Kalau lupa alur, bisa baca part sebelumnya. Wkwkwkwk. Kalau nemu typo, mohon diingatkan karena ini pure tanpa revisi.
-o0o-
"Akifa, namaku Akifa." Gadis itu lantas menunduk dalam, tak mau menatap Asgard lebih lama.
Sementara itu, Marya kembali tertunduk dalam dalam simpuhnya. Tak pernah ia mengira bahwa kata-kata permintaan maafnya itu akan menyinggung.
Akifa kembali mengangkat wajah, kali ini tatapan teduh itu dilayangkan untuk sosok sang ibu. "Tapi, Ibu ... benar kata Kak Hamid bahwa memaafkan tidak harus dengan kata maaf. Sebaiknya kita memikirkan bagaimana caranya membersihkan nama Kakak, baik dari tuduhan ini maupun tuduhan-tuduhan sebelumnya. Untuk Kak Hamid, Akifa berharap Kakak memikirkan lagi perihal menikahi Kak Marya. Pernikahan bukan hanya perihal kemauan, tapi juga kesanggupan."
Sementara yang lain membisu, senyum Asgard semakin lebar. Ia semakin bertanya-tanya, apa Tuhan memang sebaik itu karena telah mempertemukannya dengan orang-orang berpikiran luar biasa? Benar-benar perjalanan yang tidak sia-sia, bukan?
Belum ada yang bersuara untuk menanggapi Akifa, pun Hamid yang masih diam, kali ini sambil menatap sang ibu dengan sendu. Dalam pikirnya, ia sudah terlalu banyak membebani perempuan paling berharga itu dengan masalah yang menimpanya. Mana mungkin ia berani menambah kegusaran tak berujung pada surganya itu? Hamid begitu menyayangi sang ibu.
Sepuluh menit dalam kebisuan, akhirnya Marya bangkit dari posisi bersimpuh. Diusapnya air mata dengan punggung tangan setelah berkali-kali menguatkan diri sendiri. "Aku yang akan membuktikan bahwa Hamid tidak bersalah. Akan kubongkar semua kelicikan orang-orang biadab itu."
"Bagaimana caranya, Marya?" tanya Hamid dengan lirih, sedikit pun tak memandang Marya.
"Bagaimanapun. Aku akan melakukan segala cara, termasuk melemparkan tubuhku pada mereka."
Semua melotot tak percaya, tetapi lagi-lagi tidak dengan Asgard. Lelaki itu masih bertahan dengan senyum simpul.
"Cinta atau rasa bersalah yang membuatmu melakukan ini, Marya?" Mata dengan manik cokelat gelap Asgard memicing. Satu ujung bibirnya pun tertarik ke atas dengan sempurna.
"Keduanya," tukas Marya.
-o0o-
Maghrib menjelang. Setelah gagal membuat Marya mengurungkan niatnya, Hamid hanya bisa menatap perempuan yang dicintainya itu penuh was-was. Tak jauh berbeda dari ibu perempuan itu. Beliau bahkan masih terus tergugu di tempatnya, ditemani tepukan pelan di bahu dari sang adik lelaki.
Asgard? Jangan tanyakan betapa santainya lelaki itu. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, ia justru lebih tenang. Sesekali pula disekanya pelipis yang masih terasa berdenyut. Ah ... merebahkan diri di ranjang rasanya akan sangat membantu, tetapi ia belum mendapat apa yang diinginkan, akhir perjalanan Marya dan Hamid.
Sentuhan lembut tiba-tiba dirasakan Marya. Ia menoleh bak gerakan slow motion, lantas menatap lekat gadis muda adik sang pujaan hati. Kerjapan mata tak dapat dihindari, antara bingung, sesal, dan rasa lainnya.
"Kak Marya yakin akan ke sana?" Disaksikan langit yang mulai memerah dengan mega tipis, Akifa menggenggam sebelah tangan Marya. Dihujaninya perempuan itu dengan binar menguatkan lewat sorot mata.
Tak banyak bicara, Marya mengangguk tegas. Mantap sudah niatnya mengakhiri tuduhan-tuduhan yang tertuju pada Hamid.
Disaksikan Hamid dan Akifa, sang ibu dan paman, serta Asgard, Marya melangkah meninggalkan pekarangan rumahnya menuju destinasi mengerikan itu. Iya, ba'da Asar tadi, Hamid dan Akifa datang ke rumah perempuan itu sebelum Marya benar-benar merealisasikan niat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...