18. Geliat Aya Sofya

148 39 13
                                    

"Bagaimana jika ke rumahmu dulu? Sudah lama aku tidak menyapa dan berbincang dengan Bibi. Lagi pula, sepertinya hari ini aku akan beristirahat dan baru berkeliling besok."

Aysun mengangguk, lantas mengambil alih ransel Asgard. Lelaki itu sudah melarang, tetapi Aysun abai. Saudaranya yang satu itu memang sebelas dua belas dengan Gahya, adiknya. Untung mereka tinggal berbeda benua, jika tidak, bisa dipastikan Gahya dan Aysun akan menjadi tim yang solid dalam membuat Asgard jengkel.

Mau tak mau, Asgard hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia lantas mengekor di belakang sampai ke tempat parkir.

Tepat di depan mobil berwarna hitam, Aysun berhenti. Perempuan 22 tahun itu tersenyum lebar ke arah Asgard. "Ini, ambil lagi."

Tak ada yang bisa dilakukan Asgard selain terkekeh dan mengangguk.

Asgard segera masuk ke mobil, menyusul Aysun yang sudah duduk tenang di balik kemudi.

Tatapan Aysun sedikit berubah sewaktu melihat Asgard memasang sabuk pengaman. Dengan sebelah alis terangkat dan dahi berkerut, perempuan itu tiba-tiba menoel kepala lelaki di sisi kanannya.

Hampir saja Asgard menegur karena ia mengira Aysun tengah menjailinya, tetapi urung saat perempuan itu bertanya, "Kenapa kepalamu? Pitak? Ada bekas jahitan meskipun sebenarnya lumayan samar."

Asgard menyandarkan punggung pada jok dan mengembuskan napas panjang. "Ada sedikit kecelakaan beberapa hari lalu. Tidak apa, Aysun. Jangan khawatir."

Tak ada angin tak ada hujan, Asgard pun tidak melontarkan guyonan, tetapi Aysun terbahak lumayan keras. "Oke, aku tidak khawatir. Hanya saja ... Asgard, kamu pitak."

Sesuai dugaannya, ia akan mendapat rundungan perkara yang satu itu. Apa boleh buat?

Masih dengan sisa tawa, Aysun mulai melajukan mobil ke daerah Çinardere, tempat di mana rumahnya berada.

Sampai di sana, Asgard disambut baik oleh bibi dan pamannya. Tak hanya itu, ia langsung disuguhi berbagai macam makanan khas Turki, seperti manti, dolma, dan kofte. Ada pula hummus, yang Asgard tahu berperan sebagai makanan penutup.

Bersyukurnya ia memiliki saudara di negara dua benua itu, ia jadi bisa menghemat pengeluaran dengan tidak menyewa penginapan seperti sebelum-sebelumnya. Juga, mendapat makanan gratis tentunya.

Keesokan harinya, Asgard dan Aysun bersiap setelah sarapan bersama.

"Sudah? Hari ini akan menjadi perjalanan yang panjang, Asgard." Ujung-ujung bibir Aysun terangkat, membuat labium berbalut lipstik dengan warna rose itu tampak lebih memesona di mata siapa pun.

Perlahan, kaki beralas ankle boot itu melangkah, menimbulkan suara ketuk dengan lantai kayu. Ia berjalan keluar setelah pamit pada orang tuanya, diikuti Asgard di belakang.

"Mau ke mana dulu?" tanya Aysun saat sudah duduk di belakang kemudi.

"Istana Topkapi?" Kedua pangkal alis Asgard tertaut, tampak jelas ia juga bingung akan pilihannya. "Yang terdekat dulu."

"Kalau terdekat, berarti Hagia Sophia. Dari sana, kita bisa ke basilika yang ingin kamu kunjungi dulu, baru ke Topkapi Palace. Is that okay?"

Asgard mengangguk tegas. Di pikirannya, apa pun itu, yang penting ia berkunjung.

Baru akan melajukan mobil, Aysun dibuat kembali urung karena Asgard bertanya, "Aysun, bisakah kita mampir ke tempat penjualan kamera bekas, mungkin? Aku ingin membeli karena kameraku rusak."

Sejenak Aysun tampak berpikir. "Ah ... pakai saja kameraku, sudah tidak pernah kupakai."

Tanpa sepatah kata lagi, Aysun keluar dari mobil dan berlari ke dalam rumah. Ia kembali sambil menenteng tas berisi kamera yang Asgard tahu, harganya lumayan.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang