[36] Kehancuran

4.6K 310 31
                                    

Tirai rahasia telah tersingkap. Semua kebenaran diungkap. Respati dengan tanpa ragu menjelaskan setiap detail kesalahan Ziya. Hanum berdiri dalam tim kontra; menyanggah tuduhan bahwa Ziya bukanlah tersangka kematian Ratna. Situasi memanas. Adu argumen tercipta. Tak ada yang mau mengalah. Sementara Rukmini belum juga menyatakan sikap hendak berdiri di kubu apa.

“Hanum, keluarlah! Ibu ingin berbicara empat mata dengan Respati.” Muak melihat perdebatan tanpa kesimpulan—di mana masing-masing enggan menepikan ego dan tetap bersikeras mempertahankan pandangan—Rukmini pun angkat bicara.

“Tapi, Bu—”

Perkataan Hanum terpotong kala Rukmini menyela, “Ibu tidak harus berbicara dua kali, bukan? Apa kata-kata Ibu tidak cukup jelas untuk dipahami?”

Setelah kematian ayahnya, ini pertama kali Hanum melihat Rukmini kehabisan kesabaran dan penuh amarah. Ia tahu, melawan hanya akan membuat buruk suasana. Mau tak mau ia melangkah keluar. Meski dalam hati tetap ingin di ruangan. Agar bisa tetap memberikan pembelaan pada sang adik ipar.

Berdiri membelakangi Respati, Rukmini mengerjap-ngerjapkan mata. Mendongakkan kepala, ia menahan luka membasahi wajah. “Selama ini kau menyembunyikan kebenaran tentang Ziya dengan sangat baik. Ibu tidak menyangka, kau begitu ahli bersandiwara. Membuat Ibu tenggelam dalam ilusi bahwa kau dan Ziya benar-benar saling cinta.”

“Aku hanya tidak ingin membuat Ibu terluka dengan kenyataan bahwa Ziya adalah pembunuh Ratna.” Respati mengepalkan tangan, selagi membuang muka ke arah kanan ruangan.

“Terluka?” Rukmini terkekeh hampa. “Kau sudah melakukannya.” Bersedekap dada, ia melangkah menuju jendela kaca yang dibiarkan terbuka. “Pada akhirnya, kau sama seperti ayahmu. Di antara seribu pilihan, kau memilih berdiri di atas dendam.”

“Bu, ini pilihanku.”

Rukmini mengangguk-anggukkan kepala. “Pilihan? Bagaimana jika Ibu memintamu melepaskan pilihan itu? Maukah kau melupakan masa lalu dan berhenti menjadi seorang pendendam?”

“Jangan paksa aku untuk melupakan dendam dan memaafkan Ziya. Aku tidak akan melakukannya.” Menghela napas selepas bicara, Respati berusaha untuk tetap tentang. Bagaimanapun yang dihadapi adalah ibunya. “Maaf, kali ini aku tidak akan mendengarkan Ibu. Tidak ada kata melupakan. Tidak ada kata memaafkan. Dendam ini akan terus menyala, abadi di dalam jiwa.”

Berbalik badan, Rukmini menatap sang anak dengan mata memerah. “Kau siap dengan segala konsekuensinya?”

“Ya.”

Menutup mata, Rukmini menangkupkan salah satu tangan ke wajah. Beberapa detik berlalu dalam kesunyian. Hingga ia dengan suara parau berkata, “Lakukanlah! Lakukan jika kau merasa siap dengan semua konsekuensinya. Jika kalah kau akan menemui kehancuran. Jika menang kau akan berkubang dalam penyesalan. Itulah konsekuensi dari hidup dalam dendam.”

Meski terdengar seperti persetujuan, Respati tahu apa yang dikatakan Rukmini bermakna kebalikan. “Aku siap menemui kehancuran. Namun, kupastikan tidak akan pernah merasa menyesal.”

“Baik, jika itu keputusanmu. Ibu terima. Ibu tidak akan mencoba menghalangimu menyakiti Ziya. Hiduplah dalam dendam. Buktikan kau tidak akan merasakan penyesalan seperti yang ayahmu rasakan.” Rukmini berdiri tepat di depan Respati. Mereka saling tatap, lama. Kemudian ia mendekap pria berwajah dingin itu dengan erat. “Namun, inilah harga pertama yang harus kau bayar untuk sebuah keputusan. Mulai hari ini, kita bukan lagi ibu dan anak.”

“Apa maksud Ibu?”

“Aku bukan ibumu, dan kau bukan anakku.”

“Bu?” Respati menggeleng-gelengkan kepala; tidak menerima apa yang Rukmini katakan padanya. “Selamanya aku adalah anak Ibu.”

“Selamanya aku hanya punya satu putra. Respati Jayaprana yang berhati hangat dan penuh cinta.” Melepaskan pelukan, Rukmini melangkah ke belakang. Mulai menciptakan jarak secara terang-terangan. “Sementara kau, kau mungkin memiliki nama yang sama. Namun, kau bukan dia. Respati Ibu tidak akan pernah terjerumus dalam dendam. Dia bukan pria tidak berperikemanusiaan yang senang menyiksa wanita. Dia juga bukan seorang ayah mampu berpikir membunuh anaknya. Jadi, selama tanganmu masih berlumur darah, pikiranmu dipenuhi dendam berbalut amarah, selama itu juga kau bukan anakku.”

Respati membungkam. Mendadak terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Menyaksikan Rukmini melangkah keluar ruangan tanpa menoleh ke arahnya, candrasa menikam dada. Kejemawaan di kedua netra surut seketika, menyisakan sejejak galabah.

***

“Bu?” Buru-buru Hanum menemui Rukmini. Ia ingin tahu apa yang terjadi dan bagaimana sang ibu menyikapi perihal Respati. Namun, melihat Rukmini memasang ekspresi tidak peduli, ia takut cara yang susah payah dipikirkan demi meloloskan Ziya dari siksaan berakhir percuma. “Bagaimana?”

“Ayo, kita pergi!”

“Apa maksud Ibu?” Hanum membeku di tempatnya. “Bagaimana dengan Ziya?”

Rukmini menggenggam erat tas tangannya. “Itu bukan lagi urusan kita. Dia bilang siap berkubang dalam kehancuran. Maka, biarkan saja dia menikmati apa yang menjadi pilihan. Dia cukup dewasa untuk mengerti yang baik dan salah.” Duka merambah sekujur raga. Bagaimanapun, sisi keibuannya terluka. Namun, Rukmini harus terus bersikap tegar. “Dia bukan lagi bagian dari keluarga Jayaprana. Apa yang dia lakukan pada Ziya, bukan menjadi tanggung jawab kita. Mulai hari ini, untukmu dan Ibu, Respati sudah tiada.”

Hanum ternganga. Sejenak mencoba mencerna kata-kata ibunya. Setelah itu ia menggenggam erat tangan Rukmini. “Bu, kita sama-sama kecewa dan marah. Tapi, meninggalkan Respati juga bukan pilihan terbaik. Kita harus tetap berdiri di samping Respati sampai dia sadar ini adalah salah.”

“Bukankah selama ini kau selalu berdiri di sampingnya? Lalu apa yang terjadi? Apakah dia menjadi sadar akan ini semua? Tidak! Seseorang yang sudah diliputi dendam hanya bisa disadarkan dengan penyesalan. Lihat, apakah apa yang Ibu lakukan hari ini bisa membuka matanya atau justru sebaliknya.” Melepaskan genggaman tangan Hanum, Rukmini berkata, “Ibu tidak pernah mau menerima seorang pendendam sebagai anak.”

Tanpa Hanum dan Rukmini sadari, sejak tadi Respati mendengarkan percakapan mereka. Rahangnya mengeras. Ketenangan teretas. Adakah yang lebih luka daripada tidak diakui sebagai seorang anak oleh ibu sendiri?

Masuk kembali ke ruangan, Respati menatap nanar sekelilingnya. “Argh!” Kehilangan kesabaran, Respati meninju tembok di sampingnya. Namun, percuma saja. Lara tetap berdesakan di dada; memotong-motong sekeping kama yang telah patah. Ditambah melodi dilema yang menambah kisruh gundah. Haruskah ia melepaskan Ziya seperti permintaan ibunya? Lantas bagaimana dengan dendam yang telah ia pupuk dengan sedemikian rupa?

Tanpa sadar sudut netranya telah dibasahi cairan tak berwarna beraroma galabah. Tergelak pedar, ia berlaku layaknya orang gila. Sekelumit tanya menyerang kepala. Mengapa dunia mempersalahkannya, saat Ziya adalah tersangka utama dari kisah penuh luka? Mengapa takdir membuat orang-orang berdiri di depan Ziya dan bukan ia?

“Tidak! Aku tidak akan melepaskan dendam. Jika ini adalah kehancuran pertama yang harus aku tanggung, maka tidak apa-apa. Aku akan menerimanya. Namun, Ziya tidak boleh lepas dari genggamanku. Aku harus memastikan dia menderita seumur hidup.” Menguatkan kembali tekad pertama, Respati mencoba menepikan bisikan-bisikan yang mengajak ia mengakhiri duka. “Lagi pula aku sudah hancur sejak lama. Ansa dan Ratna sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Jadi, apa salahnya sekali lagi mereguk kehancuran?”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang