjalan sempoyongan ke arahnya. Segera ia bangkit dan menyalakan lampu tidur di samping ranjang. Mendekati si pria, tiba-tiba sebuah cekikan mendarat di lehernya.
“Respati!” Refleks Ziya melakukan perlawanan. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri, tetapi berakhir dalam kesia-sia. “Le-pas-kan ... a-ku.”
“Iblis!” Aroma minuman keras menguar dari bibir dan sekujur tubuh Respati. “Aku akan membunuhmu!” Semakin Ziya melakukan perlawanan, semakin kuat ia mencengkeram.
Kedua netra Ziya berkaca-kaca. Sesak mulai melanda. Tak lagi melakukan perlawanan, ia seolah-olah pasrah jika harus tiada. Lengkung tipis merah jambu itu terkembang lebar. Seketika Respati mematung. Manisnya senyum sang belahan jiwa berkejaran di kepala. Entah ilusi atau nyata, bibir itu persis seperti milik Ansa.
Berhenti mencekik, ia kemudian memeluk erat Ziya. “Ansa?”
“An-sa?” Bernapas terengah-engah, Ziya dibuat bingung bukan kepalang. Terlebih kala Respati dengan lirih berbisik, “Jangan tinggalkan aku.”
“Kau mabuk? Aku Ziya, bukan Ansa.”
Tepat setelah bantahan dinyatakan, sebuah ciuman mendarat tanpa aba-aba. Respati seperti orang kelaparan kala melumat segumpal merah delima sedikit terbelah di bagian bawah. Hangat, lembut, dan basah. Seketika aroma wiski menyebar di seluruh mulut Ziya. Euforia menyala, menghangatkan kedinginan yang membelenggu dua manusia. Semakin gila, Respati menarik paksa luaran piama Ziya, hingga menampakkan tulang selangka dan bahu yang indah.
“Ansa, kau tidak akan pernah meninggalkanku, bukan?” Berbisik mesra tepat di dekat daun telinga, ia kemudian mengemutnya pelan sebelum akhirnya berpindah ke batang leher Ziya; melabuhkan tanda merah yang kentara.
Kenikmatan itu untuk sementara membius Ziya. Sampai ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah salah. Ia dengan cepat mendorong Respati dan menjauhinya. Namun, si pria alih-alih menyerah, ia justru membawa wanitanya ke dalam gendongan, kemudian dihempaskan ke atas ranjang.
“Jangan, Respati. Sadarlah, aku Ziya.” Luka menggenang di kedua telaga. Ziya menggeleng-gelengkan kepala, sewaktu satu per satu kain yang membungkus tubuhnya dilucuti Respati. “Aku bukan Ansa. Tolong, jangan lakukan ini.” Berulang kali menepis tangan suaminya, tetapi berakhir percuma. Respati lebih kuat dan dengan mudah mengintimidasi Ziya.
“Ansa, aku janji tidak akan menyakitimu. Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Kau adalah hidupku.” Tak peduli pada tangis dan penjelasan yang diberikan Ziya, bagi Respati wanita di depannya adalah Ansa. “Kau milikku.”
“Jangan, Respati.”
Respati melepas kemeja yang membalut tubuh kekarnya. “Ansa, malam ini adalah milik kita.” Menyentuh surai panjang bergelombang itu dengan penuh kasih sayang, ia tersenyum lebar.
“Kau tidak boleh melakukan ini.”
“Ansa, ini adalah tanda cintaku padamu.”
***
Haiii, hai, gimana kabarnya?
Bagaimana perasaannya setelah membaca bab ini? Gak darah tinggi, kan? Wkwkw ... akhirnya mereka menghabiskan malam penuh cinta
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...