Ziya menatap dingin para pelayan yang berjejer rapi di depan pintu masuk. Mereka tersenyum hangat dan bahkan berlaku ramah pada dirinya. Sesuatu hal yang langka, mengingat status pembunuh telah melekat erat dalam diri Ziya.
Meski tahu alasan di balik sikap manis yang terjadi secara tiba-tiba, Ila memilih tak bereaksi. Segumpal kecewa masih terasa menyesak dada, setelah Hanum memberi tahu bahwa sang nona menanggung siksa atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Ditambah dengan kenyataan Bibi Yoli—orang yang sudah ia dan Ziya anggap keluarga—terlibat dalam persekongkolan penuh nista.
“Mulai hari ini, kamar utama adalah milik Nyonya.” Salah seorang pelayan datang dan menghentikan Ziya saat akan memasuki kamarnya. “Mari saya antar, Nyonya.”
Nyonya? Terang saja Ziya tersenyum sinis mendengarnya. Sejak kapan ia menjadi nyonya atas kediaman Jayaprana? Sungguh sebuah kejutan tak terduga yang membuat ia hampir muntah karena begitu jijiknya.
Walau demikian, Ziya tetap bersikap kooperatif dan mengikuti arahan pelayan. Terlalu malas untuk sekadar bertanya, apalagi melempar pendapat bahwa ia tidak ingin menempati kamar utama. Sebab pada akhirnya, keputusan Respati adalah perintah mutlak yang mau tidak mau harus diterima.
Luas dan mewah. Ranjang berukuran besar dilengkapi kelambu warna ungu yang senada dengan warna seprai. Di depannya terdapat meja rias beserta perlengkapan kecantikan yang ditata sedemikian rupa. Tidak lupa lemari buku dan sebuah sofa untuk membaca di kiri ruangan. Pelayan membuka tirai dinding kaca yang terhubung langsung dengan kebun bunga mini. Ia kemudian menghampiri Ziya dan berkata, “Ruang khusus pakaian ada di sebelah sini, Nyonya.”
Pelayan membuka pintu cokelat yang berada di samping meja rias. Ziya dan Ila mengikuti dari belakang. Itu adalah ruangan dengan ratusan pakaian, sepatu, tas, dan aksesoris yang disimpan rapi dalam lemari kaca. Bahkan terdapat dua buah patung yang bisa dipakai untuk memadupadankan pakaian.
“Permainan macam apa lagi yang coba dia mainkan?” Ziya mengembuskan napas panjang. Tampak tidak tertarik dengan semua kemewahan yang disajikan. Memutar tumit, ia kemudian meninggalkan ruangan dan para pelayan.
***
Daren memutar-mutar gelas wiski sebelum meminumnya. Menatap Respati yang masih sibuk menatap layar gawai, ia mendesah pelan. Sekarang rutinitas sang sahabat berganti menjadi pemburu barang-barang mahal. “Kau pikir semua kemewahan itu bisa mengembalikan hidup yang hancur berantakan?”
“Tidak.” Respati meletakkan gawai ke meja dan mengambil gelas berisi wiski yang tersisa setengah. “Tapi setidaknya aku sudah mencoba melakukan yang terbaik untuk Ziya.”
“Yang terbaik apanya? Kau saja sampai sekarang tidak pernah menemui Ziya. Sibuk bersembunyi seolah-olah dengan begitu masalah akan terurai begitu saja.” Senyum sinis terkembang. Daren bersedekap dada. “Percuma saja kau memberikan dia gelar nyonya, segala kemewahan, dan hal-hal indah. Jika di hatinya masih terluka dan bernanah. Apa sulitnya meminta maaf, Respati? Kau hanya harus bersujud dan mengakui kalau kau bersalah.”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa? Karena gengsi? Atau, karena—”
“Aku belum siap menemuinya. Aku perlu waktu.”
***
Ketuk palu telah mengudara; memutus ikatan sah antara dua manusia. Tak ada sesal dari sorot netra. Hanum menghadapi sidang perceraiannya sekuat baja. Meski banyak yang mencibirnya bertindak terlalu gegabah dan mengambil keputusan salah. Bahkan beberapa di antaranya terang-terangan bertanya, “Mengapa kau tidak memberikan Rangga kesempatan kedua? Di mana lagi kau akan mendapatkan pria yang mau menikahi wanita tanpa rahim sepertimu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...