Seharian menyusuri Bundeshaus dan sekitarnya bersama Keluarga Dario, membuat Asgard sedikit banyak kelelahan. Hari itu mereka akhiri dengan makan malam bersama, menikmati suasana malam kota tua Bern ditemani celotehan Arnborg.
Sampai di penginapan, Asgard lagi-lagi dibuat berpikir karena mengingat ucapan anak itu. Manusia tak memiliki apa pun selain Tuhannya. Lantas, sebuah pertanyaan muncul tiba-tiba. "Jika manusia tak memiliki apa pun, kenapa agama mau repot-repot mengatur hak kepemilikan seseorang?"
Direbahkannya tubuh pada ranjang single di tengah ruangan. Sebelah tangan lelaki itu dipindahkan untuk menutupi mata. Sebuah helaan napas panjang lolos bersamaan dengan itu. Ingat akan sesuatu, Asgard terlonjak dari posisi rebah dan langsung menatap nanar ke arah tas yang ia letakkan di meja kamar. "Kameraku."
Asgard berjalan ke arah meja dan mengambil kamera dari dalam tas serta laptop dari sudut meja. Ia membawa dua benda itu kembali ke ranjang dan mulai melakukan kegiatannnya. Setidaknya, ia masih bisa menyelamatkan gambar yang masih tersimpan di kartu memori.
Selesai memindah file, lelaki itu sengaja melihat kembali koleksi fotonya sejak berangkat ke Oslo. Sudah banyak sekali gambar yang ia ambil dan kebanyakan menampilkan keindahan tempat-tempat yang sudah ia kunjungi.
Jari telunjuknya seketika berhenti menggulir mousepad saat menemukan foto terlama yang ia ambil. Foto itu menampilkan sosok perempuan tampak belakang dan lumayan blur karena ia asal menjepret serta terburu-buru. Asgard ingat betul foto itu, foto yang diambilnya di Bandara Oslo sesaat setelah mengambil barang-barangnya.
"Siapa sebenarnya nama perempuan ini? Kota kuno di Ad-Dakhiliyah Oman dan apa katanya waktu itu? Barat daya Rusia." Pandangan Asgard lurus ke foto tersebut, sementara otaknya masih terus dipaksa berpikir. Tak lama, senyumnya terbit. "Peristiwa Eksodus."
Karena pikirannya sendiri, Asgard kembali terhenyak karena menemukan sebuah benang merah tak kasat mata perihal pertanyaan awalnya. "Hak milik, perbudakan, Peristiwa Eksodus. Para budak adalah milik tuannya. Sampai ada yang menebus atau membebaskan mereka, mereka baru bisa disebut manusia independen. Jadi, sebenarnya manusia memiliki hak untuk memiliki manusia lain atau tidak?"
Asgard mendesah panjang. Bukannya menemukan jawaban, ia justru semakin dibuat buntu oleh pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dipandanginya lagi foto blur perempuan bergamis syari itu. "Kenapa pula aku merasa tidak asing dengan dia? Allah ... aku jadi memikirkan perempuan ini, astaghfirullah. Lupakan, Asgard. Kembali ke tujuan awalmu."
Lelaki itu menyudahi kegiatannya dan menutup laptop. Malam ini ia harus benar-benar menemukan jawaban atas pertanyaannya perihal kepemilikan. Meski kedengarannya tidak mudah, tetapi ia akan mencoba menggali logikanya tentang hal tersebut.
Sampai tengah malam, Asgard masih terus terjaga tanpa menemukan jawaban apa pun. Tak berbeda dari kebanyakan orang, ia justru bernostalgia dengan masa lalunya di pesantren. Waktu itu, wisuda tahunan pesantren dihelat. Santri dan santriwati tingkat akhir wustha serta aliyah dihantar dengan doa serta kebahagiaan untuk menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Seperti biasa, mereka yang berhasil mengkhatamkan hafalan Qur'an, sekalian melakukan khataman di acara yang sama meski bukan berasal dari tingkat akhir. Para santri dan santriwati yang memiliki prestasi pun akan ikut ambil bagian dalam acara tersebut. Contoh saja mereka yang berhasil menamatkan Alfiyah.
Asgard menjadi salah satu santri yang didapuk menunjukkan kemampuan hafalan di atas panggung serta diuji pemahamannya dalam membaca Kitab Kuning. Sesuatu yang cukup membuat takjub santri lain serta wali santri yang hadir, mengingat waktu itu, Asgard masih duduk di tingkat dua wustha.
Bukan hanya dia, Asgard pun masih sangat ingat ada adik tingkatnya yang lebih menakjubkan. Seorang santriwati tingkat pertama dan berhasil menjawab semua pertanyaan penguji tanpa cela. Ia yakin bahwa gadis itu sudah hafal Alfiyah di luar kepala meski baru tingkat awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan sang Musafir (Completed)
SpiritualDunia terlalu luas bagi mereka yang menenggelamkan diri di sudut kamar. Namun, terlalu sayang dilewatkan bagi mereka yang suka berpetualang. Dalam perjalanannya mencari jati diri, Asgard Al Fatih menemui banyak karakter manusia. Mulai dari yang dika...