20. Di Luar Pintu Cistern

142 37 4
                                    

"Så, fortsatt om datteren din?" Asgard meletakkan gelas berisi minuman di atas meja kafe di samping basilika. Baru saja cairan itu membasahi kerongkongannya. (Jadi, masih tentang putri Anda?)

Jika lelaki itu tampak tenang, berbeda halnya dengan Aysun yang kebingungan setengah mati. Selain karena tak tahu bahasa yang digunakan Asgard, perempuan itu juga tidak paham ada masalah apa antara dua lelaki yang terpaut umur cukup jauh itu. 

"Jeg vil at du skal gifte deg med Snotra,"  balas lelaki itu tak kalah tenang. (Aku mau kau menikahi Snotra.)

"Ada apa sebenarnya, Asgard? Talk in English, please." Aysun tak tahan menjadi orang paling tak tahu apa-apa di sana.

"Who are you, Girl? Are you his girlfirend? I hope you both break up soon. He has to be my son in-law." 

Berhasil, lelaki itu menuruti Aysun untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Namun, kalimatnya barusan justru membuat perempuan itu menoleh cepat ke arah Asgard yang masih tampak tenang. 

"Kamu gila, Gard? Apa kamu ...."

"Tidak seperti yang kamu pikirkan, Aysun. Putrinya, Snotra, temanku di Norwegia adalah seorang lesbian. Dia ingin aku menikahinya agar orientasi Snotra berubah." Asgard melirik sekilas, sebelum kembali menatap lelaki di seberang meja.

"It's such a stupid choice," sentak Aysun pada ayah Snotra, "your daughter's orientation will not change by that way. You did a useless thing that could ruin other's life. Are you crazy?"

Asgard memejamkan mata erat-erat. Ia tahu bahwa Aysun akan terpancing jika tahu masalah sebelumnya. Salah satu perbedaan yang kentara antara dirinya dan Gahya. Jika adik Asgard akan sekuat mungkin bersikap tenang saat menghadapi masalah, berbeda halnya dengan Aysun yang lumayan meledak-ledak.

"Tenanglah, Aysun." Kalimat yang terlontar dengan nada dingin itu sukses membuat Aysun menatapnya sangsi.

"Bagaimana aku bisa tenang, Asgard? Perkara masa depanmu bukan lelucon. Seenaknya saja memintamu menikahi anaknya."

Helaan napas lolos dari bibir Asgard. Ia memilih melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung pada kursi. Sementara itu, tatapan matanya masih datar, tak ada apa pun yang bisa diselami.

"I won't ruin your life. You just need to marry my daughter and I'll give everything you want."

"No!" tukas Asgard, bersamaan dengan sorot matanya yang menajam. "Aku adalah manusia independen. Jika orang tuaku saja tidak bisa mengendalikan aku, maka orang lain jangan harap meski dengan berlutut sekalipun."

Diam-diam, Aysun mengembuskan napas lega. Tangannya yang semula terkepal kuat di bawah meja, mengendur seketika. 

"Aku juga yakin bahwa Snotra akan menolak dengan tegas. Bahkan, mungkin dia akan memberontak lebih parah dari sebelumnya. Buka matamu sedikit saja, Tuan. Dia putrimu, tidak seharusnya apa pun inginmu harus ia penuhi. Dia bukan boneka." Mata Asgard memicing. Jujur, ia masih sedikit terkejut mendapati laki-laki itu mencarinya sampai ke Turki dan apa itu? Bahkan Asgard yakin posisinya memang sudah dilacak sejak jauh-jauh hari.

"Kenapa? Apa Anda tidak percaya? Kita bisa membuktikannya sekarang, aku akan menghubungi Snotra. Kita pastikan, jika Anda tetap kukuh memaksa, siap-siap saja mendapati mayat Snotra setelah kembali ke Norwegia."

-o0o-

Tangisan perempuan berambut panjang itu semakin menjadi. Menghadapi sang ayah memang bukan perkara mudah, terlebih harta dan kuasa dimiliki orang tuanya. Memang, apa yang tidak bisa dikendalikan dengan uang di zaman sekarang ini? 

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang