“Tuan, kau sangat tampan.” Tangan mungil itu bergerak liar menjelajahi bahu, wajah, dan kemudian otot-otot perut Respati. Menempatkan kepalanya di dada bidang si pria, ia menghidu aroma parfum yang maskulin. Seketika candu menyapa. Membuat gadis dengan mini dress ketat yang menampilkan keindahan lekukan tubuh itu semakin mengeratkan pelukan. “Wanita mana yang bisa menolak pesona, Tuan?”
Abai terhadap semua perkataan wanita di pelukannya, Respati—yang berada dalam posisi bersandar di sandaran ranjang—memilih meneguk segelas vodka dengan tatapan menerawang. Berita kematian Ansa telah mematikan kewarasannya. Selain mabuk-mabukkan, hari ini ia juga mulai berani memakai jasa wanita penggoda. Meski semua yang dilakukan tak mampu meredakan badai yang berkecamuk di pikiran dan perasaan. Namun, ia sudah berusaha, walau di jalan yang salah.
“Tuan, bisakah kita—”
Baru saja berniat menarik ritsleting pakaiannya, tetapi tiba-tiba Respati menyela, “Ambilkan rokok.”
“Rokok?” Mengulang perintah Respati, ia tampak mengerutkan dahi hingga membentuk tiga lapisan. “Bagaimana kalau nanti saja? Aku akan melayanimu sekarang juga.”
“Kau tuli?” Tatapan membunuh terpancar di kedua iris beraura durjana.
“Maaf.”
Kesal, wanita itu berdecak pelan menyaksikan betapa dingin dan menyebalkan tuan yang membayarnya dua kali lipat lebih mahal dari harga biasa. Melepaskan pelukan, ia berbalik mengambil sebatang rokok dan pemantik api di atas nakas, lantas memberikannya pada Respati. “Apa tujuan Tuan membayar aku?”
Asap putih mengepul dari hidung dan bibir Respati, selepas ia menyalakan lalu menyesap sebatang rokok yang bertenggar mesra di antara kedua lengkung tipis merah mudanya. Menatap wanita yang Daren pilihkan untuk menemani malam panjangnya, Respati terkekeh menakutkan. “Tentu saja untuk menyicipimu. Kau pikir aku membayarmu hanya untuk mengambil rokok dan menyentuh tubuhku?”
“Kalau begitu, bisakah aku ....” Menggantung kata-katanya, ia mendekati wajah Respati dengan pandangan terkunci pada bibir ranum sedikit hitam itu. Lantas mengulumnya penuh cinta.
Respati memejamkan mata. Membiarkan lumatan demi lumatan membangun sensasi lega di rongga dada. Semakin lama, semakin candu menyapa. Hingga tawa seorang wanita berkelindan di kepala, disusul isak tangis penuh luka. Begitu keras sampai ia merasa tuli dibuatnya. Bahkan ia mulai berhalusinasi tengah berciuman dengan ... Ziya. Tanpa sadar ilusi demi ilusi membuat ia mulai kehilangan fokus dan tenaga, lalu secara tidak sengaja menggigit bibir wanita sewaannya.
“Astaga!” Rintihan itu terdengar kuat. Secara refleks ia memegang bibir bawah yang berdarah.
Menyadari kesalahannya, Respati segera berkata, “Aku tidak hati-hati. Maaf membuatmu berdarah.” Sembari menyeka titik luka.
“Tidak apa-apa.” Ia menyentuh tangan Respati dan kemudian menempelkan itu ke wajahnya.
Wanita adalah makhluk yang paling mudah menyatakan pengampunan. Lakukan kesalahan dan katakan maaf dengan penuh kelembutan. Maka pengampunan akan didapatkan tanpa perlu banyak perjuangan. Terlihat dungu, tetapi itulah kenyataan. Bersedia menerima kesakitan atas nama rasa nyaman.
Mengabaikan luka di bibirnya, wanita bersurai pirang itu berniat melanjutkan kecupan. Mengalungkan kedua tangan di leher Respati, ia mengedipkan mata, manja. “Hal sepele seperti ini tidak akan bisa menghentikan kita.”
“Ya.” Meski perasaan enggan melanda hati dengan gamblang, Respati tetap memilih melanjutkan perbuatan nista sebagai pelampiasan kemarahan. Namun, kali ini tak seperti ciuman pertama. Saat bibir si wanita menyentuh bibirnya, maka semua ingatan tentang malam pertama bersama Ziya menguar begitu jelasnya. Embusan napas bernada sendu berpadu lenguhan pasrah malam itu terngiang-ngiang di telinga.
Sial! Mengapa aku memikirkan dia?
Menyadari pria di depannya berhenti melumat bibirnya, ia pun melakukan hal yang sama. Lantas menjauhkan wajahnya dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Tuan?”
“Tidak ada.”
“Oh, ya?” Menurunkan ritsleting bagian depan pakaiannya, ia memasang ekspresi menggoda. Namun, belum sempat menampakan aset terbaiknya. Respati secara spontan mengambil selimut dan menutupi tubuh si wanita. “Aku tidak ingin melihatnya,” ucap Respati selagi membuang muka.
“Tidak ingin melihatnya, juga tidak ingin menyentuhnya, bukan?” Tak tersinggung dengan perbuatan Respati, ia justru tergelak kencang. Bangkit dari ranjang, berjalan menuju sudut ruangan, kemudian duduk di sofa dengan sandaran panjang. Melepas selimut yang diberikan Respati, ia lantas menarik ritsleting pakaian hingga menutup bagian terlarang. “Dari awal aku tahu, Tuan datang bukan untuk mencari kenikmatan.”
“Aku hanya belum terbiasa.” Menatap bagian kiri ranjang, ia kemudian mengambil kemeja hitam dan kembali mengenakannya dengan kesal. “Aku tetap akan membayarmu seperti yang dijanjikan. Besok aku pasti kembali datang. Kupastikan hal yang sama tidak lagi terulang."
“Terima kasih untuk bayarannya.” Ia mengambil segelas vodka dan mengangkat itu di depan Respati sebagai tanda bersulang, sebelum akhirnya meluncur bebas di kerongkongan. Duduk menyilangkan kaki selagi menatap Respati, ia berkata, “Tidak perlu datang kembali, karena bukan aku yang Tuan butuhkan.”
“Sejak kapan seorang jalang menolak penawaran?”
Kembali gelak tawa bernada di bibir semerah darah yang telah mengabdikan diri untuk mencumbu banyak pria. “Sejak aku melihat di mata Tuan menyimpan suatu keraguaan. Ini mungkin tidak pantas ditanyakan. Namun, aku tetap akan mengatakannya. Siapa yang sedang Tuan pikirkan?”
Harusnya, aku memikirkan Ansa. Namun, kenapa justru kenangan akan dirinya yang singgah dan menyisipkan rasa bersalah?
Respati memandang lurus ke arah jendela yang tertutup tirai warna cokelat tua sedikit keemasan. “Seseorang yang aku benci hingga ke tulang-tulang.”
“Benci?” Ada keraguan dalam nada bicara. Wanita itu menganggukkan kepala, seolah-olah telah memahami jelas makna dari apa yang diucapkan Respati. “Seseorang yang dibenci hingga ke tulang-tulang mampu membuat Tuan terombang-ambing dalam keraguan. Bahkan saat kita berciuman, aku tahu lumatan itu terjadi di bawah bayang-bayangnya. Sangat mengagumkan.”
“Apa maksudmu?”
Mengangkat kedua bahunya, ia meneguk sisa vodka hingga tak bersisa. “Urusan hati memang sulit dimengerti. Perkara cinta dan benci saja tak memiliki batasan pasti.”
***
Berdiri di tepi jembatan, Respati menengadahkan kepala. Malam tampak indah kala berpadu sinar bulan purnama. Memasukkan kedua tangan ke saku celana, ia tersenyum hampa. “Lagi, aku mengkhianati, Ansa.”
Sendalu beraroma lara berpadu debu galabah saling mencumbu di udara; melahirkan gigil yang dengan jemawa mendekap raga. Respati untuk sejenak tenggelam dalam peliknya isi kepala. Ratna, Ansa, dan Ziya. Nama ketiga wanita itu terus berdengung sekalipun ia menutup telinga.
“Pertama, aku menikahi Ratna dan berlindung di balik alasan mencari pengganti dirimu untuk sementara. Padahal jelas-jelas aku sedang melakukan pengkhianatan. Kedua, aku menyentuh Ziya. Harusnya ini hanya ajang balas dendam saja. Namun, aku justru kehilangan kendali dan mengkhianatimu untuk kedua kalinya.” Suara Respati terdengar sedikit parau. Diam sebentar, ia mengatur pernapasan yang mulai disesak oleh penyesalan. “Pantas saja kau meninggalkanku. Sejak awal aku sudah mengkhianati janji kita. Ansa, bukan kau yang bersalah. Akulah yang sudah menodai renjana.”
Menundukkan kepala, Respati memegang tepian jembatan. Menyaksikan teduhnya sungai berpadu pantulan sinar rembulan yang seakan-akan melambai untuk ia menyatu dalam ketenangan yang mereka tawarkan. Ia tersenyum pedar. Tanpa sadar, luka luruh dari kedua netra. Membasahi wajah pualam yang lelah disesak duka.
Pergumulan demi pergumulan mengaburkan kewarasan. Merentangkan kedua tangan, ia berkata, “Ansa, tunggu aku.”
***
Haiii, selamat menunaikan ibadah puasa😘
Tenang, akan ada Mbeb Respati yang menemani kalian selama sebulan ke depan. Tapi, itu pun kalau dia gak jadi bunuh diri😂Soalnya itu udah siap terjun dari jembatan
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romansa[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...