4. Perihal Menggadaikan Tuhan

263 44 21
                                    

"What do you want?"

Snotra berdiri gelisah di samping Asgard. Rengkuhan tangannya pada lengan lelaki itu semakin mengetat tatkala tiga lelaki di hadapan mereka mengeluarkan geraman.

"Kami tidak ada urusan denganmu, Bocah Tengik. Serahkan Snotra pada kami!" Jari telunjuk salah satu lelaki itu mengacung tinggi tepat di depan muka Asgard. Bahkan, bola matanya seperti mau meloncat saking lebarnya melotot.

Lelaki pecinta buku itu masih berusaha terlihat tenang. Belum ada tindakan apa pun yang ia lakukan, hanya beberapa kali mengembuskan napas sambil melirik tangan Snotra yang setia berada di lengan kanannya.

"Serahkan? Apa kalian pikir, Snotra adalah barang yang bisa diambil, ditinggal, diberikan, dan diserahkan bahkan dikendalikan?" Asgard mendengkus keras. Diturunkannya jari telunjuk orang di hadapan. "Aku punya penawaran menarik. Bagaimana jika kalian membawaku ikut serta menghadap orang tuanya? Ah ... atau bisa juga mengajakku ke tempat terapinya?"

Sontak Snotra melepas tangannya dan berjengit kaget. Ditatapnya lelaki itu dengan raut tak percaya. "Apa kau gila? Sama saja kau membiarkanku menerima terapi terkutuk itu. Lebih dari itu, kau membahayakan dirimu sendiri, Asgard."

Tak ada tanggapan yang diberikan lelaki itu. Ia justru tersenyum miring dan tetap fokus ke depan. "Kalian akan cukup diuntungkan dengan membawaku ikut serta. Aku yakin, orang tua Snotra akan senang bila yang menyembunyikan putrinya ikut tertangkap. Otomatis, kalian bisa mendapat bonus."

Ketiga lelaki berwajah sangar itu saling pandang, melempar tatapan tanya dan meminta persetujuan satu sama lain tanpa suara. Agaknya, penawaran Asgard cukup menarik jika diterima.

"Bagaimana? Aku tidak mengajukan penawaran dua kali. Bisa saja, jika kalian menolak, aku akan membawa Snotra ke tempat yang tidak akan pernah kalian temukan." Lelaki itu memiringkan kepala, semakin menambah aura mengerikannya tampak.

Di belakang punggung Asgard, Snotra menggigit bibir bawah keras-keras. Perempuan Norwegia itu benar-benar takut sekarang. Bukan hanya perihal dirinya, tetapi karena sudah melibatkan orang yang baru dikenalnya terlampau dalam.

"Baiklah, ikut kami tanpa paksaan dan kau akan selamat tanpa luka sedikit pun." Salah satu dari lelaki di hadapan Asgard mengambil langkah maju dan menarik kasar lengannya. Sementara yang lain, dengan sigap menyeret Snotra ke tempat mereka memarkir mobil.

"Kupastikan kalian akan menyesal jika Snotra terluka."

Setelah mengatakan itu, Asgard pun digiring dengan kasar, tak sesuai yang mereka katakan sebelumnya. Ini sama saja pemaksaan.

Tujuan mereka tentu saja kembali ke Oslo, kediaman orang tua Snotra. Lelah di perjalanan tak membuat Asgard berhenti memikirkan cara untuk menyelamatkan perempuan itu.

Snotra yang duduk di sampingnya, sama sekali tak bersuara. Perempuan itu menatap hampa pemandangan luar jendela dengan jemari tak henti memainkan kukunya yang panjang. Kalut, tentu saja ia rasakan. Bahkan, ia sudah siap dengan kemungkinan terburuk kembali ke tempat terapi.

Seakan belum menemukan titik terang, Asgard mengembuskan napas panjang dan memutuskan memejamkan mata barang sebentar. Mengingat salah satu perkataan sang ayah sebelum memulai perjalanan itu, ia berkata dalam hati, "Ayah benar, agama tak akan pernah selaras dengan logika jika masih ada keakuan dalam diri manusia. Egois."

Mereka sampai di sebuah rumah bergaya Nordik dengan halaman yang terbilang sangat luas setelah perjalanan kurang lebih tujuh jam. Jelas tampak bahwa keluarga Snotra adalah kalangan berada.

Dinding berwarna netral dengan unsur kayu di beberapa bagian, benar-benar menunjukkan proporsi yang pas. Beberapa tanaman pot juga terlihat, baik di luar maupun di dalam rumah yang tampak melalui kaca-kaca besar itu. Bahkan, Asgard dapat melihat sedikit interior yang tertata apik dalam rumah itu. Perpaduan yang luar biasa dengan suasana senja.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang