“Aku memaklumi perlakuan burukmu pada Ziya.” Rangga menuang kopi yang telah diseduh ke cangkir kecil warna cokelat tua. Memberikannya pada Respati, ia berkata, “Aku pun akan melakukan hal yang sama jika dalam posisimu. Dia sudah menabrak Ratna. Maka, sudah sewajarnya ia mengganti itu dengan rasa sakit yang lebih parah.”
“Tapi Kakakku punya pemikiran berbeda.” Mengingat betapa Hanum membela Ziya, seketika ia diserang sakit kepala. “Dia bilang, Ziya bukan pembunuh. Kecelakaan itu salah Ratna. Bagaimana bisa tersangka jadi korban, korban jadi tersangka. Lucu, bukan?” Tergelak pedar, sudut mata Respati tampak memerah selaras dengan hati yang diserang selaksa gamang.
“Hanum terbiasa melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dia tidak melihat kecelakaan itu dari kacamata Ziya, tapi juga Ratna.”
“Jadi, kau setuju bahwa Ziya bukan pembunuh Ratna?” Rahang Respati mengeras sewaktu melayangkan tanya.
Ekspresi tenang Rangga berubah jadi tegang. Ia berusaha memalingkan muka dari Respati. “Aku tidak bilang Ziya bukan pembunuh Ratna. Aku bilang, Hanum memandang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dia mengatakan itu pasti bukan tanpa sebab.”
“Lalu apa sebabnya?”
Rangga terlihat gugup sejenak. Namun, kemudian berhasil mengendalikan situasi dan memberikan jawaban, “Aku tidak tahu.”
***
Selesai mencuci piring dan melapnya hingga benar-benar bersih, Ziya memisah-misahkan mereka sesuai bentuk, bahan, dan warna. Diperolehlah tiga tumpukan yang meliputi porselen putih bundar untuk makan, porselen hijau bentuk daun biasa digunakan menghidangkan lauk-pauk, serta piring kaca khusus buah. Ia kemudian mengangkat satu per satu tumpukan piring menuju lemari kaca di ujung kanan dapur yang digunakan khusus untuk menyimpan peralatan makan. Ziya mengerjakan itu semua dengan cekatan. Beberapa bulan mengerjakan urusan rumah tangga yang tak pernah terjamah sewaktu masih menjadi nona keluarga Grekala, membuatnya perlahan terbiasa akan itu semua.
“Siapa yang menyuruhmu melakukan pekerjaan rumah?”
Terkejut, Ziya hampir saja menjatuhkan piring di tangannya. Beruntung Respati dengan sigap membantu memegang. Seketika iris cokelat itu memancarkan aura kesal. Lantas merebut piring dari tangan Ziya dan meletakkanya di lemari dengan gusar.
“Apa kau berusaha mencari perhatian? Atau, berlagak menyedihkan dengan mengerjakan hal yang tidak pernah aku perintahkan?” Berdesis pelan, Respati menatap Ziya yang dengan berani menatap matanya. “Aku sudah berbaik hati membiarkanmu beristirahat selama satu bulan, agar kau pulih dengan cepat. Dan, baru saja satu minggu berlalu, kau sudah melakukan pekerjaan tidak berguna yang bisa membuat tubuh semakin lemah. Jika kau kenapa-napa, Kak Hanum akan menjadikanku tersangka utama. Kau tahu dia memihakmu. Apa kau berniat membuat perpecahan di antara kami berdua?”
Sedikit mendongakkan kepala—semakin menatap intens kedua bola mata Respati—Ziya tersenyum ambigu. Sederhana, tetapi membuat yang melihatnya diserang serdadu bingung. “Apa untungnya untukku membuat perpecahan di antara kau dan Kak Hanum?”
Respati mengatupkan kedua bibirnya sebentar. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala selagi memasang ekspresi penuh kejijikan. “Tanyakan itu pada otak nistamu yang penuh akan rencana busuk dan memuakkan.”
“Mengapa harus bertanya pada otak nistaku?” Dengan penuh ketenangan Ziya melempar pertanyaan. “Bukankah otakmu yang membuat berbagai spekulasi dan membuat kesimpulan sendiri?”
Selama ini Ziya banyak bungkam daripada bicara. Apa saja yang dikemukakan Respati diterima dengan sukarela. Terlepas apakah itu akan menyakitinya atau tidak. Namun, kali ini berbeda. Dengan elegan ia menyatakan sanggahan. Membuat Respati tanpa sadar tersudutkan.
“Ini ternyata rupa asli iblis keluarga Grekala.” Bertepuk tangan dengan kencang, Respati berusaha menyembunyikan semburan kemarahan yang melalap kesabaran. “Berpura-pura lemah hanyalah caramu untuk mendapatkan simpati. Lihat, kau ternyata sangat ahli memainkan kata-kata. Sungguh menjijikan.”
“Terima kasih.” Mengabaikan hinaan, Ziya berbalik untuk mengambil piring selanjutnya. Namun, Respati berhasil mencekal tangannya. Lalu menarik wanita itu dengan pelan ke dalam dekapan.
Bersandar di bahu Ziya, ia berbisik, “Wanita menjijikan. Jalang. Manusia berhati iblis. Berhenti memasang wajah malaikat. Kau tidak layak.” Tidak ada keraguan sewaktu makian dilontarkan. Semakin tajam dan menyakitkan perkataan, semakin Respati senang.
Tak berusaha melepaskan diri dari dekapan, Ziya tampak pasrah. “Apa menyenangkan memeluk wanita menjijikan?” Seketika tatapan Ziya beralih ke tangan Respati yang sejak tadi melingkar mesra di pinggangnya. Ia tersenyum getir.
***
“Nona.”
“Em?” Ziya baru saja merebahkan diri ketika pintu kamar diketuk pelan. Meletakkan buku yang dipegang ke samping kiri ranjang, ia lalu menyibak selimut dan turun dari peraduan. Beberapa detik kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok Ila dalam balutan seragam khas pelayan—gaun hitam dipadukan celemek putih.
“Tuan memanggil Nona ke kamar utama.”
Mengerutkan dahi sebentar, Ziya tampak kebingungan. Namun, alih-alih mempertanyakan, ia justru menganggukkan kepala. “Baik.” Melangkahkan kaki menuju luar kamar, wanita bertunik hitam berkerah pita itu berjalan duluan. Sementara Ila mengikut dari belakang.
“Nona, sepertinya Tuan ingin membicarakan hal serius.” Ila meremas kedua tangannya, gugup. “Apa saya perlu menemani Nona?”
Menoleh sebentar, Ziya tersenyum pedar. Tidak terasa mereka telah tiba di depan kamar utama. “Aku bisa sendiri. Bukankah hanya bicara saja? Apa yang perlu ditakutkan?” Memegang gagang pintu, ia menarik napas panjang. “Tunggu di luar. Aku akan baik-baik saja.”
***
“Bersiaplah, besok pagi kita akan menghadiri acara ulang tahun pernikahan mama dan papamu.” Respati memandang sebentar Ziya yang berdiri sejauh satu meter dari tempatnya berada. Kemudian pandangan itu beralih ke majalah bersampul hijau dengan gambar seseorang tengah berdiri di tengah-tengah hutan. “Jangan cemaskan mengenai pakaian. Aku sudah menyiapkan beberapa gaun dan perhiasan untuk kau kenakan.”
“Gaun dan perhiasan?” Ziya melempar tanya dengan nada merendahkan. “Untuk apa repot-repot menyiapkan itu semua?”
Menutup majalah dengan kasar, Respati tersenyum sinis. “Tentu saja untuk menjaga reputasiku. Kau pikir aku sudah memaafkanmu? Jangan bermimpi! Selamanya, selalu ada dendam di antara kita.”
“Aku tidak ingin pergi.”
“Lalu?”
“Jika kau ingin menghadiri acara tersebut, silakan. Namun, aku tidak akan pergi bersamamu.” Meremas ujung piamanya, Ziya menundukkan kepala.
“Sejak kapan kau mempunya hak menolak apa yang aku putuskan?” Bangkit dari sofa merah dengan sandaran tinggi, Respati melangkah pelan menuju Ziya. “Jika aku bilang pergi. Maka kau harus pergi.”
Mata Ziya mendadak berkaca-kaca. Tanpa aba-aba bersimpuh di depan suaminya. “Kumohon. Aku tidak mau bertemu mereka.”
“Kenapa?” Berputar mengelilingi Ziya, Respati tergelak ria. “Bukankah kau sangat merindukan mamamu?”
“Respati.”
“Ziya Grekala!” Mencengkeram wajah Ziya, ia berbisik, “Pergi ke kamarmu dan berkemaslah. Aku tidak akan mengubah keputusan. Besok kita tetap pergi acara ulang tahun pernikahan orang tuamu. Kau harusnya bahagia. Aku membiarkanmu bertemu mereka.”
“Kau selalu punya banyak cara untuk menyiksaku.” Air mata luruh dari kedua netra Ziya. Selaksa perih berdesakan di dada. Tawa bernada luka menggema. “Kau pasti sudah tahu tentang masa laluku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romantizm[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...