"Dulu, pernah ada seorang pangeran yang jatuh cinta dengan bunga sweet pea. Sangat jatuh cinta, meski pertemuan mereka terbilang begitu singkat. Keduanya membuat janji merpati. Tak peduli sejauh apa pun jarak memisah, takdir akan menyatukannya kembali. Satu tersiksa, yang lain menderita. Ketika jantan menutup mata, betina ikut tiada, begitu pun sebaliknya." Respati membalik halaman selanjutnya dari buku yang dibaca. Menatap Ashwa yang tertidur lelap, ia tersenyum kecil. "Selama aku masih bernyawa, aku percaya Ansa tidak akan pernah tiada."
Harapan adalah kunci untuk tetap bahagia. Meski sulit hidup tanpa sosok peneguh seperti Ansa, ia harus tetap sekuat baja. Hingga waktu menyatukan kembali yang terpisah.
Respati menarik napas panjang. Untuk sejenak memejamkan mata. Membayangkan bagaimana tawa polos Ansa merambat di telinga. Disusul teriakan marah karena ia mengusilinya. Mereka berlarian di antara padang bunga. Di mana cahaya senja berkejaran merayapi setengah butala.
"Bukankah kita terlalu kecil untuk mengikat janji sesuci janji merpati?" Ansa bertanya sewaktu Respati memasangkan mahkota dari ilalang di kepalanya. "Ayolah, kau baru tujuh belas tahun. Sementara aku hanyalah bocah empat belas tahun yang baru mengenal dunia dan cinta. Layakkah kita mengikat janji seserius ini?"
"Cinta tidak berbicara tentang usia. Cinta adalah tentang aku dan kamu yang menjadi kita. Bagaimana dua hati terikat dan saling setia." Respati mengulang kata-kata yang pernah ia ucapkan di hadapan Ansa, selagi membuka mata dan kemudian menatap cincin di jempol kirinya. "Aku ingin melihat bagaimana sosokmu setelah lima belas tahun perpisahan kita. Kau pasti sekarang sudah sangat dewasa. Cantik dan tentu saja berkharisma. Mungkinkah kau masih suka berdebat, seperti ketika kau menentang semua argumenku tentang cinta? Apakah kau masih Ansa yang berani, tapi sebenarnya sangat penakut bahkan pada seekor serangga? Atau, semua sudah berubah? Hingga kau tidak pernah kembali ke pelukanku, tidak peduli sekeras apa aku menelusuri setiap jengkal bumi ini."
Hingga detik ini, Respati masih dihantui tanya perihal mengapa Ansa meninggalkannya. Mereka tak pernah bermasalah. Bahkan hari itu mereka berjanji akan bermain ke danau bersama-sama. Namun, hingga kegelapan menyapa, sang gadis tak pernah menunjukkan batang hidungnya.
Berniat menemui Ansa, ia justru menemukan rumah sang belahan jiwa telah menjadi gedung kosong yang terbakar hampir setengahnya. Ansa menghilang tanpa jejak. Semua orang kompak bungkam. Bahkan, mereka seolah terserang virus lupa hingga sepakat mengatakan tidak pernah ada Ansa atau orang lain yang menghuni rumah tersebut.
"Ansa, siapa kau sebenarnya?" Ragu sempat merasuki kepala. "Bagaimana bisa kau menghilang tanpa menyisakan satu pun petunjuk? Mungkinkah ada rahasia yang tak pernah kau ungkap saat kita bersama?"
Sekalipun ragu bertakhta. Cinta tetaplah cinta. Ia masih mencari Ansa.
"Tidak peduli kau siapa, aku akan tetap mencintaimu." Respati tak kuasa menahan hati yang diserang candrasa tak kasat mata; pedih berdesakan memenuhi rongga dada. Memikirkan pencarian Ansa yang hingga kini tak menunjukkan hasil apa-apa, membuatnya dilanda galabah. "Respati akan selalu menunggu Ansa."
***
"Apa kau sakit kemarin?" Respati mendekati Ziya yang tengah menata cangkir porselen ke atas nampan. Mengambil salah satu cangkir, ia kemudian berpindah ke sisi kanan meja, menuang kopi dari poci. "Apa kau selalu selemah itu? Atau, semua hanyalah sandiwaramu untuk mendapatkan ibaku?"
Alih-alih menjawab Respati, Ziya justru memanggil Ila. Menyerahkan nampan berisi cangkir porselen, sepoci kopi, dan camilan, ia berkata, "Bawa ini ke ruang makan." Setelah itu, Ziya memandang Respati. "Agaknya tidak pantas untuk seorang tuan makan di dapur yang kotor. Jadi, silakan Anda ke ruang makan dan nikmati sarapannya."
"Ya, dapur ini memang sangat kotor. Tentu saja yang layak di sini hanyalah wanita senista dirimu, Ziya." Respati tersenyum lebar. Mengangkat cangkir kopi setinggi dada, ia kemudian melepaskannya. Cipratan air panas mengenai kaki Ziya, sementara serpihan porselen berceceran di mana-mana. Dengan tanpa bersalah, Respati menepuk pelan tangannya. "Astaga, kau masih belum belajar mencuci piring dengan baik ternyata. Cangkir itu masih sangat berminyak, sampai-sampai aku tidak bisa memegangnya dengan baik."
Ziya mengepalkan tangan. Berusaha baik-baik saja, meski rasa sakit ketika air panas menyentuh kulit sangatlah menyiksa. "Aku yang salah. Maaf." Berjongkok, ia kemudian memunguti satu per satu serpihan cangkir.
"Siapa bilang bukan kau yang salah?" Respati berdesis sinis, sebelum akhirnya memutar tumit dan pergi menuju meja makan.
Kadang kala aku merutuki kebohohan hati. Mengapa meratapi, saat lidah bisa balas memaki? Mengapa bertahan jika tersakiti? Mengapa tak lari, tapi justru memilih menyerahkan diri dan berujung tersiksa setengah mati?
Ziya memandang punggung Respati yang bergerak menjauhinya. "Aku ingin sekali membencimu, Respati."
***
Irisan wagyu-daging khas Jepang yang memiliki kandungan lemak tak jenuh lebih tinggi dari daging biasa-diletakkan di atas saus barbeku, di sampingnya terdapat mash potatoes, jagung, dan buncis sebagai pelengkap. Respati menyantapnya dengan penuh penghayatan. Sempurna, tingkat kematangan medium well membuat daging terasa juicy dan meleleh di mulut.
"Bibi Yoli."
"Ya, Tuan?" Bibi Yoli menuang anggur ke gelas Respati.
"Kenapa kau sangat peduli pada Ziya?" Tatapan mematikan menyapa Bibi Yoli ketika tanya mengudara. Respati memotong steik menjadi lebih kecil dan memasukkan itu ke mulutnya. Mengunyah perlahan, ia tersenyum masam.
"Karena Nona Ziya adalah istri Tuan."
"Istri?" Sejejak jijik membara di kedua netra. Respati serasa ingin muntah begitu mendengarnya. "Dia adalah pembunuh Ratna. Apa kau tidak menaruh sedikit pun rasa marah padanya?"
"Tentu, saya memiliki sedikit rasa marah pada Nona Ziya." Bibi Yoli menganggukkan kepala. "Seandainya nona tidak menabrak nyonya, nona tidak akan pernah memasuki rumah ini dan tersiksa."
"Berani sekali kau mengatakan itu padaku? Apa kau tidak takut bernasib sama seperti Pengasuh Hila yang kutendang secara tidak hormat dari rumah Jayaprana?"
"Jika mau, Tuan bisa melakukan itu sejak lama."
"Ya, tapi aku tidak bisa melakukannya." Respati terkekeh kesal. Sebenci apa pun ia dengan keputusan Bibi Yoli, kata pecat tak akan pernah singgah di kepala. Karena wanita paruh baya itulah yang berjasa besar dalam hidupnya. Terus setia pada keluarga Jayaprana, bahkan saat mereka berada di ambang kehancuran karena dendam sang ayah.
Dulu, atas alasan dendam keluarga, ayah Respati melakukan segala macam cara untuk menghancurkan musuhnya. Bahkan jika itu harus mengorbankan istri dan anak-anaknya, ia rela. Meski kemudian dendam terbalaskan, tetapi ia harus berakhir dalam kematian. Rukmini sakit-sakitan, Hanum dan Respati hidup luntang-lantung tanpa kepastian. Semua orang menjauh. Rekan dan keluarga menutup mata. Para pelayan yang katanya setia memutuskan angkat kaki sebab tak mendapat gaji. Hanya Bibi Yoli yang bertahan, hingga keluarga Jayaprana kembali pada kejayaan.
Ponsel berdering kala Respati meneguk segelas anggur merah. Merogoh saku celana, ia kemudian mengangkat telepon yang ternyata berasal dari mata-matanya. Awalnya, ia memasang wajah kesal. Namun, ekspresi itu mendadak berubah menjadi penuh kebahagiaan. "Kalian menemukannya?" Tanpa basa-basi Respati bangkit dari kursi, lantas berlari pergi.
Bibi Yoli mengerutkan dahi. "Siapa yang berhasil mereka temukan?"
***
"Tuan, ini Nona Ansa."
Tubuh Respati membeku menatap gundukan tanah di depannya. Seketika ia tersungkur dengan kedua tangan menyatu di wajah. "Ini bukan Ansa. Dia tidak mungkin meninggalkanku." Menggeleng-gelengkan kepala, Respati enggan berdamai dengan kenyataan penuh lara. "Ansaku tidak mungkin tiada."
***
Hollaa ....
Apa kabar?
Hemmm ... ternyata Ansa sudah ... em🥺🥺🥺
Tapi, masih penasaran gak, sih, apa hubungan Ziya sama Respati? Mungkinkah selain mengenal Ansa, dulunya Respati juga mengenal Ziya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Storie d'amore[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...