“Kau hamil?” Respati mencengkeram kedua bahu Ziya selagi mendelikkan mata. Sementara wanita di depannya dengan tubuh bergetar hanya sanggup meneteskan air mata. “Bagaimana bisa tubuh nistamu menyimpan benih dariku? Trik apa yang sedang kau mainkan? Katakan, ini semua hanyalah kebohongan yang kau karang, bukan? Kau menggunakan kehamilan untuk bisa membuatku melupakan dendam. Itu tujuanmu kan, Ziya?” Pertanyaan tersebut dilontarkan dengan penuh kemarahan.
Ziya menggeleng-gelengkan kepala. “Siapa yang mencoba memainkan trik padamu? Ini anakmu, Respati! Kaulah yang menjamahku dengan liar waktu itu. Bagaimana bisa kau mengingkarinya?”
“Tidak! Anak itu tidak boleh hadir ke dunia. Aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai anak. Dia hanyalah kesialan yang datang sebagai karma karena telah menyentuh wanita menjijikan sepertimu. Aku harus membunuhnya.” Melepaskan cengkeraman, Respati berbalik badan dan berjalan menuju meja kerja. Seperti orang linglung, ia mengempaskan apa saja yang terlihat di depan mata. Sembari terus mengulang kalimat yang sama, “Anak itu bukan anakku!”
“Apa maksudmu?” Ketakutan bertandang secara terang-terangan. Ziya memegang perutnya dan berkata, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Anak itu harus mati. Kau harus menggugurkannya.” Tersenyum iblis, Respati mengangguk-anggukkan kepala kala ide itu melintas di otaknya. “Ayo, kita ke rumah sakit. Aku akan mencari dokter terbaik yang bisa membuang anak itu dari perutmu.” Menarik tangan Ziya dengan paksa, Respati seperti orang yang kehabisan kewarasan. Semakin pemberontakan dinyatakan, semakin keras dan kejam kekerasan yang ia lakukan.
Berusaha sekuat tenaga menepis tangan Respati, akhirnya Ziya bisa melepaskan diri juga. Meskipun kemudian ia tetap tidak bisa menghindari kejaran manusia berhati Rahwana yang penuh akan durjana. Dalam tangis tak berdaya, ia mengiba, “Tolong jangan sakiti anak ini.”
“Jika kau tidak mau menggugurkannya. Maka, biarkan aku yang membunuhnya.” Tak kehabisan akal, Respati mendorong tubuh lemah itu hingga menghantam kerasnya dinding. Tak ada belas kasihan, meski ringisan merambat di indra pendengaran. Tergelak setan, ia mengambil sesuatu di laci nakas, sebelum akhirnya mendekati Ziya dan menodongkan benda tajam itu padanya. “Awalnya aku berencana melenyapkan anak ini saja. Tapi, karena kau bersikap sok mulia, kalau begitu kenapa tidak kuhabisi saja kalian berdua?”
“Respa—”
Sebelum sempat selesai berbicara, sudut tajam pisau menembus perut Ziya. Darah merembes dan membentuk suatu lingkaran kemerahan di sekitar pisau. Tubuh Ziya menegang. Rasa sakit berduyun-duyung menyerang. Namun, tak satu pun erang terdengar. Dalam keheningan, setetes air mata perpisahan berlayar di wajah sepucat kertas.
Tak ada penyesalan. Respati tergelak kencang dan semakin menekan pisau itu ke dalam. “Kau harus mati!”
“Tidak!” Ziya terjaga dengan keringat dingin di wajah dan sekujur badan. Mengerling ke kiri dan kanan, ia dihantui ketakutan. Hingga tiba-tiba sebuah pelukan datang dan menyalurkan kehangatan. Memberi sensasi nyaman dan aman. Beberapa saat kemudian, orang itu dengan lembut mengusap puncak kepala Ziya dan berkata, “Akhirnya kau sadar juga.”
“Jangan bunuh anakku.” Ziya terisak pelan di bahu kekar pria berkemeja hitam garis-garis putih horizonal itu. “Kumohon, biarkan dia hidup.”
“Siapa yang ingin menyakitimu?”
“Respati.”
“Respati?”
“Dia menyakitiku.”
“Tidak akan kubiarkan siapa pun menyakitimu, Ziya,” ucap pria itu. “Tenanglah, aku akan menjagamu. Kau akan baik-baik saja.” Suaranya terdengar sedikit parau dan mengandung kesedihan.
“Dia membunuhku dan anakku.” Menggigit bawah bibirnya, Ziya merasa ada sebuah batu menghantam hatinya. Nyeri menyerang tanpa iba.
“Dia tidak akan pernah bisa menyentuhmu. Aku di sini menjagamu, Ziya. Itu hanyalah mimpi buruk.”
“Mimpi?” Untuk sejenak Ziya tenggelam dalam kebingungan dan tersadar bahwa semua itu hanyalah bunga tidur. Melepaskan pelukan, ia lantas menatap perutnya dengan penuh kekhawatiran. Tidak ada bekas tusukan. Ia baik-baik saja. Tangis lega mengudara di wajah.
“Ya, kau hanya bermimpi buruk saja.”
***
“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” Menatap dalam kedua netra Ziya, pria berwajah sendu itu kemudian menundukkan kepala. “Sebenarnya, aku tidak pernah kembali ke Swedia setelah pesta peringatan ulang tahun pernikahan orang tuamu. Bagaimana aku bisa meninggalkanmu sendirian dan menghadapi segala macam permasalahan tanpa sandaran, saat tahu dengan jelas alasan di balik pernikahan kalian adalah dendam? Karenanya, aku memutuskan menjagamu dari kejauhan. Memastikan kau baik-baik saja. Sampai kemarin sore aku melihatmu berjalan di antara hujan, terlihat linglung dan menanggung begitu banyak beban. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, hingga nekat melewati jalan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Aku hampir saja kehilangan alasan untuk hidup saat melihat tubuhmu ditabrak mobil dan terpental ke bahu jalan. Aku takut, aku takut tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut kehilanganmu, Ziya.”
Jantungnya serasa diremas-remas ketika membayangkan bagaimana tubuh wanita yang dicinta bersimbah darah. Beruntung kecelakaan tersebut hanya menimbulkan luka-luka kecil saja. Andai ia telat datang dan Ziya dalam bahaya, entah berapa ribu sesal yang akan menyerang kama.
Seketika Ziya berkaca-kaca. Pria di hadapannya masih sama seperti saat mereka menjalin cinta. Selalu menjaganya dengan sepenuh jiwa dan raga. Bahkan saat status pernikahan telah menyekat, ia tetap setia.
“Leo.” Suara Ziya terdengar serak. Selaksa gamang menyesak perasaan. Ada lega bercampur bimbang. “Harusnya kau biarkan aku mati saja.”
“Ziya!” Kelemahlembutan itu berganti amarah. Namun, sedetik kemudian kembali layu dan dipenuhi pilu. Leo menggeleng-gelengkan kepala, dan tanpa permisi membawa tubuh ringkih penuh luka itu ke dalam dekapnya. “Apa yang telah Respati lakukan hingga kau begitu putus asa? Katakan Ziya, aku pastikan akan membalasnya untukmu.”
Delapan tahun mereka merajut asmara, tak sekalipun ia berani melayangkan bentak terlebih lagi kekerasan pada Ziya. Baginya, wanita itu seperti permata mulia. Diperlakukan istimewa. Dijaga dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, Respati dengan seenak hati melukainya. Membuat Ziya melakukan hal-hal gila. Leo tidak terima.
“Percayalah, aku tidak akan membiarkan orang yang berani melukaimu hidup dengan nyaman. Kau adalah wanitaku. Dulu, sekarang, ataupun di masa depan, kenyataan itu tidak akan pernah berubah.”
Ziya menyandarkan kepalanya di bahu Leo. “Kemarin aku memutuskan memeriksakan kesehatan setelah mengalami pusing dan mimisan. Aku pikir itu karena kelelahan. Tapi, hasil pemeriksaan menyatakan semua gejala itu merujuk pada kehamilan. Aku bingung sekaligus ketakutan. Lantas saat dokter mengatakan akan mengabari Respati terkait hasil pemeriksaan, aku diam-diam menguping. Kau tahu, apa yang dia perintahkan pada dokter?”
“Apa?”
“Gugurkan!” Seketika isak tangis Ziya pecah kala mengulang satu kata penuh belati yang Respati ucapkan tanpa beban. Semakin mengeratkan pelukan, ia tak kuasa menahan sesak yang menyerang titik tegar dan memaksanya bersujud dalam kekalahan. “Itulah yang dia katakan setelah tahu aku tengah mengandung anaknya.”
Memejamkan mata, Leo mengepalkan tangan kuat-kuat. Rahangnya mengeras. Seketika amarah menguasai raga. Ia tidak pernah menduga, Respati akan melakukan tindakan yang tidak berperikemanusian.
“Bagaimana jika dia menemukanku di sini? Dia pasti akan membunuh anakku.” Mendongakkan kepala, kepingan galabah berdesakan di pelupuk netra. “Leo, bagaimana jika dia melakukan itu padaku? Dia bilang akan membuatku merasakan sakitnya kehilangan.” Kembali mengingat mimpi buruk di mana Respati menusukkan belati ke perutnya, Ziya mendadak mengerang ketakutan. “Aku lebih mati daripada harus menyaksikan itu semua.”
Candrasa menyerang segumpal merasa di dada sewaktu menyaksikan betapa kacau dan hancurnya Ziya. Leo tak kuasa menahan air mata. Memegang wajah Ziya, ia berkata, “Tenanglah, aku pastikan dia tidak akan pernah menemukanmu. Kau aman di sini. Seujung jari saja dia berani menyentuhmu, akan kubuat dia menyapa neraka.”
***
Hai, selamat membaca😘
Akhirnya Abang Leo muncul juga hehe ...
Abang Leo ini idolaknya author😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...