25. Maha Pemaaf?

109 33 1
                                    

Dering ponsel membuatnya terjaga. Setelah bangkit dari posisi rebah, ia sempat melirik jam beker di atas nakas, pukul 02.30 waktu setempat, belum subuh.

Ia lantas berdiri dan meraih ponsel yang tergeletak di meja belajar. Dilihatnya nama yang tertera, Snotra.

"Halo, Snotra. Ada apa?" tanyanya langsung.

Suara lirih langsung terdengar dari seberang, jelas perempuan itu habis memangis. "Aku baru pulang dari rumah orang tuaku dan mau ke apartemen, tapi ... bisakah kita bertemu sekarang? Aku akan jelaskan nanti. Aku mohon, Nizwa."

Sejenak Nizwa berpikir. "Baiklah. Apa tidak masalah jika kita bertemu di tempat yang dekat dengan masjid atau semacamnya? Sudah hampir masuk waktu subuh."

Snotra mengiyakan dan panggilan keduanya pun terputus. Nizwa segera bersiap tanpa mandi. Ayolah, ini bahkan belum subuh dan dia terburu-buru. Jujur saja, perempuan itu khawatir dengan sang kawan yang terdengar tak baik.

Sampai di tempat jani temu, Snotra sudah tampak menunduk sambil menyeka pipi dengan tissue. Nizwa segera menyusul dan duduk di sebelah perempuan itu. Untung saja ada minimarket yang buka 24 jam. Hal itu memudahkan orang-orang seperti mereka.

"Kau mau ke masjid dulu? Biar aku tunggu di sini, tidak apa-apa, Nizwa." Mata Snotra jelas merah, entah karena habis menangis atau karena memang mengantuk.

"Belum azan, masih ada setengah jam. Tidak apa, ceritakan apa masalahmu," balas Nizwa.

"Aku memutuskan pergi dari rumah, benar-benar pergi." Snotra menatap Nizwa lekat lalu tertawa sumbang. "Apa tindakanku salah, Niz? Aku seperti anak tidak tahu diri, bukan? Tidak tahu terima kasih."

Setelah merapatkan jaket yang membalut tubuh dengan gamis panjangnya, Nizwa mengembuskan napas panjang. "Salah dan benar bagiku, hanya dibatasi sekat tipis, Snotra. Mereka semu. Belum tentu yang terlihat benar memang benar, begitupun sebaliknya."

Nizwa melepas sling bag yang dibawa dan meletakkannya di pangkuan. "Mungkin bagi orang yang tidak tahu tentang luka yang selama ini kau tanggung, mereka akan mengatakan hal yang sama. Anak tidak tahu diri, kurang ajar, semacamnya. Namun, kau lebih tahu tentang dirimu sendiri. Mereka berhak menilai, tapi kau punya kendali untuk terpengaruh atau tidak dengan penilaian itu."

Senyum manis tersungging di bibir Nizwa. Diraihnya tangan Snotra dan digenggam erat. "Snotra, kita tahu bahwa orang tua kita berjasa besar, tapi aku yakin, bertahan di lingkungan yang tidak bisa membuatmu merasa menjadi manusia, lebih menyakitkan dari apa pun."

Snotra kembali menunduk dan air matanya pun lagi-lagi jatuh. Ia masih membiarkan tangannya berada dalam genggaman Nizwa, ia butuh kekuatan dan dukungan, setidaknya dari seorang teman.

"Aku ingin hidup mandiri sekarang," ujar Snotra, "sama sekali terpisah dari orang tua yang bahkan hanya memperlakukanku sebagai boneka. Aku tidak pernah merasakan rasa kasih sayang dari mereka sejak kecil. Aku bahkan berani bertaruh, mereka memilih melahirkanku agar ada yang bisa digunakan sebagai ajang pamer. Sayang, aku tumbuh tidak seperti keinginan mereka."

Nizwa mengangguk paham. "Aku yakin apa pun keputusanmu, itu pasti yang terbaik. Jika kau mulai merasa itu salah, lekas cari jalan lain, Snotra."

Snotra merasa beruntung memiliki teman seperti Nizwa. Pertemuan mereka di perpustakaan itu benar-benar hari terbaik dalam hidup Snotra.

Saat subuh menjelang, Nizwa pamit untuk menunaikan salat. Sambil menunggu gadis itu kembali, Snotra memilih menghubungi seseorang. Sepertinya ia perlu memberitahu Asgard tentang keputusannya. Terlebih, dari yang ia tahu, Asgard berada di Italia kini, tak ada perbedaan waktu di Norwegia. Asgard pasti sudah bangun.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang