34. Akhir dari Cinta (Ending)

154 39 4
                                    

Dua keluarga itu sudah duduk di ruang tamu kediaman Nizwa. Saling bercengkerama hangat tentang kehidupan pesantren yang dilalui anak-anak, bagaimana mereka tumbuh, sampai bagaimana mereka memperlakukan sesama setelah dewasa.

Orang tua Nizwa masih berpikir bahwa kedatangan Asgard sekeluarga hanya untuk silaturahmi biasa. Jelas, ayah Asgard adalah pengasuh pondok di mana Nizwa belajar dulu. 

Nizwa sendiri belum kelihatan batang hidungnya sejak tadi. Sang ayah bilang bahwa Nizwa tengah mengisi pengajian di desa sebelah. Tentu lelaki itu langsung dilarang ayah Asgard saat hendak menelepon sang putri agar segera pulang. Biar Nizwa fokus berdakwah, katanya.

Sejak tadi pula, yang dilihat Asgard wara-wiri menyuguhkan makanan hanya perempuan berabaya hitam serta bercadar. Asgard tidak tahu itu siapa. Sepertinya saudara perempuan Nizwa.

"Jadi begini, Pak. Sebenarnya, maksud kedatangan kami kemari adalah untuk ...." Lelaki berjas dipadukan sarung hitam sebagai bawahan itu melirik sang putra. "Meminang putri Bapak untuk putra sulung kami, Asgard."

Raut semringah diberikan sebagai balasan. 

"Suatu kehormatan bagi kami, tapi ... maaf sebelumnya, apa ini untuk Nizwa?" Ekspresi lelaki itu segera berubah, seakan ada kebimbangan dalam dirinya saat menyadari hal tersebut.

Ayah dan bunda Asgard tersenyum sambil mengangguk mantap. Berbeda dengan Asgard yang tampak kehilangan taring, ia menunduk dalam.

Helaan napas terdengar di sela suasana sepi itu. "Sebelumnya saya minta maaf, Pak Kiai, Bu. Sesuai dengan aturan Islam, perempuan yang sudah berada dalam pinangan seseorang, maka tidak bisa dipinang oleh orang lain."

Kalimat itu, sukses membuat hati Asgard mencelos. Pias wajahnya tak bisa disembunyikan sama sekali. Apa dia terlambat?

Asgard mengangkat wajah, memandang orang tua Nizwa dan orang tuanya bergantian. "Maaf? Maksudnya, sudah ada yang meminang Nizwa dan diterima?" lirihnya memastikan.

Cukup satu anggukan, Asgard serasa lumpuh. Dipejamkan mata kuat-kuat untuk menahan sesak di dada. Tangannya yang sedari tadi saling bertaut pun, bertaut semakin kencang. Kenyataan apa lagi ini?

"Assalamu'alaikum, Nizwa pul--" Ucapan perempuan itu terpotong saat menyadari ada siapa di sana. Ia seperti orang linglung sebelum kembali sadar dan mencium tangan orang tua Asgard penuh takzim.

"Duduk, Niz," pinta sang ayah.

Perempuan itu menurut dan duduk di samping ibunya. Diam-diam, ia melirik Asgard yang tampak tak bernyawa, pandangan lelaki itu benar-benar kosong. Bahkan, tak sedikit pun lelaki itu melihatnya. Namun, Nizwa masih bisa melihat sorot terluka di matanya.

"Maaf sekali lagi, Pak Kiai. Kami masih memiliki satu putri lagi. Jika berkenan, Nak Asgard bisa bertaaruf dulu dengannya. Insyaallah, akhlak dan akidahnya sama baiknya dengan Nizwa. Hawa Antalya namanya, kembaran Nizwa."

Cukup sudah, Asgard semakin dibuat kacau dengan penawaran itu. Dipejamkan mata sekali lagi sebelum berucap, "Boleh saya berbicara dengan Nizwa? Hawa bisa ikut untuk menghalangi timbulnya fitnah di antara kami."

-o0o-

Taman kompleks rumah Nizwa menjadi tujuan mereka. Sementara Asgard dan Nizwa duduk berjauhan di bangku taman, Hawa tampak senang bermain dengan anak kecil yang kebetulan dikenalnya.

"Pada akhirnya aku terlambat. Pilot tidak membawaku padamu, Nizwa," lirih Asgard sembari melirik perempuan itu.

"Andai kamu menegaskan niatmu saat itu, andai kamu tidak membuatku bertanya-tanya dan menerka, andai kamu datang sehari lebih cepat daripada lelaki itu, Asgard."

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang