33. Semuanya Akan Pulang

128 34 1
                                    

"Kamu yakin akan ikut denganku?"

Nizwa mengangguk mantap. Dalam balutan gamis hitam itu, ia sudah siap untuk memasukkan kopernya ke dalam taksi. Sementara Asgard masih diam di sampingnya.

Sebulan berlalu dan selama itu pula Nizwa di sana. Menyewa tempat penginapan kecil selama sebulan penuh agar bisa bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani Asgard. Tentu saja keputusannya menunda pulang ke Indonesia mendapat tentangan, tetapi perempuan itu terlalu cerdik untuk mencari alasan.

Kemarin, Asgard dinyatakan sembuh total, sebuah keajaiban memang. Pagi ini juga, ia berniat pergi ke Sisilia untuk menyampaikan pesan Da Xia pada sang ibu. Entah kenapa alamat itu masih terselip di jurnal dan tak seorang pun melihatnya.

Kemarin pula, Asgard sudah meminta Nizwa meninggalkannya dan perempuan itu mengangguk. Asgard pikir Nizwa akan benar-benar pulang, tetapi pagi ini ia sudah stay di depan ruang rawat yang akan Asgard tinggalkan. Ajaib.

"Kapan lagi aku bisa punya kesempatan ke sana? Setelah kembali, aku yakin tidak akan bisa pergi lagi. Boleh, kan?" pinta Nizwa.

Mau tak mau, Asgard mengangguk pasrah. Perjalanan terakhirnya akan sangat berbeda. "Baiklah, mari habiskan sisa tabunganmu."

Nizwa terkikik geli. Bagaimana tidak? Selama di Palermo, mereka memang menggunakan uang perempuan itu. Dianggap sebagai hutang, katanya. Asgard juga terpaksa meminjam karena semua miliknya hilang. Untung ransel dan jurnalnya tersisa. 

Selama di perjalanan, Nizwa sibuk memandang keluar jendela sementara Asgard justru melamun. Ia sendiri juga bingung sedang memikirkan apa, lebih tepatnya ... berpikir apa yang akan dilakukan setelah kembali ke Indonesia. Selama ini ia hidup berpindah-pindah, bertemu banyak orang, dan merasakan pengalaman baru. Jika ia pulang dan menerima tawaran sang ayah, sudah pasti dirinya tidak bisa sebebas sekarang.

Sampai di kompleks 22 Via Fiume, Villalba, Sicily, Sisilia, keduanya turun. Mereka berdiri di sebuah bangunan dengan dinding terbuat dari batu bata putih. Setelah sempat berpandangan, Asgard lantas maju dan memencet bel yang ada.

Tak lama, perempuan paruh baya yang masih tampak sangat cantik di usianya itu muncul. Wajahnya benar-benar khas wanita Tiongkok dengan mata sipit, sangat mirip dengan Xia.

"I am sorry for bothering you. Are you Xia's mother?"

Perempuan itu membulatkan mata saat pertanyaan terlontar dari bibir Asgard. Tampak sedikit raut takut di wajahnya sambil melihat ke sekitar gelisah.

"Don't be afraid. I am her friend. Would you mind listening to my explanation?" tanya Asgard hati-hati.

Sempat ragu jelas, tetapi wanita itu akhirnya mempersilakan Asgard dan Nizwa masuk. Setelah menyuguhkan dua cangkir teh, perempuan itu bertanya, "Where's Xia? Is she alright?"

Asgard menghela napas berat. Setelah melirik Nizwa dan mendapat anggukan, lelaki itu mengeluarkan amplop kusut dari dalam ranselnya. Ia mengangsurkannya pada ibu Xia. "Itu titipan dari Da Xia."

Baik Asgard dan Nizwa sama-sama cemas saat mendapati respons wanita itu. Di tengah-tengah membaca, air mata ibu Xia lolos. Namun, keduanya tak ada yang berniat menyela, sampai wanita itu bertanya, "Kapan kamu bertemu dengannya?"

"Sekitar lima bulan lalu, di markas orang-orang itu. Kami terpisah sebelum saya dibiarkan di jalanan. Surat itu Xia titipkan pada saya di tengah-tengah pelarian kami. Perihal di mana dan bagaimana keadaan Xia sekarang, saya benar-benar tidak tahu, saya minta maaf," jelas Asgard.

Tidak ada yang bisa dilakukan, Xia benar-benar tidak diketahui keberadaannya. Hukum pun pasti akan sangat sulit, ibu Xia sangat paham akan hal itu.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang