21. Hitam Putih

121 37 1
                                    

"Insyaallah, Abah. Nizwa usahakan segera pulang kalau S2 sudah selesai. Ini masih susun tesis. Tapi kemungkinan tidak langsung pulang setelah wisuda, Nizwa sudah janji dengan teman mau menghadiri pernikahannya nanti."

Nizwa mengangguk kecil, bersikap seakan sang abah bisa melihatnya.

"Doakan saja kami lulus bareng. Soalnya, kata teman Nizwa akan menikah selepas wisuda." Tiba-tiba kerutan tampak di dahi Nizwa setelah mendengar balasan dari seberang.

"Janji adalah hutang, Bah. Lagi pula, dia yang akan tanggung akomodasi dan tiket pulang pergi. Tidak enak jika Nizwa tidak jadi datang nanti. Paling lama Nizwa akan tinggal di sini sampai sebulan setelah wisuda."

Perempuan itu membetulkan mukena dengan sebelah tangan. "Iya, Abah. Wa'alaikumussalam."

Nizwa menyandarkan punggung pada ranjang setelah meletakkan ponsel di samping sajadah. Lepas salat Isya tadi, abahnya menelepon untuk menanyakan progres tesisnya. Lebih tepat lagi, menanyakan kapan Nizwa selesai dan bisa pulang ke Indonesia. Benar-benar, ia bahkan baru kembali ke negara itu, mana mungkin bisa cepat kembali ke Indonesia?

Masih dengan mukena terpasang, disandarkannya kepala pada ranjang dan menarik napas dalam-dalam. Apa ini yang namanya dilema? Bukan hanya perkara sang abah, tetapi juga Asgard yang tiba-tiba mengucapkan kalimat ambigu itu. 

"Apa aku harus berharap? Ya Allah ... aku tahu berharap pada sesama manusia adalah cara menyakiti diri sendiri secara perlahan, tapi apa aku sanggup melupakan kalimat Asgard?"

Kembali perempuan itu meraih ponsel dan membuka galeri fotonya. Tampak di sana foto yang diambil beberapa minggu lalu saat ia berkunjung ke pesantren, fotonya dengan Gahya saat mencoba mengenakan cadar.

"Masmu membingungkan, Ya. Tapi, tunggu! Jadi, dia ingat siapa aku?"

-o0o-

Dalam balutan jaket jeans, Asgard sudah bersiap meninggalkan Çinardere. Di depan rumah, dengan ransel di punggung, lelaki itu mengangsurkan kamera pada Aysun. "Setelah kupikir-pikir, aku tidak bisa menerimanya, Aysun."

Perempuan itu berdecak, kesal sendiri mendapati Asgard menolak pemberiannya. Setengah enggan, ia menyambut kamera itu.

"Sebagai gantinya, boleh aku minta salah satu koleksi kamera lamamu? Aku tak sengaja melihatnya di gudang semalam dan sepertinya masih bisa dipakai."

Tampak linglung untuk sejenak, perempuan berjilbab santai itu mencoba mengingat. "Koleksi di gudang? Astaga, Asgard. Apa pun yang kumasukkan ke gudang, sudah pasti sampah, tapi seingatku memang masih bisa dipakai, hanya terlalu tua dan aku tidak suka."

"Boleh untukku, kan? Sepertinya akan bagus jika foto yang aku hasilkan hanya hitam putih," tanya Asgard lagi.

Aysun mengangguk sambil tersenyum. Ia lantas berlari ke dalam untuk mencari kamera itu. Tak lama, ia kembali dengan kamera klasik di tangannya.

"Ini, untukmu. Hanya perlu mengganti baterai." Ia menyerahkannya pada Asgard.

"Itu bisa kuurus, terima kasih, Aysun."

Perempuan itu menyandarkan bahu pada kusen pintu, lantas memandang Asgard dengan tatapan beralah. "Sekali lagi, maaf tidak bisa mengantar dan menemanimu ke Izmir. Padahal, aku sudah janji akan menjadi pemandumu."

Asgard yang tadinya menunduk memandang kamera di tangannya, seketika kembali menatap Aysun. Senyum lebar langsung tersungging di bibir tipisnya. "Tidak apa, lagi pula ... pameran lukisanmu akan hambar jika kamu tidak di sana. Justru aku yang harus minta maaf karena tidak bisa hadir."

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang