[35] Haruskah?

3.8K 310 72
                                    

Mondar-mandir di depan meja rias dengan ekspresi tegang, Hanum sesekali menengok gawai, kemudian mengurut pelan pelipisnya yang berdenyut tak karuan. Mengembuskan napas panjang, ia meletakkan gawai di atas meja dan bersedekap dada. Duduk menyilangkan kaki, ia mengetuk-ngetuk meja. Berharap ide muncul dan mengakhiri cemas.

“Ada apa?” Keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada—hanya menggunakan handuk yang menutupi bagian pinggang hingga lutut—Rangga berjalan menuju ranjang. Selepas mengambil kemeja putih polos yang disiapkan Hanum, ia menatap sang istri, heran. “Kau tidak siap-siap ke kantor?”

“Tidak.” Membalas sesingkat mungkin, Hanum berusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk berpikir.

Tidak buru-buru marah karena diperlakukan dingin. Rangga dengan tenang bertanya, “Apa ada masalah?”

Sebenarnya, tanpa ditanyakan Rangga tahu sesuatu pasti telah terjadi. Ia hapal betul perangai Hanum. Dari manja menjadi sangat serius tidak mungkin terjadi hanya karena perubahan suasana hati. Pasti ada alasan logis dan serius di baliknya.

“Em.” Hanum menundukkan kepala, sedetik kemudian berdecak sebal. “Respati telah menemukan Ziya?”

“Respati menemukan Ziya? Memangnya dia ke mana?” Rangga mengerutkan dahinya, tak mengerti. Sejauh yang ia tahu, wanita itu masih di rumah Respati. Menjalani penyiksaan antara hidup dan mati.

Entah dari mana harus memulai cerita, Hanum pun kebingungan. Sejak awal hilangnya Ziya, ia sudah tahu itu berkat laporan Ila. Ada lega dan sedikit cemas menghantui pikiran. Melarikan diri dari genggaman Respati memanglah baik. Namun, itu sama saja menyatakan perang. Respati pasti akan semakin terbakar kemarahan. Bila Ziya berhasil ditemukan, konsekuensinya sangatlah menakutkan. Oleh karena itu, saat Respati sibuk memulai penyelidikan, diam-diam pun ia mengirim orang untuk bergerak melakukan pencarian. Berharap bisa lebih cepat dari Respati dan membantu sang adik ipar di persembunyian. Malangnya, Hanum terlambat satu langkah.

Mendengar cerita Hanum dengan saksama, Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Mulai mengerti latar belakang kecemasan istrinya. Mengancing kemeja di depan kaca lemari, ia bersikap acuh tak acuh. “Bukankah itu urusan mereka? Lebih baik kita tidak mencampurinya. Lagi pula, Ziya sendiri yang memilih melarikan diri. Jika tertangkap, tentu dia sudah siap menanggung konsekuensinya, bukan?”

“Aku ingin ikut campur.”

“Sayang, setiap hal memiliki batasan. Lebih baik kali ini kita diam saja.” Rangga membenarkan kerahnya yang sedikit terlipat di bagian ujung. “Aku tidak mau hubunganmu dan Respati kembali memanas karena Ziya.”

Hanum menundukkan kepala. Matanya berkaca-kaca. “Haruskah aku diam saja?” Selaksa pedih menguar dalam tawa. “Kau tahu, Ziya melarikan diri dari Respati karena apa?”

Rangga mengangkat kedua bahunya. Apa pentingnya ia mengetahui itu semua? Sejak awal ia juga tidak terlalu sepeduli itu pada Ziya. Bahkan Rangga terbilang lebih sering mengamini perbuatan Respati.

“Ziya hamil dan Respati berniat menggugurkannya.” Mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, Hanum merasa gagal menjadi seorang kakak. “Jika menjadi Ziya, maukah kau mengorbankan anak yang tidak bersalah dan bahkan belum terlahir ke dunia untuk sebuah dendam? Jika menjadi aku, maukah kau diam saja dan membiarkan adikmu membunuh anaknya sendiri? Rangga, katakan, haruskah kita menjadi manusia berhati iblis dengan membiarkan Respati menggugurkan kandung Ziya?”

Setelah kata ‘anak’ digemakan, Rangga membungkam. Sejenak mencoba membangun dalih untuk memberikan pembelaan. Namun, tetap saja ia tak menemukannya dan menyadari apa yang dilakukan Respati sudah terlampau salah.

“Haruskah aku menunggu berita kematian mereka dan tertawa seolah nyawa manusia hanyalah mainan saja?”

***

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang