Sepenggal catatan Ziya berhasil membuat Respati diserang huru-hara. Meski petunjuk yang ada hanya berasal dari lembar pertama, sedangkan isi secara keseluruhan catatan tak menunjukkan keterkaitan dengan Ansa, Respati tetap saja dilanda curiga. Bagaimana bisa kata-kata yang ditulis Ziya persis sama dengan yang ia ucapkan pada Ansa?
Untuk menjawab pertanyaan yang menghantui kepala, Respati bisa saja langsung menginterogasi Ziya. Namun, ia memilih tidak melakukannya. Respati pernah beberapa kali menyinggung perihal Ansa di depan Ziya. Jika mereka memang memiliki keterkaitan, mengapa wanitanya hanya diam saja dan bertindak seolah-olah tidak kenal Ansa? Mungkinkah ada rahasia yang disembunyikan darinya? Enggan menduga-duga, tetapi semua seolah memiliki benang merah yang tidak biasa.
Dengan demikian, Respati harus mencari jawaban secara diam-diam. Agar mendapatkan penjelasan tanpa bumbu kebohongan. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa seluruh barang Ziya. Namun, percuma saja. Barang-barang yang wanita bersurai cokelat itu bawa dari kediaman Grekala habis dibakar hingga menjadi jelaga di malam pertama pernikahan mereka.
Perilaku gegabahnya telah mengaburkan jejak menuju lorong rahasia. Respati hanya bisa merutuki pikiran-pikiran liar yang membuat ia melakukan hal-hal gila. Sebab sebanyak apa pun sesal mengudara, tak akan mampu mengubah waktu yang berjalan dengan gesitnya. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah memutar otak hingga menemukan cara terbaik dalam memecahkan masalah.
Menyesap segelas wiski di depan jendela, ia memandang langit malam yang dengan jemawa membungkus butala dalam selimut hitam. Seketika ia tergelak pedar. “Apa yang akan kau lakukan sekarang, Respati?” Bertanya pada diri sendiri dengan penuh keraguan.
***
“Urusan sepenting apa yang membuatmu datang secara tiba-tiba dan tanpa Kak Ziya?” Presna turun dari tangga sembari membenarkan jam tangannya yang sedikit miring sebelah. Kemudian ia melirik Respati yang duduk di sofa warna merah dengan posisi kaki menyilang. “Sekian lama menjadi menantu Grekala, selain dari pesta pernikahan mama dan papa, bisa dibilang ini kali pertama kau berkunjung ke rumah. Aku ragu jika itu hanya untuk sekadar bertamu biasa.”
Menoleh ke arah sumber suara, Respati bangkit dan lalu menemui Presna yang kini berdiri beberapa langkah dari sampingnya. “Kau benar, aku tidak akan repot-repot datang ke kediaman Grekala jika hanya untuk bicara basa-basi saja.” Memasukkan salah satu tangan ke saku celana, ia tersenyum penuh makna. “Kau tahu kakakmu sedang hamil, bukan?”
Mendengar pertanyaan Respati, raut wajah Presna seketika berubah tidak nyaman. Bagaimana bisa ia tidak kesal, jikalau kabar bahagia tersebut baru sampai di kediaman Grekala setelah kehamilan sang kakak memasuki usia lima bulan. Itu pun tidak disampaikan secara langsung. Presna mengantar Treya memeriksakan kesehatannya di rumah sakit dan secara kebetulan bertemu dokter kandungan yang pernah merawat Ziya. Setelah melalui percakapan panjang, barulah pria itu tahu sang kakak tengah berbadan dua.
Terang saja kecewa merasuk dalam dada. Tindakan merahasiakan kehamilan Ziya seolah-olah menyiratkan bahwa mereka tidak lagi menganggap Grekala sebagai keluarga. Perselisihan sempat membara. Akan tetapi, Respati dapat mengatasinya. Berbagai dalih dikemukakan, hingga Yudistira dan Presna mau tak mau berhenti mempermasalahkan itu semua.
“Apa yang kau inginkan?” Enggan berlama-lama, Presna dengan segera ke inti percakapan mereka. “Aku tahu kau menginginkan sesuatu.”
Mengangguk-angguk pelan, Respati kemudian mengembuskan napas panjang. Sepanjang malam ia melakukan perenungan dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan. Di tengah kebimbangan, ide segar mendadak bertandang.
“Ibu hamil sering sekali memiliki banyak permintaan, bukan? Ziya pun demikian. Dia sangat ingin memeluk boneka yang pernah kau hadiahkan di hari ulang tahunnya. Boneka itu ternyata tidak dia bawa sewaktu pindah rumah. Aku sudah membujuk untuk membeli boneka baru, tapi dia tetap saja menolaknya. Aku takut jika terus begini dia akan stres dan itu tentu saja tidak baik untuk kesehatan. Jadi, aku putuskan datang ke mari dan mengambilnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Storie d'amore[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...