Asgard dengan kulit kecokelatan yang tertimpa sinar matahari pagi, sudah menjulang di hadapan Snotra. Subuh hari tadi perempuan itu sudah mengejutkannya lewat ketukan pintu hotel.
Diusap kasar wajah kuyu lelaki itu dengan satu tangan yang bebas, sementara tangan yang lain berkacak pinggang. Ia benar-benar tak habis pikir pada permintaan perempuan yang kini duduk di sofa kamar hotelnya.
"No, I can't, Snotra." Sudah berulang kali kalimat itu terlontar, tetapi Snotra tetap memohon dengan ekspresi putus asanya. "Kau ... gila."
"Aku tahu perjalananmu ke Norwegia bukan untuk hal ini, tapi ... I really beg you. Aku tidak mau kembali ke tempat terkutuk itu lagi." Di akhir kalimatnya, Snotra menunduk. Suaranya pun melirih. Asgard sadar bahwa perempuan itu mulai menitikkan air matanya.
Menghela napas panjang, Asgard mencoba untuk lebih tenang. Ia ikut duduk, bukan di samping Snotra, melainkan di tepi ranjang.
Beberapa saat hening. Asgard memikirkan cara lain untuk masalah Snotra. Ia tak mungkin mengikuti permintaan perempuan itu karena akan mengubah seluruh rencananya ke depan. Tak mungkin.
"Apakah itu terlalu sulit, Asgard? Kau hanya perlu membawaku ikut serta dalam perjalananmu. Aku janji tidak akan merepotkan, aku janji tidak akan mengenakan sepatu hak tinggi, aku janji tidak akan mengganggu. Aku mohon ...."
Sekali lagi, Asgard menghela napas panjang. Ditatapnya Snotra dengan sorot dalam, lantas memejamkan mata sejenak sebelum berdiri dan mengangsurkan ponsel miliknya pada perempuan itu. "Laporkan orang tuamu pada kepolisian."
Dengan keterkejutan luar biasa, Snotra ikut beranjak. Ia melayangkan tatapan tajam pada lelaki di hadapannya sambil mengepalkan kedua telapak tangan kuat-kuat. Napas perempuan itu memburu, rasanya kalimat yang ingin disuarakan tertahan di tenggorokan.
Snotra menyambut ponsel Asgard dengan gemetar. Dipandanginya layar yang menampilkan dua gambar jam analog waktu setempat dengan Waktu Indonesia Barat itu.
"Aku ingin sekali membanting ponsel ini." Snotra menggeser layar ponsel, membuka menu dan menyentuh ikon gagang telepon. "Aku tidak menyangka kau akan mengusulkan hal itu, Asgard. Padahal, kau tahu bahwa mereka tetap orang tuaku."
Deretan angka sudah tertera di layar benda pipih itu. Namun, Snotra belum berniat menyentuh ikon lain. Ia masih memandangi layar ponsel dengan nanar. Karena kepala yang ditundukkan, untaian rambut yang kali ini kembali diurainya jatuh di sisi-sisi wajah.
"Hubungan darah tak bisa kau jadikan pembenaran atas tindak kejahatan, Snotra." Tatapan mata Asgard sangat datar kali ini. Ia tak menampilkan ekspresi apa pun. "Aku bahkan hampir meledak saat mendengarmu mendapat perkosaan kuratif dalam terapi sialan itu."
Snotra mendongak dengan cepat. Tampaknya, penilaian terhadap pribadi Asgard terlalu cepat ia simpulkan. Ia pikir, lelaki itu adalah sosok lemah lembut yang akan selalu bersikap manis, tetapi nada bicara yang baru saja ia dengar sangat mengejutkan.
Tanpa sadar, tangan Snotra terjatuh di sisi tubuh, masih dengan menggenggam ponsel di satu tangan, ia bergumam, "Kau?"
Asgard terkekeh pelan. "Aku bukanlah aku yang kau lihat, Snotra. Kau tak akan menemukan versi utuhku, jadi jangan terkejut jika aku tiba-tiba melontarkan kalimat atau melakukan tindakan yang mungkin tak pernah kau pikirkan sebelumnya."
"Aku ... lebih terkejut karena ternyata kau paham apa itu perkosaan kuratif."
Snotra kembali duduk dan meletakkan ponsel Asgard di sampingnya, mengabaikan nomor yang sempat ia ketik di sana.
"Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Tidak menunjukkannya bukan berarti tidak tahu. Aku hanya berusaha menghilangkan sikap keakuan, Snotra."
Hening cukup lama di antara keduanya. Sementara surya di luar sana, semakin meninggi menduduki takhta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...