29. Kehilangan Eksistensi

103 31 1
                                    

Bajunya compang-camping. Darah kering tampak sana-sini, membalut kulitnya yang kusam. Luka pun tak terhitung, tubuhnya penuh memar kebiruan. Betisnya yang tertembak sudah mati rasa, tak ada penanganan apa pun yang diterima.

Dengan pandangan kabur, dicobanya meraih jemari perempuan yang tubuhnya tergolek beberapa meter dari posisinya itu.

Perempuan itu tak bergerak, tubuhnya tertelungkup dengan darah yang jelas masih basah di telapak tangan. Ia tak bisa melihat wajah perempuan itu, tetapi ia yakin bahwa itu Da Xia Aggye.

Sekuat tenaga dikeluarkannya suara yang tercekat di tenggorokan. Semua luka itu membuatnya kesakitan tiap hendak berbicara. 

"Da Xia. Bangunlah," lirihnya.

Tak ada respons, Xia masih bertahan dalam ketidaksadaran. Sampai lelaki itu berhasil menyentuh ujung jari-jarinya, perlahan mata Xia terbuka. Ia menoleh agar dapat melihat orang itu.

"Dante, kamu masih hidup?" tanya Xia lirih.

Dante mengangguk lemah sambil berusaha menyunggingkan senyum. "Aku tidak akan mati semudah itu."

Bersamaan dengan itu, pintu terbuka kasar. Dua lelaki lantas masuk dan membawa Xia yang tak berdaya pergi. Sementara itu, Dante hanya bisa menatap pasrah.

Lorong ruangan yang dilalui Xia serasa sangat panjang, seakan tanpa ujung. Dalam papahan dua lelaki kekar itu, ia hanya bisa merintih kesakitan. Menapak pun tidak, yang menyentuh lantai kayu itu hanya jemari kaki serta sedikit punggung kakinya.

Diseret tubuh lemahnya melalui pintu-pintu yang tidak tahu ada apa di dalam. Sayup-sayup, indra pendengaran Xia mulai menangkap suara teriakan juga ... apa itu pukulan?

Perempuan itu dibawa ke ruangan di mana Asgard berada. Pandangan buramnya segera menangkap sosok lelaki yang tak kalah babak belur darinya. Itu Asgard yang sudah sekarat.

"Asgard." Tanpa bisa berdiri tegak, lirihan Xia bersua dengan udara. Ia bahkan tak yakin Asgard mampu mendengarnya. Perlahan, satu titik air matanya jatuh.

Tak lama, tepat di depan mata, dilihatnya pipa baja menghantam tubuh Asgard yang sudah tergeletak di lantai dengan keras. Lelaki itu meringkuk kesakitan, merintih pilu. Terkoyak batin Xia melihatnya, ia tak mampu lagi. Karena tak bisa berteriak, perempuan itu hanya bisa memejamkan mata, berharap pemandangan mengerikan tersebut hanya mimpi. Namun tidak, itu nyata.

Xia kembali membuka mata. "To-tolong, sudah cukup. Lep-askan Asgard," pintanya dalam.

Kekehan keras memenuhi penjuru ruangan. Itu pemimpin mereka. Lelaki dengan batang cerutu di tangannya itu mendekat, membungkuk agar bisa menatap wajah Xia dengan jelas. Tangannya yang bebas lantas terulur, memegang dagu perempuan itu dan membuatnya kepayahan mendongak.

"Apa yang bisa kamu tawarkan sebagai jaminan membebaskannya, Da Xia? Ah ... dia sudah mempersulitku mendapatkanmu."

Tak ada jawaban dari Xia. Untuk berbicara saja dia kepayahan. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang ia dapat tadi, sudah cukup membuatnya ingin segera mati.

Lelaki itu melepaskan dagu Xia dengan kasar. Langkahnya mulai berputar, menjauhi Xia untuk mendekat kembali ke tubuh tak berdaya Asgard.

Pipa rokok dibuangnya sembarang, diganti pipa baja yang baru direbut dari tangan Matteo. Tangannya mengayun kuat bak pitcher andal. Bukan bola yang menjadi targetnya, melainkan tubuh Asgard yang sudah penuh darah.

Raungan pemuda itu menyambar pendengaran Xia dengan bengis, seakan menyobek gendang telinga perempuan itu tanpa ampun. Degup jantungnya seakan berhenti, tetapi teriakan berhasil lolos dari bibinya yang membiru.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang